Kupang (ANTARA) - Pakar hukum administrasi negara Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Johanes Tuba Helan mengatakan Mahkamah Agung tidak berwenang membuat regulasi yang mengikat untuk umum.
"Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tidak berwenang membuat regulasi yang mengikat umum. MK dapat membuat peraturan MA (perma) dan surat edaran MA (sema) hanya untuk jajaran lembaga yudikatif," kata Dr. Johanes Tuba Helan, S.H., M.Hum. kepada ANTARA di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Selasa (4/8).
Mantan Kepala Ombudsman Perwakilan NTB dan NTT mengemukakan pandangan itu berkaitan dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020.
Ia menegaskan bahwa MA sebagai lembaga yudikatif hanya boleh membuat peraturan untuk jajaran lembaga yudikatif.
Ditegaskan pula bahwa tindak pidana korupsi dihukum karena suatu perbuatan, bukan karena nilai kerugian negara yang ditumbulkan dalam tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, menurut dia, perma ini tepatnya diatur dalam undang-undang antikorupsi, bukan dalam regulasi Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif.
Baca juga: Pengamat : Ada dua pertimbangan pilkada 9 Desember 2020
Sebelumnya, Mahkamah Agung menetapkan peraturan pedoman pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur korupsi di atas Rp100 miliar dapat dipidana seumur hidup.
Dalam Perma Nomor 1 Tahun 2020 menyebutkan hakim harus mempertimbangkan kategori kerugian keuangan negara; tingkat kesalahan, dampak dan keuntungan; rentang penjatuhan pidana; keadaan yang memberatkan atau meringankan; penjatuhan pidana serta ketentuan lain yang berkaitan dengan penjatuhan pidana.
Baca juga: Kata pengamat, edukasi protokol kesehatan bagi wisatawan harus simultan
Berkaitan dengan kategori keuangan, dalam mengadili perkara Pasal 2 UU Tipikor, kategori terbagi menjadi empat, yakni paling berat lebih dari Rp100 miliar, berat lebih dari Rp25 miliar sampai Rp100 miliar, sedang lebih dari Rp1 miliar sampai Rp25 miliar, serta ringan Rp200 juta sampai Rp1miliar.
Dalam mengadili Pasal 3, kategori kerugian keuangan negara terbagi menjadi lima, yakni paling berat lebih dari Rp100 miliar, berat lebih dari Rp25 miliar sampai Rp100 miliar, sedang lebih dari Rp1 miliar sampai Rp25 miliar, ringan Rp200 juta sampai Rp1miliar, serta paling ringan sampai Rp200 juta.
Untuk kategori paling berat dengan kesalahan, dampak dan keuntungan tinggi, penjatuhan pidana selama 16—20 tahun/seumur hidup dan denda Rp800 juta—Rp1 miliar.
Apabila kategori paling berat dengan kesalahan, dampak dan keuntungan sedang hukumannya selama 13—16 tahun dan denda Rp650 juta—Rp800 juta.
Selanjutnya, kategori paling berat dengan kesalahan, dampak dan keuntungan ringan hukumannya selama 10-13 tahun dan denda Rp500 juta—Rp650 juta.
Seterusnya hingga kategori paling ringan dengan kesalahan, dampak dan keuntungan ringan hukumannya adalah penjara 1—2 tahun dan denda Rp50 juta—Rp100 juta.
Peraturan itu ditetapkan dengan pertimbangan penjatuhan pidana harus memberikan kepastian dan proporsionalitas pemidanaan serta menghindari disparitas perkara yang memiliki karakter serupa.
Ketua Mahkamah Agung meneken peraturan tersebut pada tanggal 8 Juli 2020 dan resmi diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 24 Juli 2020.
"Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tidak berwenang membuat regulasi yang mengikat umum. MK dapat membuat peraturan MA (perma) dan surat edaran MA (sema) hanya untuk jajaran lembaga yudikatif," kata Dr. Johanes Tuba Helan, S.H., M.Hum. kepada ANTARA di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Selasa (4/8).
Mantan Kepala Ombudsman Perwakilan NTB dan NTT mengemukakan pandangan itu berkaitan dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020.
Ia menegaskan bahwa MA sebagai lembaga yudikatif hanya boleh membuat peraturan untuk jajaran lembaga yudikatif.
Ditegaskan pula bahwa tindak pidana korupsi dihukum karena suatu perbuatan, bukan karena nilai kerugian negara yang ditumbulkan dalam tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, menurut dia, perma ini tepatnya diatur dalam undang-undang antikorupsi, bukan dalam regulasi Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif.
Baca juga: Pengamat : Ada dua pertimbangan pilkada 9 Desember 2020
Sebelumnya, Mahkamah Agung menetapkan peraturan pedoman pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur korupsi di atas Rp100 miliar dapat dipidana seumur hidup.
Dalam Perma Nomor 1 Tahun 2020 menyebutkan hakim harus mempertimbangkan kategori kerugian keuangan negara; tingkat kesalahan, dampak dan keuntungan; rentang penjatuhan pidana; keadaan yang memberatkan atau meringankan; penjatuhan pidana serta ketentuan lain yang berkaitan dengan penjatuhan pidana.
Baca juga: Kata pengamat, edukasi protokol kesehatan bagi wisatawan harus simultan
Berkaitan dengan kategori keuangan, dalam mengadili perkara Pasal 2 UU Tipikor, kategori terbagi menjadi empat, yakni paling berat lebih dari Rp100 miliar, berat lebih dari Rp25 miliar sampai Rp100 miliar, sedang lebih dari Rp1 miliar sampai Rp25 miliar, serta ringan Rp200 juta sampai Rp1miliar.
Dalam mengadili Pasal 3, kategori kerugian keuangan negara terbagi menjadi lima, yakni paling berat lebih dari Rp100 miliar, berat lebih dari Rp25 miliar sampai Rp100 miliar, sedang lebih dari Rp1 miliar sampai Rp25 miliar, ringan Rp200 juta sampai Rp1miliar, serta paling ringan sampai Rp200 juta.
Untuk kategori paling berat dengan kesalahan, dampak dan keuntungan tinggi, penjatuhan pidana selama 16—20 tahun/seumur hidup dan denda Rp800 juta—Rp1 miliar.
Apabila kategori paling berat dengan kesalahan, dampak dan keuntungan sedang hukumannya selama 13—16 tahun dan denda Rp650 juta—Rp800 juta.
Selanjutnya, kategori paling berat dengan kesalahan, dampak dan keuntungan ringan hukumannya selama 10-13 tahun dan denda Rp500 juta—Rp650 juta.
Seterusnya hingga kategori paling ringan dengan kesalahan, dampak dan keuntungan ringan hukumannya adalah penjara 1—2 tahun dan denda Rp50 juta—Rp100 juta.
Peraturan itu ditetapkan dengan pertimbangan penjatuhan pidana harus memberikan kepastian dan proporsionalitas pemidanaan serta menghindari disparitas perkara yang memiliki karakter serupa.
Ketua Mahkamah Agung meneken peraturan tersebut pada tanggal 8 Juli 2020 dan resmi diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 24 Juli 2020.