Kupang (ANTARA) - Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTT Tory Ata mengatakan sebanyak 29 kepala keluarga (KK) warga Pubabu, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), yang menjadi korban penggusuran oleh Pemerintah Nusa Tenggara Timur (NTT), saat ini tinggal di bawah pohon.
Sebagian diantara mereka tidur beralaskan tanah karena hanya ada tiga lembar tikar, katanya kepada ANTARA di Kupang, Selasa, (18/8).
Dia mengemukakan hal itu, ketika menjelaskan hasil investigasi LPA NTT terhadap konflik masyarakat adat Pubabu-Besipae - Kabupaten TTS dengan Pemda Provinsi tentang hak milik atas tanah adat dan hak pakai oleh Pemda NTT.
Baca juga: Walhi kecam tindakan represif di Pubabu
"Saat ini masyarakat tinggal di bawah pohon, tikar hanya tiga lembar, kursi 4 buah, selebihnya mereka duduk di atas kayu dan batu sekitar lokasi," katanya.
Di lokasi, terdapat satu periuk besar, beberapa alat makan, gelas plastik, beberapa jerigen air.
Makanan, pakaian dan barang-barang di tumpuk menjadi satu di sebuah rumah dekat petugas penggusur dan aparat keamanan.
Sementara petugas penggusur dan aparat keamanan sedang beroperasi di lokasi utama, jarak ke tempat masyarakat berkumpul sekitar 200 meter.
Dia menambahkan, kondisi rill ibu dan anak di lokasi terdiri dari laki-laki 34 orang, ibu-ibu 50 orang, lansia 6 orang, pemuda 5 orang.
Sementara anak-anak berjumlah 48 orang (SMA 8 orang, SMP 7 orang, SD 17 orang, PAUD 15 orang). Selain terdapat bayi 6 orang, ibu hamil 2 orang (5 bulan dan 6 bulan), ibu menyusui 6 orang. Umur bayi 2 bulan, 4 bulan, 7 bulan, 1 tahun (2bayi) dan 1,5 tahun.
Baca juga: LPA: Perlu penanganan serius kekerasan seksual terhadap anak
"Seorang ibu yang sedang hamil 7 bulan, memiliki 3 anak yang lain berumur 3 tahun, kelas 1 SD dan kelas 2 SD," katanya menjelaskan.
Dia mengharapkan adanya bantuan makanan untuk mereka yang saat ini tetap berupaya mempertahankan tanah ulayat mereka di Pubabu, yang akan digunakan pemerintah NTT untuk mengembangkan pertanian.
Sebagian diantara mereka tidur beralaskan tanah karena hanya ada tiga lembar tikar, katanya kepada ANTARA di Kupang, Selasa, (18/8).
Dia mengemukakan hal itu, ketika menjelaskan hasil investigasi LPA NTT terhadap konflik masyarakat adat Pubabu-Besipae - Kabupaten TTS dengan Pemda Provinsi tentang hak milik atas tanah adat dan hak pakai oleh Pemda NTT.
Baca juga: Walhi kecam tindakan represif di Pubabu
"Saat ini masyarakat tinggal di bawah pohon, tikar hanya tiga lembar, kursi 4 buah, selebihnya mereka duduk di atas kayu dan batu sekitar lokasi," katanya.
Di lokasi, terdapat satu periuk besar, beberapa alat makan, gelas plastik, beberapa jerigen air.
Makanan, pakaian dan barang-barang di tumpuk menjadi satu di sebuah rumah dekat petugas penggusur dan aparat keamanan.
Sementara petugas penggusur dan aparat keamanan sedang beroperasi di lokasi utama, jarak ke tempat masyarakat berkumpul sekitar 200 meter.
Dia menambahkan, kondisi rill ibu dan anak di lokasi terdiri dari laki-laki 34 orang, ibu-ibu 50 orang, lansia 6 orang, pemuda 5 orang.
Sementara anak-anak berjumlah 48 orang (SMA 8 orang, SMP 7 orang, SD 17 orang, PAUD 15 orang). Selain terdapat bayi 6 orang, ibu hamil 2 orang (5 bulan dan 6 bulan), ibu menyusui 6 orang. Umur bayi 2 bulan, 4 bulan, 7 bulan, 1 tahun (2bayi) dan 1,5 tahun.
Baca juga: LPA: Perlu penanganan serius kekerasan seksual terhadap anak
"Seorang ibu yang sedang hamil 7 bulan, memiliki 3 anak yang lain berumur 3 tahun, kelas 1 SD dan kelas 2 SD," katanya menjelaskan.
Dia mengharapkan adanya bantuan makanan untuk mereka yang saat ini tetap berupaya mempertahankan tanah ulayat mereka di Pubabu, yang akan digunakan pemerintah NTT untuk mengembangkan pertanian.