Kupang (ANTARA) - Pengamat ekonomi Dr James Adam menilai kasus Montara terkait ganti rugi atas tumpahnya minyak di wilayah perairan Laut Timor Indonesia sejak Agustus 2009 hingga saat ini hanya berjalan di tempat tanpa ada progres.
"Kasus ini sebetulnya sudah diurus oleh pemerintah pusat, tetapi nampaknya masih jalan di tempat. Tak ada perkembangan sama sekali," kata konsultan International Fund for Agricultural Development (IFAD) untuk program pemberdayaan ekonomi itu kepada Antara di Kupang, Senin (15/4)
Hal ini disampaikan berkaitan perkembangan dari ganti rugi oleh pemerintah Australia kepada Indonesia khususnya para nelayan dan petani rumput laut di NTT dalam kasus tumpahnya minyak Montara di wilayah perairan Indonesia di Laut Timor, ketika kilang minyak milik PTTEP asal Thailand itu meledak pada 21 Agustus 2009.
Kejadian tersebut mengakibatkan banyak wilayah pesisir pantai di kepulauan Nusa Tenggara Timur tercemar akibat tumpahan minyak tersebut. Ladang kehidupan nelayan NTT di Laut Timor pun ikut terganggu, demikian pun dengan para petani rumput laut.
Hasil budi daya rumput laut para petani nelayan mulai dari Pulau Timor, Rote, Alor, Sabu, Sumba, dan sebagian di Pulau Flores rusak, dan tidak bisa dipanen lagi pascatumpahan minyak yang maha dahsyat itu.
James menilai bahwa gugatan class action oleh para petani rumput laut di Pulau Rote yang diwakili oleh Daniel Sanda, saat menghadiri sidang di Pengadilan Sydney beberapa waktu lalu seolah-olah tak ada jalan keluarnya sama sekali.
Baca juga: YPTB: Australia tidak boleh menghindar dari kasus Montara
Dr James Adam (ANTARA Foto/ist)
"Padahal dalam sidang gugatan di Australia beberapa waktu lalu sudah ada putusannya bahwa perusahan Thailand itu harus membayar ganti rugi kepada pra petani rumput laut di Pulau Rote," ujar James Adam.
Dari sisi ekonomi, katanya, memang merugikan para nelayan dan petani rumput laut, sebab bukti-bukti hasil penelitian baik oleh lembaga luar negeri maupun tim peneliti bentukan Yayasan peduli Timor Barat terbukti merugikan para petani rumput laut asal Pulau Rote Ndao.
Terkait besaran ganti rugi, James Adam mengatakan memang belum bisa dihitung karena sejak keputusan pengadilan di Sydney Australia beberapa waktu lalu belum diikuti dengan tindakan lanjutan untuk eksekusi atas keputusan tersebut.
"Menurut saya baik Kementerian Luar Negeri harus membuka lagi kasus itu untuk dituntaskan sesuai keputusan pengadilan yang sudah ada. Ini tugas pemerintah agar masalahnya bisa segera selesai," katanya.
Sementara Ketua Yayasan Peduli Timor Barat yang Ferdi Tanoni yang menginvestigasi kasus itu bersama timnya mengatakan bahwa di akhir April ini pihaknya akan berangkat ke Australia untuk kembali membicarakan hal tersebut.
"Kami berharap agar para pejabat di negeri Kanguru tidak menghindar lagi. Mengingat beberapa kali pertemuan selalu saja ada alasan untuk menghindar dari para pejabat dari Indonesia," demikian Ferdi Tanoni.
Baca juga: Indonesia tidak punya data soal Montara
Baca juga: Indonesia-Australia harus duduk bersama selesaikan kasus Montara
Tumpaha minyak di Laut Timor setelah meledaknya anjungan minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor, 21 Agustus 2009. (ANTARA Foto/ist)
"Kasus ini sebetulnya sudah diurus oleh pemerintah pusat, tetapi nampaknya masih jalan di tempat. Tak ada perkembangan sama sekali," kata konsultan International Fund for Agricultural Development (IFAD) untuk program pemberdayaan ekonomi itu kepada Antara di Kupang, Senin (15/4)
Hal ini disampaikan berkaitan perkembangan dari ganti rugi oleh pemerintah Australia kepada Indonesia khususnya para nelayan dan petani rumput laut di NTT dalam kasus tumpahnya minyak Montara di wilayah perairan Indonesia di Laut Timor, ketika kilang minyak milik PTTEP asal Thailand itu meledak pada 21 Agustus 2009.
Kejadian tersebut mengakibatkan banyak wilayah pesisir pantai di kepulauan Nusa Tenggara Timur tercemar akibat tumpahan minyak tersebut. Ladang kehidupan nelayan NTT di Laut Timor pun ikut terganggu, demikian pun dengan para petani rumput laut.
Hasil budi daya rumput laut para petani nelayan mulai dari Pulau Timor, Rote, Alor, Sabu, Sumba, dan sebagian di Pulau Flores rusak, dan tidak bisa dipanen lagi pascatumpahan minyak yang maha dahsyat itu.
James menilai bahwa gugatan class action oleh para petani rumput laut di Pulau Rote yang diwakili oleh Daniel Sanda, saat menghadiri sidang di Pengadilan Sydney beberapa waktu lalu seolah-olah tak ada jalan keluarnya sama sekali.
Baca juga: YPTB: Australia tidak boleh menghindar dari kasus Montara
Dari sisi ekonomi, katanya, memang merugikan para nelayan dan petani rumput laut, sebab bukti-bukti hasil penelitian baik oleh lembaga luar negeri maupun tim peneliti bentukan Yayasan peduli Timor Barat terbukti merugikan para petani rumput laut asal Pulau Rote Ndao.
Terkait besaran ganti rugi, James Adam mengatakan memang belum bisa dihitung karena sejak keputusan pengadilan di Sydney Australia beberapa waktu lalu belum diikuti dengan tindakan lanjutan untuk eksekusi atas keputusan tersebut.
"Menurut saya baik Kementerian Luar Negeri harus membuka lagi kasus itu untuk dituntaskan sesuai keputusan pengadilan yang sudah ada. Ini tugas pemerintah agar masalahnya bisa segera selesai," katanya.
Sementara Ketua Yayasan Peduli Timor Barat yang Ferdi Tanoni yang menginvestigasi kasus itu bersama timnya mengatakan bahwa di akhir April ini pihaknya akan berangkat ke Australia untuk kembali membicarakan hal tersebut.
"Kami berharap agar para pejabat di negeri Kanguru tidak menghindar lagi. Mengingat beberapa kali pertemuan selalu saja ada alasan untuk menghindar dari para pejabat dari Indonesia," demikian Ferdi Tanoni.
Baca juga: Indonesia tidak punya data soal Montara
Baca juga: Indonesia-Australia harus duduk bersama selesaikan kasus Montara