Kupang (Antara NTT) - Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Nusa Tenggara Timur Ganef Wurgiyanto mengatakan pemanfaatan potensi perikanan tangkap di provinsi berbasis kepulauan ini baru mencapai sekitar 40 persen dari seluruh potensi yang ada.
"Pemanfaatan potensi laut tersebut dominan untuk penangkapan ikan seperti tuna, cakalang, plagis, dan berbagai jenis ikan lainnya terutama di wilayah laut 0-12 mil," kata Ganef Wurgiyanto saat dihubungi Antara di Kupang, Kamis.
Mantan Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP NTT itu mengakui pemanfaatan potensi laut di provinsi dengan luas wilayah laut mencapai 200.000 kilometer persegi itu belum maksimal karena keterbatasan sumber daya manusia, teknologi, maupun sarana prasarana seperti kapal dan alat tangkap yang ramah lingkungan.
Di sisi lain, lanjutnya, kewenangan mengekploitasi hasil laut masih terbatas terutama untuk wilayah yang kaya hasil ikan seperti Laut Sawu yang merupakan kawasan konservasi dan dilindungi undang-undang.
"Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 sudah menegaskan kewenangan provinsi hanya mengelola wilayah laut dari 0-12 mil. Di walayah inilah nelayan-nelayan kita bisa mengekplorasi hasil laut," katanya.
Ganef menilai capaian pemanfaatan hasil laut sejauh ini masih wajar karena mengandalkan alat tangkap yang ramah lingkungan untuk menjaga kelestarian ekosistem laut.
"Kalau kita mau betul-betul mengeksploitasi tapi dengan cara yang tidak ramah lingkungan maka bisa mencapai 90 hingga 100 persen. Tapi kan tidak boleh karena berbenturan dengan aturan, di sisi lain kita juga menjaga agar hasil-hasil laut tidak punah," katanya.
Menurutnya, untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi laut di provinsi itu, pemerintah pusat dan daerah memperkuatnya dengan memberikan bantuan kapal kepada nelayan beserta alat tangkap yang ramah lingkungan secara bertahap setiap tahun.
Ia mencontohkan alokasi bantuan sebelumnya dalam APBD 2017, pemerintah provinsi berupa bantuan kapal nelayan berukuran 3 gross tonage (GT) sebanyak 65 unit serta perahu ketinting sebanyak 195 unit.
Selain itu, dalam Rencana APBD 2018 telah diusulkan pula alokasi tambahan bantuan berupa 300 kapal nelayan di antaranya 200 unit perahu ketinting dan kapal 3 GT sebanyak 100 unit, masing-masing dilengkapi alat tangkap ramah lingkungan berupa gill net dan Global Positioning System (GPS).
"Meskipun bantuan masih terbatas dibanding jumlah nelayan kita tapi setiap tahun terus kami adakan, selain untuk mendukung peningkatan hasil tangkapan nelayan juga sebagai bagian dari pemberdayaan agar nelayan kita tidak melakukan praktik destructive fishing," kata Ganef.
Lebih lanjut, ia mengatakan selain potensi perikanan tangkap, berbagai hasil laut melimpah namun belum dikembangkan secara maksimal dan merata di semua daerah yakni budidaya rumput laut.
Ia menyebutkan sejumlah daerah di provinsi yang memiliki 22 kabupaten/kota dengan tingkat ekploitasi rumput laut yang cukup baik seperti Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Alor dan Flores Timur.
Untuk Kabupaten Kupang sendiri tercatat memiliki jumlah produksi mencapai 860.379 ton pada tahun 2016, menyusul Kabupaten Rote Ndao dengan jumlah produksi pada 2016 mencapai 128.595 ton.
Namun, katanya, terdapat sejumlah daerah yang hasil produksi budidaya rumput lautnya belum menonjol terutama di Pulau Timor seperti Kabupaten Belu, Malaka, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan dan Kota Kupang.
"Untuk itu berbagai potensi laut selain perikanan tangkap ini juga terus kami dorong melalui pembinaan maupun penyaluran bantuan sarana dan prasarana pendukung agar dikembangkan secara maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kita di sini," katanya.
"Pemanfaatan potensi laut tersebut dominan untuk penangkapan ikan seperti tuna, cakalang, plagis, dan berbagai jenis ikan lainnya terutama di wilayah laut 0-12 mil," kata Ganef Wurgiyanto saat dihubungi Antara di Kupang, Kamis.
Mantan Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP NTT itu mengakui pemanfaatan potensi laut di provinsi dengan luas wilayah laut mencapai 200.000 kilometer persegi itu belum maksimal karena keterbatasan sumber daya manusia, teknologi, maupun sarana prasarana seperti kapal dan alat tangkap yang ramah lingkungan.
Di sisi lain, lanjutnya, kewenangan mengekploitasi hasil laut masih terbatas terutama untuk wilayah yang kaya hasil ikan seperti Laut Sawu yang merupakan kawasan konservasi dan dilindungi undang-undang.
"Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 sudah menegaskan kewenangan provinsi hanya mengelola wilayah laut dari 0-12 mil. Di walayah inilah nelayan-nelayan kita bisa mengekplorasi hasil laut," katanya.
Ganef menilai capaian pemanfaatan hasil laut sejauh ini masih wajar karena mengandalkan alat tangkap yang ramah lingkungan untuk menjaga kelestarian ekosistem laut.
"Kalau kita mau betul-betul mengeksploitasi tapi dengan cara yang tidak ramah lingkungan maka bisa mencapai 90 hingga 100 persen. Tapi kan tidak boleh karena berbenturan dengan aturan, di sisi lain kita juga menjaga agar hasil-hasil laut tidak punah," katanya.
Menurutnya, untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi laut di provinsi itu, pemerintah pusat dan daerah memperkuatnya dengan memberikan bantuan kapal kepada nelayan beserta alat tangkap yang ramah lingkungan secara bertahap setiap tahun.
Ia mencontohkan alokasi bantuan sebelumnya dalam APBD 2017, pemerintah provinsi berupa bantuan kapal nelayan berukuran 3 gross tonage (GT) sebanyak 65 unit serta perahu ketinting sebanyak 195 unit.
Selain itu, dalam Rencana APBD 2018 telah diusulkan pula alokasi tambahan bantuan berupa 300 kapal nelayan di antaranya 200 unit perahu ketinting dan kapal 3 GT sebanyak 100 unit, masing-masing dilengkapi alat tangkap ramah lingkungan berupa gill net dan Global Positioning System (GPS).
"Meskipun bantuan masih terbatas dibanding jumlah nelayan kita tapi setiap tahun terus kami adakan, selain untuk mendukung peningkatan hasil tangkapan nelayan juga sebagai bagian dari pemberdayaan agar nelayan kita tidak melakukan praktik destructive fishing," kata Ganef.
Lebih lanjut, ia mengatakan selain potensi perikanan tangkap, berbagai hasil laut melimpah namun belum dikembangkan secara maksimal dan merata di semua daerah yakni budidaya rumput laut.
Ia menyebutkan sejumlah daerah di provinsi yang memiliki 22 kabupaten/kota dengan tingkat ekploitasi rumput laut yang cukup baik seperti Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Alor dan Flores Timur.
Untuk Kabupaten Kupang sendiri tercatat memiliki jumlah produksi mencapai 860.379 ton pada tahun 2016, menyusul Kabupaten Rote Ndao dengan jumlah produksi pada 2016 mencapai 128.595 ton.
Namun, katanya, terdapat sejumlah daerah yang hasil produksi budidaya rumput lautnya belum menonjol terutama di Pulau Timor seperti Kabupaten Belu, Malaka, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan dan Kota Kupang.
"Untuk itu berbagai potensi laut selain perikanan tangkap ini juga terus kami dorong melalui pembinaan maupun penyaluran bantuan sarana dan prasarana pendukung agar dikembangkan secara maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kita di sini," katanya.