Kupang (ANTARA News NTT) - Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr Ahmad Atang MSi berpendapat pilihan calon legislatif untuk menggunakan pola kampanye terbatas, secara faktual telah meniadakan hak publik dalam memperoleh pendidikan politik.
"Padahal, publik perlu diberi ruang untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan nasib bangsa dan negara melalui wakil-wakilnya yang dipercaya ke lembaga legislatif," katanya kepada Antara di Kupang, Jumat (15/2).
Pandangannya tersebut dikemukakan setelah melihat sikap para calon legislatif di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang lebih memilih menggunakan pola kampanye terbatas, ketimbang kampanye dalam bentuk rapat umum.
"Pilihan calon legislatif untuk menggunakan pola kampanye terbatas memang lebih efektif, ketimbang rapat umum dengan mobilisasi massa dalam jumlah besar dan biaya besar, tetapi pola ini secara faktual telah meniadakan hak publik untuk memperoleh pendidikan politik," katanya.
Menurut dia, pola kampanye terbatas ini menyebabkan ruang demokrasi publik menjadi sepih, sebab tidak ada pendidikan politik massal yang dilakukan politisi maupun partai politik.
Selain itu juga tidak terbangun greget demokrasi yang bernuansa pesta pora yang sudah terbangun dalam setiap pesta demokrasi lima tahunan di negeri ini.
Baca juga: Pengamat: Kampanye terbatas caleg lebih efektif
"Di sini karakter politik lima tahunan mengalami stagnasi," katanya dan menjelaskan, karena pilihan caleg melakukan pola kampanye seperti tersebut di atas secara faktual telah meniadakan hak publik untuk mendapatkan pendidikan politik.
"Publik perlu diberi ruang untuk ikut berpartisipasi menentukan nasib bangsa dan negara melalui wakil-wakilnya yang dipercaya. Karena itu, para caleg tidak perlu membatasi diri di ruang terbatas," katanya.
Ia mengatakan rakyat mesti diberikan ruang, karena mereka adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam suatu negara demokrasi.
"Rakyat harus dilibatkan karena itu merupakan hak politik, sehingga mereka juga bergembira ria menyambut para wakil atau pemimpin mereka yang baru atas dasar pilihan politiknya," demikian Ahmad Atang.
Baca juga: Pemilih milenial sangat strategis dalam konteks politik 2019
Baca juga: Kaum milenial sangat akrab dengan politik digital
"Padahal, publik perlu diberi ruang untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan nasib bangsa dan negara melalui wakil-wakilnya yang dipercaya ke lembaga legislatif," katanya kepada Antara di Kupang, Jumat (15/2).
Pandangannya tersebut dikemukakan setelah melihat sikap para calon legislatif di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang lebih memilih menggunakan pola kampanye terbatas, ketimbang kampanye dalam bentuk rapat umum.
"Pilihan calon legislatif untuk menggunakan pola kampanye terbatas memang lebih efektif, ketimbang rapat umum dengan mobilisasi massa dalam jumlah besar dan biaya besar, tetapi pola ini secara faktual telah meniadakan hak publik untuk memperoleh pendidikan politik," katanya.
Menurut dia, pola kampanye terbatas ini menyebabkan ruang demokrasi publik menjadi sepih, sebab tidak ada pendidikan politik massal yang dilakukan politisi maupun partai politik.
Selain itu juga tidak terbangun greget demokrasi yang bernuansa pesta pora yang sudah terbangun dalam setiap pesta demokrasi lima tahunan di negeri ini.
Baca juga: Pengamat: Kampanye terbatas caleg lebih efektif
"Di sini karakter politik lima tahunan mengalami stagnasi," katanya dan menjelaskan, karena pilihan caleg melakukan pola kampanye seperti tersebut di atas secara faktual telah meniadakan hak publik untuk mendapatkan pendidikan politik.
"Publik perlu diberi ruang untuk ikut berpartisipasi menentukan nasib bangsa dan negara melalui wakil-wakilnya yang dipercaya. Karena itu, para caleg tidak perlu membatasi diri di ruang terbatas," katanya.
Ia mengatakan rakyat mesti diberikan ruang, karena mereka adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam suatu negara demokrasi.
"Rakyat harus dilibatkan karena itu merupakan hak politik, sehingga mereka juga bergembira ria menyambut para wakil atau pemimpin mereka yang baru atas dasar pilihan politiknya," demikian Ahmad Atang.
Baca juga: Pemilih milenial sangat strategis dalam konteks politik 2019
Baca juga: Kaum milenial sangat akrab dengan politik digital