Jakarta (ANTARA) - Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF) menyarankan agar pemerintah menyusun peta jalan baru transisi energi agar tidak menimbulkan disrupsi ekonomi.
Ketua IMEF Singgih Widagdo mengatakan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang berlaku saat ini masih berorientasi terhadap pemanfaatan energi fosil.
"KEN dan RUEN yang seharusnya menjadi dasar kebijakan energi sudah tidak prospektif sebagai peta jalan untuk mencapai target emisi karbon," kata Singgih dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, (20/8).
Singgih menjelaskan terobosan pemerintah melalui Grand Strategy Energi Nasional (GSEN) perlu diapresiasi. Namun, karena GSEN tidak termasuk dalam nomenklatur perundangan-undangan, sehingga perlu diformalkan atau diadopsi substansinya ke dalam revisi KEN dan RUEN.
Dalam KEN dan RUEN yang terakhir disusun pada 2017, pemerintah masih menempatkan porsi minyak dan gas bumi, serta batu bara mencakup 77 persen porsi bauran energi nasional di tahun 2025, sedangkan porsi energi baru dan terbarukan (EBT) hanya 23 persen.
Bahkan sampai tahun 2050 porsi energi fosil justru masih dominan, yaitu 69 persen, sedangkan porsi energi bersih hanya naik menjadi 31 persen.
Regulasi tersebut membuat Indonesia harus menghadapi tantangan besar untuk dapat merealisasikan target penurunan emisi gas karbon dari sektor energi.
Sebagai salah satu negara penanda tangan Persetujuan Paris, Indonesia menghadapi dua pekerjaan rumah yang besar, yaitu mengejar target pertumbuhan ekonomi 8,0 persen dan menekan emisi karbon.
IMEF menilai tanpa ada kejelasan peta jalan transisi energi nasional, tidak hanya target terancam meleset, tetapi ancaman disrupsi ekonomi dapat terjadi.
"Ketersediaan energi yang memadai menjadi prasyarat utama untuk mencapai pertumbuhan ekonomi," ujar Singgih.
Saat ini, konsumsi energi final Indonesia sekitar 3,12 setara barel minyak (BOE) per kapita, sedangkan konsumsi listrik 1.094 kilowatt jam (kWh) per kapita.
Baca juga: Presiden soroti ancaman krisis pangan dan ketahanan energi
Ruang konsumsi energi untuk tumbuh masih terbuka luas, karena itu transisi energi di Indonesia harus mempertimbangkan pertumbuhan konsumsi energi di masa depan.
Dengan tren dunia menuju ke arah nol emisi karbon, tidak bisa lain, mayoritas pasokan energi ke depan harus berasal dari sumber energi terbarukan.
Baca juga: ESDM apresiasi pemanfaatan EBT atasi masalah sampah di Ende, Flores
Sebelumnya dalam pidato kenegaraan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-76 Republik Indonesia, Presiden Joko Widodo menegaskan lagi komitmen Indonesia untuk mengembangkan energi terbarukan dan ekonomi hijau.
Dalam kajian IMEF, revisi KEN dan RUEN menjadi titik krusial dalam transisi energi di tengah upaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi karena posisinya sebagai peta jalan utama.
Ketua IMEF Singgih Widagdo mengatakan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang berlaku saat ini masih berorientasi terhadap pemanfaatan energi fosil.
"KEN dan RUEN yang seharusnya menjadi dasar kebijakan energi sudah tidak prospektif sebagai peta jalan untuk mencapai target emisi karbon," kata Singgih dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, (20/8).
Singgih menjelaskan terobosan pemerintah melalui Grand Strategy Energi Nasional (GSEN) perlu diapresiasi. Namun, karena GSEN tidak termasuk dalam nomenklatur perundangan-undangan, sehingga perlu diformalkan atau diadopsi substansinya ke dalam revisi KEN dan RUEN.
Dalam KEN dan RUEN yang terakhir disusun pada 2017, pemerintah masih menempatkan porsi minyak dan gas bumi, serta batu bara mencakup 77 persen porsi bauran energi nasional di tahun 2025, sedangkan porsi energi baru dan terbarukan (EBT) hanya 23 persen.
Bahkan sampai tahun 2050 porsi energi fosil justru masih dominan, yaitu 69 persen, sedangkan porsi energi bersih hanya naik menjadi 31 persen.
Regulasi tersebut membuat Indonesia harus menghadapi tantangan besar untuk dapat merealisasikan target penurunan emisi gas karbon dari sektor energi.
Sebagai salah satu negara penanda tangan Persetujuan Paris, Indonesia menghadapi dua pekerjaan rumah yang besar, yaitu mengejar target pertumbuhan ekonomi 8,0 persen dan menekan emisi karbon.
IMEF menilai tanpa ada kejelasan peta jalan transisi energi nasional, tidak hanya target terancam meleset, tetapi ancaman disrupsi ekonomi dapat terjadi.
"Ketersediaan energi yang memadai menjadi prasyarat utama untuk mencapai pertumbuhan ekonomi," ujar Singgih.
Saat ini, konsumsi energi final Indonesia sekitar 3,12 setara barel minyak (BOE) per kapita, sedangkan konsumsi listrik 1.094 kilowatt jam (kWh) per kapita.
Baca juga: Presiden soroti ancaman krisis pangan dan ketahanan energi
Ruang konsumsi energi untuk tumbuh masih terbuka luas, karena itu transisi energi di Indonesia harus mempertimbangkan pertumbuhan konsumsi energi di masa depan.
Dengan tren dunia menuju ke arah nol emisi karbon, tidak bisa lain, mayoritas pasokan energi ke depan harus berasal dari sumber energi terbarukan.
Baca juga: ESDM apresiasi pemanfaatan EBT atasi masalah sampah di Ende, Flores
Sebelumnya dalam pidato kenegaraan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-76 Republik Indonesia, Presiden Joko Widodo menegaskan lagi komitmen Indonesia untuk mengembangkan energi terbarukan dan ekonomi hijau.
Dalam kajian IMEF, revisi KEN dan RUEN menjadi titik krusial dalam transisi energi di tengah upaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi karena posisinya sebagai peta jalan utama.