Kupang (Antara NTT) - Regulator Pengeboran Minyak Lepas Pantai Pemerintah Federal Australia (Nopsema) menolak permohonan izin pengeboran minyak bagi PTTEP asal Thailand yang akan melakukan pengeboran sumur minyak baru lepas pantai di ladang Montara.
"Sumur minyak yang diinginkan PTTEP itu berada di lokasi tumpahan minyak Montara yang merupakan tradegi terburuk pada Agustus 2009 bagi Australia dalam sejarahnya," demikian Harian The Australian memberitakan dari Syndey, Senin.
Salah satu harian terbesar di negeri Kanguru itu dalam laporannya 8 Juni 2017 menyebutkan National Offshore Petroleum Safety and Environmental Management Authority (Nopsema) menolak memberi izin tersebut setelah mempelajari permohonan PTTEP, karena rencana lingkungan proyek yang diajukan tidak sesuai standar.
Laporan The Australian berjudul "Thai Oil Firm PTTEP`s Montara Well Plan Rejected by Regulator" menyebutkan insiden tumpahan minyak di ladang Montara di lepas pantai barat Australia pada 21 Agustus 2009 itu, mengakibatkan jutaan liter minyak yang bocor ke Laut Timor selama 74 hari setelah terjadinya ledakan di kepala sumur yang mencemari pantai-pantai di Indonesia.
PTTEP telah mengusulkan pengeboran sumur produksi lain di lokasi ini akhir tahun lalu untuk memperpanjang umur lapangan. Namun, Nopsema mengatakan rencana lingkungan yang diajukan oleh PTTEP untuk pengeboran sumur itu tidak sesuai dengan sifat dan skala kegiatan dan tidak menunjukkan bahwa "dampak dan risiko lingkungan dari kegiatan itu akan dikurangi menjadi serendah mungkin".
Atas dasar itu, pihak Nopsema menolak dengan tegas rencana PTTEP tersebut, karena tidak memenuhi persyaratan untuk menunjukkan bahwa dampak dan risiko lingkungan tersebut.
Sementara itu, juru bicara Tim Advokasi Skandal Laut Timor (Taslamor) yang juga Direktur Ocean Watch Indonesia (OWI) Herman Jaya kepada wartawan mengatakan sudah saatnya bagi Pemerintah Australia mengambil sikap tegas terhadap PTTEP, karena tidak bertanggungjawab atas tragedi pencemaran Montara pada 21 Agustus 2009.
"Selama hampir 8 tahun sejak terjadinya petaka tumpahan minyak Montara di Laut Timor, Pemerintah Federal Australia selalu mengabaikan suara rakyat Indonesia dari NTT dan melindungi PTTEP dari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan di perairan Indonesia dan mengorbankan lebih dari 100.000 penduduk miskin di wilayah persisir NTT," katanya.
Herman menilai sikap tegas Pemerintah Federall Australia terhadap PTTEP ini merupakan respons terhadap sikap tegas Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang sejak 1 Desember 2016 menyatakan bahwa Pemerintah Federal Australia harus ikut bertanggungjawab atas penyelesaian Petaka Tumpahan Minyak di Laut Timor.
Sikap tegas Luhut Binsar Pandjaitan ini kemudian disusul dengan pertemuan tanggal 2 Desember 2016 antara Dubes Australia untuk Indonesia Paul Grigson dengan Pemerintah RI yang diwakili oleh Deputy I Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Havaz Oegroseno serta masyarakat korban dan Pemerintah NTT yang diwakili oleh Ketua Yayasan Peduli Timor Barat Ferdi Tanoni dan Ketua Badan Lingkungan Hidup NTT Benyamin Lola.
Pertemuan ini disusul lagi dengan pertemuan antara Luhut Binsar Pandjaitan dan Menlu Australia Julie Bishop di Jakarta pada awal Maret 2017 yang menyepakati sebuah kerja sama penyelesaian kasus petaka tumpahan minyak Montara.
"Dengan perkembangan signifikan dalam penyelesaian kasus Montara yang belum pernah terjadi sebelumnya ini, semestinya diikuti secara tegas dan konsisten terhadap Australia oleh Havaz Oegroseno selaku Ketua Tim Nasional Penyelesaian Sengketa Petaka Tumpahan Minyak Montara di Laut Timor," kata Herman.
Sebagai seorang mantan diplomat, Herman yakin, Harvas Oegroseno pasti mengetahui bahwa peluang ini harus digunakan untuk mempercepat penyelesaian kasus Montara secara menyeluruh dan komprehensif dengan titik fokus dan prioritaskan jalan diplomasi dengan melibatkan Pemerintah Federal Australia sebagai regulator.
Tapi sayangnya, kata Herman, Harvas Oegroseno malah bersikap sebaliknya dengan mengabaikan pertanggungjawaban Pemerintah Federal Australia atas tragedi Montara yang sangat memilukan itu.
"Sumur minyak yang diinginkan PTTEP itu berada di lokasi tumpahan minyak Montara yang merupakan tradegi terburuk pada Agustus 2009 bagi Australia dalam sejarahnya," demikian Harian The Australian memberitakan dari Syndey, Senin.
Salah satu harian terbesar di negeri Kanguru itu dalam laporannya 8 Juni 2017 menyebutkan National Offshore Petroleum Safety and Environmental Management Authority (Nopsema) menolak memberi izin tersebut setelah mempelajari permohonan PTTEP, karena rencana lingkungan proyek yang diajukan tidak sesuai standar.
Laporan The Australian berjudul "Thai Oil Firm PTTEP`s Montara Well Plan Rejected by Regulator" menyebutkan insiden tumpahan minyak di ladang Montara di lepas pantai barat Australia pada 21 Agustus 2009 itu, mengakibatkan jutaan liter minyak yang bocor ke Laut Timor selama 74 hari setelah terjadinya ledakan di kepala sumur yang mencemari pantai-pantai di Indonesia.
PTTEP telah mengusulkan pengeboran sumur produksi lain di lokasi ini akhir tahun lalu untuk memperpanjang umur lapangan. Namun, Nopsema mengatakan rencana lingkungan yang diajukan oleh PTTEP untuk pengeboran sumur itu tidak sesuai dengan sifat dan skala kegiatan dan tidak menunjukkan bahwa "dampak dan risiko lingkungan dari kegiatan itu akan dikurangi menjadi serendah mungkin".
Atas dasar itu, pihak Nopsema menolak dengan tegas rencana PTTEP tersebut, karena tidak memenuhi persyaratan untuk menunjukkan bahwa dampak dan risiko lingkungan tersebut.
Sementara itu, juru bicara Tim Advokasi Skandal Laut Timor (Taslamor) yang juga Direktur Ocean Watch Indonesia (OWI) Herman Jaya kepada wartawan mengatakan sudah saatnya bagi Pemerintah Australia mengambil sikap tegas terhadap PTTEP, karena tidak bertanggungjawab atas tragedi pencemaran Montara pada 21 Agustus 2009.
"Selama hampir 8 tahun sejak terjadinya petaka tumpahan minyak Montara di Laut Timor, Pemerintah Federal Australia selalu mengabaikan suara rakyat Indonesia dari NTT dan melindungi PTTEP dari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan di perairan Indonesia dan mengorbankan lebih dari 100.000 penduduk miskin di wilayah persisir NTT," katanya.
Herman menilai sikap tegas Pemerintah Federall Australia terhadap PTTEP ini merupakan respons terhadap sikap tegas Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang sejak 1 Desember 2016 menyatakan bahwa Pemerintah Federal Australia harus ikut bertanggungjawab atas penyelesaian Petaka Tumpahan Minyak di Laut Timor.
Sikap tegas Luhut Binsar Pandjaitan ini kemudian disusul dengan pertemuan tanggal 2 Desember 2016 antara Dubes Australia untuk Indonesia Paul Grigson dengan Pemerintah RI yang diwakili oleh Deputy I Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Havaz Oegroseno serta masyarakat korban dan Pemerintah NTT yang diwakili oleh Ketua Yayasan Peduli Timor Barat Ferdi Tanoni dan Ketua Badan Lingkungan Hidup NTT Benyamin Lola.
Pertemuan ini disusul lagi dengan pertemuan antara Luhut Binsar Pandjaitan dan Menlu Australia Julie Bishop di Jakarta pada awal Maret 2017 yang menyepakati sebuah kerja sama penyelesaian kasus petaka tumpahan minyak Montara.
"Dengan perkembangan signifikan dalam penyelesaian kasus Montara yang belum pernah terjadi sebelumnya ini, semestinya diikuti secara tegas dan konsisten terhadap Australia oleh Havaz Oegroseno selaku Ketua Tim Nasional Penyelesaian Sengketa Petaka Tumpahan Minyak Montara di Laut Timor," kata Herman.
Sebagai seorang mantan diplomat, Herman yakin, Harvas Oegroseno pasti mengetahui bahwa peluang ini harus digunakan untuk mempercepat penyelesaian kasus Montara secara menyeluruh dan komprehensif dengan titik fokus dan prioritaskan jalan diplomasi dengan melibatkan Pemerintah Federal Australia sebagai regulator.
Tapi sayangnya, kata Herman, Harvas Oegroseno malah bersikap sebaliknya dengan mengabaikan pertanggungjawaban Pemerintah Federal Australia atas tragedi Montara yang sangat memilukan itu.