Kupang (AntaraNews NTT) - Para petani rumput laut di Desa Nemberala, Kabupaten Rote Ndao, NTT mengklaim bahwa usaha budidaya rumput laut di daerah itu mengalami penurunan drastis setelah meledaknya anjungan minyak Montara di Laut Timor pada Agustus 2009.
Adriana Balu, seorang petani rumput laut di Desa Nemberala, Senin (30/4) mengatakan usaha pengembangan budidaya rumput laut di Rote memang sejak tahun 2010 sudah terlihat menurun.
"Sebelum meledak dan tumpahnya minyak Montara ke wilayah perairan Laut Timor Indonesia pada Agustus 2009 itu memang saat ini produksi rumput laut sangat merosot," katanya.
Sampai saat ini, kata Adriana, hama masih saja menyerang rumput laut yang dibudidayakan di pesisir Pantai Nemberala yang menjadi daerah tujuan wisata bagi wisatawan nasional dan internasional itu.
Belum lagi jika harga rumput laut turun, tentu saja penghasilan dan pendapatan para petani rumput laut di daerah itu juga akan berkurang. Contohnya seperti saat ini, harga rumput laut hanya mencapai Rp15.000/kg, padahal bulan kemarin harganya mencapai Rp20.000/kg, katanya.
Baca juga: Harga rumput laut di Pulau Rote turun
Petani rumput laut memikul hasil panenannya di ladang rumput laut di wilayah perairan Nemberala, Kabupaten Rote Ndao, NTT, Sabtu (28/4).
(ANTARA Foto/Kornelis Kaha). Sementara itu Kepala Desa Nemberala Bernard Lenggu mengatakan bahwa kejadian tumpahan minyak di anjungan minyak Montara, bisa dibilang sebagai penyebab utama terjadinya penurunan produksi rumput laut di desa tersebut.
Semua wilayah perairan budidaya tercemar minyak dan zat-zat beracun lainnya, sehingga membawa konsekuensi pada matinya komoditas "emas hijau" itu.
"Saya tidak memvonisnya, tetapi jika dilihat dan dibandingkan dengan tahun 1990-an dengan pascameledaknya anjungan minyak Montara pada tahun 2009, produksi rumput laut masyarakat di sini turun jauh," ujarnya.
Ia membandingkan sebelumnya terjadinya tragedi besar kemanusiaan di Laut Timor pada 2009, jika masyarakat ingin membudidayakan rumput laut tinggal dilepas begitu saja maka sudah pasti akan berkembang dengan baik bahkan setiap petani bisa dapatkan 50 kilogram per hari.
Tetapi saat ini, menurut pengakuan Bernard, untuk mendapatkan Rp50/kg rumput laut saja harus bersabar selama satu bulan. "Satu kepala keluarga hanya bisa mendapatkan keuntungan dalam sebulan Rp100 juta," katanya.
Sementara itu terkait anjloknya harga rumput laut, Bernard mengatakan akan berkoordinasi dengan camat untuk membahas keluhan warga soal harga timbang rumput laut tersebut.
Baca juga: NTT kembangkan dua kultur jaringan rumput laut
Petani rumput laut memikul hasil panenannya dari ladang rumput laut di wilayah perairan Nemberala, Kabupaten Rote Ndao, NTT, Sabtu (28/4).
(ANTARA Foto/Kornelis Kaha).
Adriana Balu, seorang petani rumput laut di Desa Nemberala, Senin (30/4) mengatakan usaha pengembangan budidaya rumput laut di Rote memang sejak tahun 2010 sudah terlihat menurun.
"Sebelum meledak dan tumpahnya minyak Montara ke wilayah perairan Laut Timor Indonesia pada Agustus 2009 itu memang saat ini produksi rumput laut sangat merosot," katanya.
Sampai saat ini, kata Adriana, hama masih saja menyerang rumput laut yang dibudidayakan di pesisir Pantai Nemberala yang menjadi daerah tujuan wisata bagi wisatawan nasional dan internasional itu.
Belum lagi jika harga rumput laut turun, tentu saja penghasilan dan pendapatan para petani rumput laut di daerah itu juga akan berkurang. Contohnya seperti saat ini, harga rumput laut hanya mencapai Rp15.000/kg, padahal bulan kemarin harganya mencapai Rp20.000/kg, katanya.
Baca juga: Harga rumput laut di Pulau Rote turun
(ANTARA Foto/Kornelis Kaha). Sementara itu Kepala Desa Nemberala Bernard Lenggu mengatakan bahwa kejadian tumpahan minyak di anjungan minyak Montara, bisa dibilang sebagai penyebab utama terjadinya penurunan produksi rumput laut di desa tersebut.
Semua wilayah perairan budidaya tercemar minyak dan zat-zat beracun lainnya, sehingga membawa konsekuensi pada matinya komoditas "emas hijau" itu.
"Saya tidak memvonisnya, tetapi jika dilihat dan dibandingkan dengan tahun 1990-an dengan pascameledaknya anjungan minyak Montara pada tahun 2009, produksi rumput laut masyarakat di sini turun jauh," ujarnya.
Ia membandingkan sebelumnya terjadinya tragedi besar kemanusiaan di Laut Timor pada 2009, jika masyarakat ingin membudidayakan rumput laut tinggal dilepas begitu saja maka sudah pasti akan berkembang dengan baik bahkan setiap petani bisa dapatkan 50 kilogram per hari.
Tetapi saat ini, menurut pengakuan Bernard, untuk mendapatkan Rp50/kg rumput laut saja harus bersabar selama satu bulan. "Satu kepala keluarga hanya bisa mendapatkan keuntungan dalam sebulan Rp100 juta," katanya.
Sementara itu terkait anjloknya harga rumput laut, Bernard mengatakan akan berkoordinasi dengan camat untuk membahas keluhan warga soal harga timbang rumput laut tersebut.
Baca juga: NTT kembangkan dua kultur jaringan rumput laut
(ANTARA Foto/Kornelis Kaha).