Kupang (Antara NTT) - Pakar hukum Tata Negara dari Universitas Nusa Cendana Johanes Tuba Helan menilai, perubahan struktur organisasi perangkat daerah, justeru menciptakan kekacauan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
"Ada urusan yang mestinya terpisah harus digabungkan menjadi satu, sehingga berakibat pada pelayanan," kata Johanes Tuba Helan kepada Antara di Kupang, Selasa, terkait perombakan struktur organisasi perangkat daerah.
Pada awal tahun 2017 ini, pemerintah pusat kembali merombak organisasi perangkat daerah sebagaimana yang terjdi sekitar delapan tahun lalu.
"Perombakan organisasi perangkat daerah, tentu menimbulkan dampak negatif dan positif bagi pelayanan publik dan anggaran daerah," kata Tuba Helan.
Dampak negatif misalnya, di mana urusan yang mestinya terpisah, akhirnya harus digabung menjadi satu. Akibatnya, urusan menjadi lama sehingga tidak bisa memberikan layanan maksimal kepada masyarakat.
Dampak negatif lainnya adalah ada jabatan yang berkurang sehingga banyak pejabat yang akan turun jabatan.
Bahkan mungkin sebagian pejabat tidak dapat kesempatan untuk mengembangkan karir sebagai pegawai negeri sipil.
Misalnya, ada PNS yang tadinya sudah menduduki eselon 2, bisa turun menjadi eselon 3 atau yang tadi eselon 3 bisa turun menjadi eselon 4. Bisa juga jabatan tertentu ada yang lebih atau ada yang kurang, kata dosen Fakultas Hukum Undana Kupang ini.
Walaupun demikian, Tuba Helan mengatakan, perombakan organisasi perangkat daerah juga punya dampak positif. Diantaranya efisiensi dalam pengelolaan anggaran.
"Karena ketika jabatan berkurang, tentu anggaran rutin yang selama ini ada akan berkurang, termasuk tunjangan jabatan pejabat. Akhirnya, anggaran bisa ditambah untuk belanja publik," katanya menjelasn.
Dia menambahkan, sejak otonomi daerah, organisasi perangkat daerah sudah menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Tetapi faktanya, selama ini pemerintah pusat tetap mengutak-atik organisasi perangkat daerah ini dengan melakukan perombakan dalam waktu-waktu tertentu. Konsekuensinya, ada jabatan yang berkurang dan ada jabatan yang bertambah, bahkan juga mempengaruhi anggaran.
Menurut dia, dalam sistem otonomi yang berpedoman pada Pasal 18 UU 1945 memberi otonomi seluasnya bahwa kewenangan penuh ke daerah.
Sedangkan pusat hanya pada sistem pengawasan dan pembinaan, sehingga sebenarnya pusat tidak boleh ikut campur dalam sistem otonomi daerah. Saat ini, kata dia, seharusnya pusat melakukan perampingan organisasi pemerintahan, namun faktanya tidak.
"Kementerian di pusat harusnya jangan terlalu banyak. Tapi sekarang ini terlalu banyak ada 30 lembaga pemerintahan ditambah lembaga non pemerintahan," kata Tuba Helan.
Johanes Tuba Helan tidak setuju dengan perombakan organisasi perangkat daerah yang dilakukan pemerintah pusat saat ini.
"Saya tidak setuju perombakan organisasi perangkat daerah. Karena perombakan ini bikin kacau di daerah. Bikin kacau dalam penyelengaraan pemerintahan di daerah. Harusnya pusat serahkan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah," tegas Tuba Helan.
Meski demikian, Tuba Helan menyatakan, ketika undang-undang (UU) dan peraturan pemerintah (PP) sudah keluar, mau tidak mau, suka tidak suka, harus dilaksanakan oleh daerah.
"Ada urusan yang mestinya terpisah harus digabungkan menjadi satu, sehingga berakibat pada pelayanan," kata Johanes Tuba Helan kepada Antara di Kupang, Selasa, terkait perombakan struktur organisasi perangkat daerah.
Pada awal tahun 2017 ini, pemerintah pusat kembali merombak organisasi perangkat daerah sebagaimana yang terjdi sekitar delapan tahun lalu.
"Perombakan organisasi perangkat daerah, tentu menimbulkan dampak negatif dan positif bagi pelayanan publik dan anggaran daerah," kata Tuba Helan.
Dampak negatif misalnya, di mana urusan yang mestinya terpisah, akhirnya harus digabung menjadi satu. Akibatnya, urusan menjadi lama sehingga tidak bisa memberikan layanan maksimal kepada masyarakat.
Dampak negatif lainnya adalah ada jabatan yang berkurang sehingga banyak pejabat yang akan turun jabatan.
Bahkan mungkin sebagian pejabat tidak dapat kesempatan untuk mengembangkan karir sebagai pegawai negeri sipil.
Misalnya, ada PNS yang tadinya sudah menduduki eselon 2, bisa turun menjadi eselon 3 atau yang tadi eselon 3 bisa turun menjadi eselon 4. Bisa juga jabatan tertentu ada yang lebih atau ada yang kurang, kata dosen Fakultas Hukum Undana Kupang ini.
Walaupun demikian, Tuba Helan mengatakan, perombakan organisasi perangkat daerah juga punya dampak positif. Diantaranya efisiensi dalam pengelolaan anggaran.
"Karena ketika jabatan berkurang, tentu anggaran rutin yang selama ini ada akan berkurang, termasuk tunjangan jabatan pejabat. Akhirnya, anggaran bisa ditambah untuk belanja publik," katanya menjelasn.
Dia menambahkan, sejak otonomi daerah, organisasi perangkat daerah sudah menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Tetapi faktanya, selama ini pemerintah pusat tetap mengutak-atik organisasi perangkat daerah ini dengan melakukan perombakan dalam waktu-waktu tertentu. Konsekuensinya, ada jabatan yang berkurang dan ada jabatan yang bertambah, bahkan juga mempengaruhi anggaran.
Menurut dia, dalam sistem otonomi yang berpedoman pada Pasal 18 UU 1945 memberi otonomi seluasnya bahwa kewenangan penuh ke daerah.
Sedangkan pusat hanya pada sistem pengawasan dan pembinaan, sehingga sebenarnya pusat tidak boleh ikut campur dalam sistem otonomi daerah. Saat ini, kata dia, seharusnya pusat melakukan perampingan organisasi pemerintahan, namun faktanya tidak.
"Kementerian di pusat harusnya jangan terlalu banyak. Tapi sekarang ini terlalu banyak ada 30 lembaga pemerintahan ditambah lembaga non pemerintahan," kata Tuba Helan.
Johanes Tuba Helan tidak setuju dengan perombakan organisasi perangkat daerah yang dilakukan pemerintah pusat saat ini.
"Saya tidak setuju perombakan organisasi perangkat daerah. Karena perombakan ini bikin kacau di daerah. Bikin kacau dalam penyelengaraan pemerintahan di daerah. Harusnya pusat serahkan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah," tegas Tuba Helan.
Meski demikian, Tuba Helan menyatakan, ketika undang-undang (UU) dan peraturan pemerintah (PP) sudah keluar, mau tidak mau, suka tidak suka, harus dilaksanakan oleh daerah.