Kupang (AntaraNews NTT) - Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni mengatakan penangkapan 13 orang nelayan Indonesia asal Sumenep, Jawa Timur oleh otoritas keamanan Australia pada 19 April lalu, adalah sebuah tindakan ilegal yang harus dihentikan oleh Jakarta.

"Zona Perikanan Australia yang dijadikan dasar penangkapan para nelayan tersebut diklaim secara sepihak oleh Australia yang kemudian menjadikannya sebagai ZEE Australia," kata mantan agen imigrasi Australia itu kepada Antara di Kupang, Jumat (11/5).

Tanoni mengatakan berdasarkan laporan jaringan Peduli Timor Barat dari Darwin, Australia Utara, ke-13 nelayan bersama dua kapal nelayan tersebut ditangkap oleh Maritime Border Command (MBC), gugus tugas multi-lembaga dalam Angkatan Perbatasan Australia (ABF), dan Otoritas Manajemen Perikanan Australia (AFMA) di sekitar gugusan Pulau Pasir pada Kamis (19/4).

Penangkapan tersebut atas tuduhan bahwa kapal nelayan Indonesia berlayar melewati batas perairan Australia, berdasarkan hasil pengintaian dari pesawat ABF Dash-8, dan telah berada sekitar satu mil di dalam Zona Perikanan Australia (Australian Fishing Zone-AFZ).

Australia kemudian memperingatkan MBC, kapal Angkatan Laut Australia HMAS Broome untuk menindaklanjuti laporan tersebut, dan berhasil mencegat kedua kapal nelayan Indonesia tersebut sekitar 3,9 mil di luar perairan Australia berdasarkan UU Kekuatan Maritim 2013.

Dua kapal dan 13 awak nelayan tersebut kemudian dibawa ke Darwin, Australia Utara untuk menjalani pemeriksaan oleh AFMA tentang dugaan pelanggaran Undang-Undang Pengelolaan Perikanan Australia tahun 1991.?

Tanoni yang juga Pemegang Mandat Hak Ulayat Masyarakat di Laut Timor itu menegaskan bahwa tundakan Australia dengan melakukan penangkapan terhadap para nelayan Indonesia di Laut Timor itu merupakan tindakan ilegal yang harus dihentikan oleh Jakarta.

Baca juga: 13 nelayan NTT ditangkap Australia Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni (tengah sambil menunjukkan jempol) foto bersama para pengacara dari Australia yang hendak membela para nelayan di NTT yang perahunya dibakar oleh pemerintah Australia. (ANTARA Foto/Laurensius Molan) Pasalnya, Zona Perikanan Australia yang dijadikan dasar penangkapan para nelayan itu diklaim secara sepihak oleh Australia hingga hampir saja mencaplok Pulau Rote, kemudian secara sepihak pula Australia mengklaimnya sebagai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Australia.

Australia kemudian menjadikan klaim sepihak tersebut sebagai Perjanjian RI-Australia tahun 1997 tentang Zona Ekonomi Eksklusif dan Batas-Batas Dasar Laut Tertentu yang hingga saat ini belum diratifikasi oleh parlemen kedua negara.

"Saya sangat yakin dan tidak mungkin bisa diratifikasi lagi, karena telah terjadi perubahan geopolitik yang sangat signifikan di Laut Timor dengan berdirinya Timor Timur sebagai sebuah negara berdaulat pada 2000 setelah menang dalam jajak pendapat pada 1999," katanya.

Tanoni menjelaskan Perjanjian RI-Australia tahun 1997 tersebut berisi 11 Pasal dan dengan tegas tertulis dalam pasal 11 bahwa "Perjanjian ini baru mulai berlaku pada saat pertukaran piagam-piagam ratifikasi kedua negara".

Namun, Australia kembali menggunakan perjanjian yang belum berlaku ini untuk memberangus para nelayan Indonesia yang beroperasi di Laut Timor.

Namun, disisi lain, Jakarta malah terus berdiam diri tanpa ada langkah-langkah dalam memberikan proteksi terhadap nelayan Indonesia yang diperlakukan secara tidak manusiawi oleh Australia selama puluhan tahun ini.

"Kami mendesak Jakarta untuk dapat segera menghentikan tindakan ilegal Australia terhadap nelayan Indonesia di Laut Timor dan segera membatalkan seluruh perjanjian perbatasan RI-Australia yang pernah dibuat dalam kurun waktu 1972-1997, karena sangat merugikan Indonesia itu," katanya.

Alasan lain soal pembatalan tersebut, merujuk pada kesepakatan dan penetapam garis batas perairan Australia dan Timor Leste yang baru di Laut Timor dengan menggunakan prinsip median line (garis tengah) sehingga secara otomatis telah berdampak sangat signifikan terhadap garis batas periaran RI-Australia di Laut Timor dimana garis batas perairan RI-Australia di Laut Timor menjadi tumpang tindih.

Baca juga: Nelayan diminta perhatikan zona larangan penangkapan ikan Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni (kedua dari kanan) bersama tim pengacara dari Australia saat para petani rumput laut asal Pulau Rote, NTT melakukan tuntutan "class action" kepada PTTEP Australasia di Pengadilan Federal Australia di Sydney.
 

Pewarta : Aloysius Lewokeda
Editor : Laurensius Molan
Copyright © ANTARA 2024