Kupang (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Mikhael Raja Muda Bataona MA, mengatakan, gagasan menaikkan ambang batas parlemen dari empat menjadi tujuh persen boleh diterapkan, jika sistem pemilu di Indonesia mengadopsi model konvensi di Amerika Serikat.
"Ide ini boleh diterapkan, jika sistem pemilu kita mengadopsi model konvensi di Amerika Serikat, dimana semua calon dinominasikan lewat konvensi partai," kata Raja Muda Bataona kepada ANTARA di Kupang, Rabu (11/3).
Menurut dia, dengan model konvensi, semua calon yang maju dinominasikan lewat konvensi partai, dan rancangan nama-nama calon di semua level ditentukan lewat debat terbuka dan hasil pemilihan rakyat.
"Jadi bukan calon yang ditentukan secara sepihak oleh elit partai politik," kata dia.
Baca juga: Kata Tuba Helan, jangan kembali ke sistem pemilu yang buruk
Menurut dia, ketika daftar calon ditentukan elit partai maka calon yang dipilih oleh rakyat adalah pilihan para elit partai dan jejaring oligarki politik yang mencengkeram dan mengendalikan partai politik itu.
"Jadi bisa dikatakan bahwa apabila hal itu dipaksakan saat ini maka jaringan oligarki ekonomi politik yang mencengkram partai-partai politik di Indonesia akan semakin kuat," katanya.
Karena itu, dibutuhkan perubahan sistem perekrutan kader partai di internal partai-partai politik, dimana rakyat turut menentukan siapa wakil yang mereka percayakan untuk partai.
"Setelah itu boleh sistem partai kita disederhanakan jumlahnya seperti di Amerika Serikat," kata dia.
Baca juga: Indonesia sebaiknya coba pemilu sistem distrik
Sebelumnya, dalam pertemuan antara Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, Senin, (9/3), ada beberapa poin yang dibahas. Salah satunya usulan Paloh agar ambang batas parlemen menjadi tujuh persen dan ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden tetap 20 persen.
Dalam kaitan itu, Airlangga menegaskan bahwa Partai Golkar siap mendukung konsep yang disampaikan Paloh itu dan sepakat agar diberlakukan secara nasional.
Baca juga: Sistem Pemilu Bukan Solusi Hindari Politik Uang
"Ide ini boleh diterapkan, jika sistem pemilu kita mengadopsi model konvensi di Amerika Serikat, dimana semua calon dinominasikan lewat konvensi partai," kata Raja Muda Bataona kepada ANTARA di Kupang, Rabu (11/3).
Menurut dia, dengan model konvensi, semua calon yang maju dinominasikan lewat konvensi partai, dan rancangan nama-nama calon di semua level ditentukan lewat debat terbuka dan hasil pemilihan rakyat.
"Jadi bukan calon yang ditentukan secara sepihak oleh elit partai politik," kata dia.
Baca juga: Kata Tuba Helan, jangan kembali ke sistem pemilu yang buruk
Menurut dia, ketika daftar calon ditentukan elit partai maka calon yang dipilih oleh rakyat adalah pilihan para elit partai dan jejaring oligarki politik yang mencengkeram dan mengendalikan partai politik itu.
"Jadi bisa dikatakan bahwa apabila hal itu dipaksakan saat ini maka jaringan oligarki ekonomi politik yang mencengkram partai-partai politik di Indonesia akan semakin kuat," katanya.
Karena itu, dibutuhkan perubahan sistem perekrutan kader partai di internal partai-partai politik, dimana rakyat turut menentukan siapa wakil yang mereka percayakan untuk partai.
"Setelah itu boleh sistem partai kita disederhanakan jumlahnya seperti di Amerika Serikat," kata dia.
Baca juga: Indonesia sebaiknya coba pemilu sistem distrik
Sebelumnya, dalam pertemuan antara Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, Senin, (9/3), ada beberapa poin yang dibahas. Salah satunya usulan Paloh agar ambang batas parlemen menjadi tujuh persen dan ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden tetap 20 persen.
Dalam kaitan itu, Airlangga menegaskan bahwa Partai Golkar siap mendukung konsep yang disampaikan Paloh itu dan sepakat agar diberlakukan secara nasional.
Baca juga: Sistem Pemilu Bukan Solusi Hindari Politik Uang