Kupang (ANTARA) - Pengamat politik yang juga pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mikhael Raja Muda Bataona mengatakan netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam Pilkada serentak 2024 adalah sesuatu yang paradoksal.
"Menurut saya, netralitas ASN itu sesuatu yang paradoksal karena di satu sisi para ASN juga warga negara dalam republik yang memiliki hak pilih tetapi mereka diwajibkan harus netral saat kampanye politik dan proses politik. Ini tentu rumit," kata Mikhael Bataona di Kupang, Kamis (19/9) terkait deklarasi kepala daerah menjaga netralitas ASN.
Menurut dia, faktanya ASN juga memiliki preferensi politik yang dengan setengah mati harus dipendam hanya dalam hati dan pikiran, lalu berlaku seolah-olah netral di dunia nyata dan di media sosial.
"Jelas bahwa ini sebuah situasi yang sungguh paradoksal. Artinya, menurut saya, yang perlu diawasi itu bukan para ASN, tetapi para pemimpin birokrasi, terutama para penjabat kepala daerah karena mereka ini memiliki posisi powerful untuk menggerakkan mesin birokrasi," katanya.
Penjabat kepala daerah bisa menjadi 'Man Be Hind The Gun' untuk kepentingan politik tertentu dengan menggunakan tangan-tangan ASN yang menjadi bawahan mereka.
Dalam sistem kerja dengan model patron klien seperti di birokrasi, hak ini rentan terjadi, kata Bataona yang juga pengajar Investigatif News dan Jurnalisme Konflik pada FISIP Unwira Kupang itu.
Baca juga: Pengamat: Jokowi menggunakan standar ganda sikapi putusan MK
Baca juga: Bawaslu Kota Kupang antisipasi potensi pelanggaran ASN
Dalam hubungan dengan itu, yang paling mendesak saat ini adalah mendesak para penjabat kepala daerah untuk netral, di mana, masalah netralitas seorang penjabat daerah ataupun pejabat negara dalam politik praktis adalah tuntutan moral dan etis yang levelnya lebih tinggi dari sekedar tuntutan pekerjaan biasa.
Artinya, posisi tuntutan ini lebih tinggi sehingga membutuhkan semacam kesadaran moral untuk menjalankannya dengan kesungguhan hati.
Sebab, setiap penjabat negara disumpah untuk menjalankan semua peraturan perundang-undangan secara sungguh-sungguh, termasuk bersikap netral dalam politik, meskipun pejabat negara memiliki hak politik untuk memilih tetapi dilarang dengan sangat keras untuk berpolitik praktis.
Alasannya karena penjabat negara memiliki kekuasaan dan seluruh sumber daya untuk mempengaruhi hasil Pemilu.
Masalahnya adalah, kata dia sudah menjadi adagium yang berlaku umum bahwa kekuasaan itu demikian menggoda sehingga banyak orang rela menderita demi kekuasaan, termasuk rela mengangkangi aturan untuk konsolidasi elektoral dalam rangka kepentingan pemenangan paslon tertentu yang didukung.
Para Penjabat sering kali menjadi wayang yang menjalankan perintah yang ada di belakang mereka, sehingga untuk menjaga netralitas pejabat dalam pilgub dan pilkada kali ini, pihak penyelenggara perlu memiliki semacam aturan-aturan kaku (rigid) dan jelas, juga keberanian untuk menindak. Tanpa keberanian maka akan sulit, kata Bataona menambahkan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pengamat: Netralitas ASN sesuatu yang paradoksal
"Menurut saya, netralitas ASN itu sesuatu yang paradoksal karena di satu sisi para ASN juga warga negara dalam republik yang memiliki hak pilih tetapi mereka diwajibkan harus netral saat kampanye politik dan proses politik. Ini tentu rumit," kata Mikhael Bataona di Kupang, Kamis (19/9) terkait deklarasi kepala daerah menjaga netralitas ASN.
Menurut dia, faktanya ASN juga memiliki preferensi politik yang dengan setengah mati harus dipendam hanya dalam hati dan pikiran, lalu berlaku seolah-olah netral di dunia nyata dan di media sosial.
"Jelas bahwa ini sebuah situasi yang sungguh paradoksal. Artinya, menurut saya, yang perlu diawasi itu bukan para ASN, tetapi para pemimpin birokrasi, terutama para penjabat kepala daerah karena mereka ini memiliki posisi powerful untuk menggerakkan mesin birokrasi," katanya.
Penjabat kepala daerah bisa menjadi 'Man Be Hind The Gun' untuk kepentingan politik tertentu dengan menggunakan tangan-tangan ASN yang menjadi bawahan mereka.
Dalam sistem kerja dengan model patron klien seperti di birokrasi, hak ini rentan terjadi, kata Bataona yang juga pengajar Investigatif News dan Jurnalisme Konflik pada FISIP Unwira Kupang itu.
Baca juga: Pengamat: Jokowi menggunakan standar ganda sikapi putusan MK
Baca juga: Bawaslu Kota Kupang antisipasi potensi pelanggaran ASN
Dalam hubungan dengan itu, yang paling mendesak saat ini adalah mendesak para penjabat kepala daerah untuk netral, di mana, masalah netralitas seorang penjabat daerah ataupun pejabat negara dalam politik praktis adalah tuntutan moral dan etis yang levelnya lebih tinggi dari sekedar tuntutan pekerjaan biasa.
Artinya, posisi tuntutan ini lebih tinggi sehingga membutuhkan semacam kesadaran moral untuk menjalankannya dengan kesungguhan hati.
Sebab, setiap penjabat negara disumpah untuk menjalankan semua peraturan perundang-undangan secara sungguh-sungguh, termasuk bersikap netral dalam politik, meskipun pejabat negara memiliki hak politik untuk memilih tetapi dilarang dengan sangat keras untuk berpolitik praktis.
Alasannya karena penjabat negara memiliki kekuasaan dan seluruh sumber daya untuk mempengaruhi hasil Pemilu.
Masalahnya adalah, kata dia sudah menjadi adagium yang berlaku umum bahwa kekuasaan itu demikian menggoda sehingga banyak orang rela menderita demi kekuasaan, termasuk rela mengangkangi aturan untuk konsolidasi elektoral dalam rangka kepentingan pemenangan paslon tertentu yang didukung.
Para Penjabat sering kali menjadi wayang yang menjalankan perintah yang ada di belakang mereka, sehingga untuk menjaga netralitas pejabat dalam pilgub dan pilkada kali ini, pihak penyelenggara perlu memiliki semacam aturan-aturan kaku (rigid) dan jelas, juga keberanian untuk menindak. Tanpa keberanian maka akan sulit, kata Bataona menambahkan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pengamat: Netralitas ASN sesuatu yang paradoksal