Kupang (ANTARA) - Pengamat politik yang juga pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mikhael Raja Muda Bataona mengatakan Presiden Jokowi menggunakan apa yang disebut politik standar ganda atau Double standard politic terhadap putusan MK.
"Di saat dinyatakan menang dalam Pilpres 2019 oleh MK, meskipun kubu Prabowo turun ke jalan sampai ada demo makar saat itu, Jokowi menyatakan, harus patuh pada putusan MK karena final dan mengikat," kata Mikhael Bataona di Kupang, Jumat, (23/8) terkait jawaban Presiden Jokowi soal polemik Pilkada.
Demikian juga saat putusan MK yang meloloskan Gibran sebagai Cawapres, Jokowi menyatakan kita patuh pada putusan MK.
Sedangkan saat ini ketika MK memutuskan seprti itu, Jokowi justru mengatakan, harus menghormati wilayah lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Maka dapat disebut bahwa Jokowi bermain standar ganda dan membuat kabur posisi MK sebagai lembaga yudikatif yang putusannya itu setingkat UU.
Artinya Jokowi hanya seorang politisi dan pemburu kekuasaan yang hebat bermain taktik, tapi bukan seorang negarawan.
"Jadi ada semacam watak pragmatis yang diperagakan seorang presiden dalam situasi darurat demokrasi seperti saat ini. Seharusnya, sebagai Presiden, Jokowi tidak memancing di air keruh dengan membiarkan DPR buru-buru mengagendakan paripurna untuk merevisi UU pilkada karena MK sudah memutuskan itu," katanya.
Pernyataan tegas Jokowi tidak ada. Sehingga sungguh disayangkan, karena ini menjelaskan bahwa ada sebuah standar ganda politik dari seorang presiden terhadap putusan MK, kata Bataona menambahkan.
Presiden Jokowi melalui unggahan video di akun Instagramnya (21/8/2024) menyatakan menghormati kewenangan dan keputusan masing-masing lembaga negara.
"Kita hormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara. Itu proses konstitusional yang biasa terjadi di lembaga-lembaga negara yang kita miliki," ujar Presiden Jokowi.
Lebih lanjut dalam keterangan unggahan tersebut, menerangkan bahwa Pemerintah menghormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga terkait aturan Pilkada.
Dinamika yang terjadi adalah bagian dari proses yang harus dijalani dalam sistem berdemokrasi di Indonesia.
Baca juga: Analis: Sikap DPR batal sahkan UU Pilkada untuk meredam amarah rakyat
Serta keputusan MK dan Pembahasan DPR adalah bagian dari checks and balances yang harus berjalan.
Tanggapan tersebut menunjukkan seolah Presiden Jokowi “membiarkan” revisi UU Pilkada dari Baleg DPR melawan putusan MK.
Baca juga: Peneliti TII: Rakyat berhak marah atas ketidakpatuhan DPR pada MK
Baca juga: KPU tegaskan putusan MK soal pilkada dipedomani hingga penetapan paslon
"Di saat dinyatakan menang dalam Pilpres 2019 oleh MK, meskipun kubu Prabowo turun ke jalan sampai ada demo makar saat itu, Jokowi menyatakan, harus patuh pada putusan MK karena final dan mengikat," kata Mikhael Bataona di Kupang, Jumat, (23/8) terkait jawaban Presiden Jokowi soal polemik Pilkada.
Demikian juga saat putusan MK yang meloloskan Gibran sebagai Cawapres, Jokowi menyatakan kita patuh pada putusan MK.
Sedangkan saat ini ketika MK memutuskan seprti itu, Jokowi justru mengatakan, harus menghormati wilayah lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Maka dapat disebut bahwa Jokowi bermain standar ganda dan membuat kabur posisi MK sebagai lembaga yudikatif yang putusannya itu setingkat UU.
Artinya Jokowi hanya seorang politisi dan pemburu kekuasaan yang hebat bermain taktik, tapi bukan seorang negarawan.
"Jadi ada semacam watak pragmatis yang diperagakan seorang presiden dalam situasi darurat demokrasi seperti saat ini. Seharusnya, sebagai Presiden, Jokowi tidak memancing di air keruh dengan membiarkan DPR buru-buru mengagendakan paripurna untuk merevisi UU pilkada karena MK sudah memutuskan itu," katanya.
Pernyataan tegas Jokowi tidak ada. Sehingga sungguh disayangkan, karena ini menjelaskan bahwa ada sebuah standar ganda politik dari seorang presiden terhadap putusan MK, kata Bataona menambahkan.
Presiden Jokowi melalui unggahan video di akun Instagramnya (21/8/2024) menyatakan menghormati kewenangan dan keputusan masing-masing lembaga negara.
"Kita hormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara. Itu proses konstitusional yang biasa terjadi di lembaga-lembaga negara yang kita miliki," ujar Presiden Jokowi.
Lebih lanjut dalam keterangan unggahan tersebut, menerangkan bahwa Pemerintah menghormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga terkait aturan Pilkada.
Dinamika yang terjadi adalah bagian dari proses yang harus dijalani dalam sistem berdemokrasi di Indonesia.
Baca juga: Analis: Sikap DPR batal sahkan UU Pilkada untuk meredam amarah rakyat
Serta keputusan MK dan Pembahasan DPR adalah bagian dari checks and balances yang harus berjalan.
Tanggapan tersebut menunjukkan seolah Presiden Jokowi “membiarkan” revisi UU Pilkada dari Baleg DPR melawan putusan MK.
Baca juga: Peneliti TII: Rakyat berhak marah atas ketidakpatuhan DPR pada MK
Baca juga: KPU tegaskan putusan MK soal pilkada dipedomani hingga penetapan paslon