Kupang (ANTARA) - Umat Katolik di wilayah Keuskupan Agung Kupang, NTT, Jumat (19/4) sore hingga malam, larut dalam prosesi cium salib untuk mengenang kisah sengsara sampai wafatnya Yesus Kristus di kayu salib.
Selama masa prapaskah, Gereja mengajak seluruh umat untuk merenungkan peristiwa iman yang menjadi dasar seluruh iman Katolik, yakni kisah perutusan Allah kepada Putera-Nya yang tunggal untuk menyelamatkan umat manusia dari noda dosa.
“Dan kasih-Nya kepada umat manusia mencapai puncaknya pada hari Jumat Agung, hari di mana Yesus mengurbankan diri-Nya dengan wafat-Nya di kayu salib untuk menyelamatkan umat manusia,“ kata Romo Ande Sika saat memimpin kebaktian Jumat Agung di Stasi Yesus Maria Yosef Liliba Kupang.
Penghormatan salib Kristus dalam liturgi Jumat Agung dimulai sekitar abad ke-4 di Yerusalem, yang kemudian berkembang ke seluruh dunia, sampai sekarang.
“Kita tidak dapat merayakan dan menekankan Kebangkitan Kristus tanpa merenungkan sengsara dan wafat-Nya di kayu salib, yang mendahului Kebangkitan-Nya,“ kata Romo Ande.
Penciuman salib Kristus dalam tradisi gereja Katolik adalah suatu ekspresi yang keluar dari dalam hati, yaitu suatu ekspresi syukur dan kasih kepada Yesus yang telah terlebih dahulu mengasihi manusia.
“Pada saat kita menghormati salib Kristus kita mensyukuri rahmat kasih-Nya yang tak terbatas, yang telah menyelamatkan kita. Kita mensyukuri kasih-Nya yang terbesar, sebab tiada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang menyerahkan nyawanya bagi sahabat-sahabat-Nya,“ katanya.
Baca juga: Umat Katolik lakukan prosesi Cium Salib
“Aku telah disalibkan dengan Engkau. Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Engkau yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang ku hidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Engkau, yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Mu untuk aku,” tambahnya.
Perayaan liturgi Jumat Agung bukan perayaan yang berdiri sendiri, namun merupakan bagian dari perayaan Triduum Paskah, yang dimulai pada perayaan Ekaristi memperingati Perjamuan Terakhir pada hari Kamis Putih dan berakhir pada Minggu Paskah.
Perayaan Ekaristi pada hari Kamis Putih tidak diakhiri dengan pengutusan ataupun berkat, maka perayaan Jumat Agung (bukan perayaan Ekaristi Kudus) merupakan kelanjutan dari perayaan Kamis Putih.
Karena sesungguhnya perayaan Kurban Misa adalah penghadiran kembali peristiwa Perjamuan Terakhir, Penyaliban, dan Kebangkitan Yesus, seluruhnya dalam kesatuan.
Ditegaskan bahwa prosesi penciuman salib pada perayaan Jumat Agung bukan berhala, karena yang dihormati bukan salib itu, tetapi maknanya, yaitu Kristus yang tersalib, yang rela mengurbankan diri-Nya demi menebus dosa-dosa manusia
Baca juga: Feature - Jumat Agung dan pemimpin yang rela berkorban
Baca juga: Ribuan Umat Katolik Rayakan Jumat Agung
Selama masa prapaskah, Gereja mengajak seluruh umat untuk merenungkan peristiwa iman yang menjadi dasar seluruh iman Katolik, yakni kisah perutusan Allah kepada Putera-Nya yang tunggal untuk menyelamatkan umat manusia dari noda dosa.
“Dan kasih-Nya kepada umat manusia mencapai puncaknya pada hari Jumat Agung, hari di mana Yesus mengurbankan diri-Nya dengan wafat-Nya di kayu salib untuk menyelamatkan umat manusia,“ kata Romo Ande Sika saat memimpin kebaktian Jumat Agung di Stasi Yesus Maria Yosef Liliba Kupang.
Penghormatan salib Kristus dalam liturgi Jumat Agung dimulai sekitar abad ke-4 di Yerusalem, yang kemudian berkembang ke seluruh dunia, sampai sekarang.
“Kita tidak dapat merayakan dan menekankan Kebangkitan Kristus tanpa merenungkan sengsara dan wafat-Nya di kayu salib, yang mendahului Kebangkitan-Nya,“ kata Romo Ande.
Penciuman salib Kristus dalam tradisi gereja Katolik adalah suatu ekspresi yang keluar dari dalam hati, yaitu suatu ekspresi syukur dan kasih kepada Yesus yang telah terlebih dahulu mengasihi manusia.
“Pada saat kita menghormati salib Kristus kita mensyukuri rahmat kasih-Nya yang tak terbatas, yang telah menyelamatkan kita. Kita mensyukuri kasih-Nya yang terbesar, sebab tiada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang menyerahkan nyawanya bagi sahabat-sahabat-Nya,“ katanya.
Baca juga: Umat Katolik lakukan prosesi Cium Salib
“Aku telah disalibkan dengan Engkau. Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Engkau yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang ku hidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Engkau, yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Mu untuk aku,” tambahnya.
Perayaan liturgi Jumat Agung bukan perayaan yang berdiri sendiri, namun merupakan bagian dari perayaan Triduum Paskah, yang dimulai pada perayaan Ekaristi memperingati Perjamuan Terakhir pada hari Kamis Putih dan berakhir pada Minggu Paskah.
Perayaan Ekaristi pada hari Kamis Putih tidak diakhiri dengan pengutusan ataupun berkat, maka perayaan Jumat Agung (bukan perayaan Ekaristi Kudus) merupakan kelanjutan dari perayaan Kamis Putih.
Karena sesungguhnya perayaan Kurban Misa adalah penghadiran kembali peristiwa Perjamuan Terakhir, Penyaliban, dan Kebangkitan Yesus, seluruhnya dalam kesatuan.
Ditegaskan bahwa prosesi penciuman salib pada perayaan Jumat Agung bukan berhala, karena yang dihormati bukan salib itu, tetapi maknanya, yaitu Kristus yang tersalib, yang rela mengurbankan diri-Nya demi menebus dosa-dosa manusia
Baca juga: Feature - Jumat Agung dan pemimpin yang rela berkorban
Baca juga: Ribuan Umat Katolik Rayakan Jumat Agung