Jakarta (ANTARA) - Indonesia berencana memulai siaran televisi terestrial digital pada 2022 mendatang, yang juga akan berdampak besar pada layanan internet dan konten.
Aturan mengenai siaran digital dituangkan ke Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dengan pasal 60 ayat 2 menyebutkan bahwa "migrasi penyiaran televisi terestrial dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghentian siaran analog (Analog Switch Off/ASO) diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini".
Kementerian Komunikasi dan Informatika sudah menegaskan tahapan ASO akan tetap berlangsung sesuai rencana setelah ada putusan dari Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Cipta Kerja, yang menyatakan regulasi akan inkonstitusional jika dalam waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan.
Kebutuhan untuk migrasi siaran televisi terestrial dari analog ke digital sangat mendesak, hampir seluruh negara di dunia sudah bermigrasi ke siaran digital saat ini.
Sebagaimana disampaikan Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Hukum, Henri Subiakto, di Asia Tenggara hanya Indonesia dan Timor Leste yang belum sepenuhnya bermigrasi.
Oleh karena itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika terus mendorong agar migrasi siaran televisi analog ke digital ini bisa segera diselesaikan.
Perpindahan ke teknologi terbaru selalu menjanjikan pengalaman yang lebih baik, dan pada siaran digital, kualitas gambar dan suara yang dihasilkan jauh lebih jernih dan jelas dibandingkan teknologi lama analog.
Pada siaran televisi terestrial digital, selama perangkat televisi bisa menangkap siaran, maka akan muncul gambar yang jernih. Berbeda dengan siaran analog yang masih bisa menangkap sinyal dengan konsekuensi siaran tidak jernih.
Pada siaran digital, jika tidak ada sinyal, maka tidak ada gambar dan suara yang muncul di pesawat televisi, namun ketika ada sinyal, gambar dan suara bisa tersaji lebih jernih serta jelas.
Kebutuhan internet
Persoalan ASO pada dasarnya bukan hanya menyajikan siaran televisi terestrial digital untuk masyarakat. Jauh dibalik itu, ada restrukturisasi spektrum frekuensi radio, yang akan bermanfaat untuk dunia penyiaran dan komunikasi.
Kilas balik jauh ke belakang, organisasi di bawah PBB untuk urusan teknologi komunikasi, ITU, sudah membagi spektrum frekuensi radio ke dalam blok-blok untuk penggunaan yang berbeda. Misalnya, ada alokasi spektrum frekuensi radio untuk penerbangan, untuk siaran radio, dan untuk siaran televisi.
Masing-masing blok tersebut diatur penggunaannya agar tidak saling mengganggu layanan lainnya.
Siaran televisi terestrial analog saat ini menggunakan pita 700Mhz, yang dalam dunia komunikasi disebut sebagai "pita frekuensi emas" karena daya jangkau luas. Siaran analog dinilai boros karena memakan seluruh lebar pita 328Mhz pada frekuensi 700Mhz itu.
Ketika sudah siaran digital nanti, seluruh siaran hanya menggunakan lebar pita 176Mhz. Siaran dengan teknologi digital akan memberikan dividen digital 112Mhz dan masih ada cadangan 40Mhz. Dengan demikian pemanfaatan frekuensi untuk siaran televisi menjadi lebih efisien, dan spektrum frekuensi juga bisa dioptimalkan untuk kepentingan lain yang mendesak, yakni jaringan internet cepat.
Teknologi informasi dan komunikasi berkembang sangat pesat selama satu dekade belakangan. Di Indonesia, hal ini bisa dilihat dari jumlah pengguna internet yang terus meningkat setiap tahun.
Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menemukan pada 2019 hingga kuartal kedua 2020, terdapat 196,7 juta pengguna internet. Padahal, pada 2018, jumlah pengguna internet di Indonesia baru 171,17 juta orang.
Membludaknya penggunaan internet beberapa tahun terakhir sangat terasa pengaruhnya pada kecepatan internet. Menurut Kominfo defisit bandwidth pada spektrum frekuensi di Indonesia sudah terjadi sejak 2013 lalu, yaitu minus 16MHz pada saat itu.
Alokasi (spektrum frekuensi) yang awalnya untuk komunikasi digital tidak memadai lagi karena pengguna makin banyak. Maka itu kebutuhan bandwidth makin besar.
Salah satu contoh bandwidth sedikit adalah ketika sedang menonton video di kendaraan umum, waktu memuat konten lebih lama karena terlalu banyak pengguna yang mengakses internet.
Tahun 2020, menurut catatan Kominfo, defisit bandwidth mencapai minus 546MHz. Jika dibiarkan, lima tahun lagi defisit broadband bisa mencapai 1.310Mhz dan akan terasa sampai ke kota-kota besar.
Analog Switch Off dalam hal ini sangat berperan karena dividen digital pita 700Mhz akan digunakan untuk memperluas layanan broadband agar lebih banyak menjangkau masyarakat.
Pemerintah juga berencana menggunakan digital dividen dari ASO untuk spektrum kebencanaan. Ketika terjadi bencana, akan ada notifikasi masuk radio, televisi maupun ponsel milik masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi
Dampak positif bagi masyarakat dan industri
Guru Besar Komunikasi Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis, Universitas Pendidikan Indonesia, Prof. Dr. H. Suwatno, M.Si, melihat peralihan siaran televisi dari analog ke digital merupakan bagian dari revolusi teknologi.
Menurutnya, peralihan ke digital dilihat sebagai hasil alami revolusi teknologi, harusnya menghasilkan keuntungan bagi masyarakat maupun perusahaan penyiaran.
Siaran dengan teknologi digital membuat stasiun televisi bisa transmisi secara simultan sekitar empat program dan empat kanal. Keuntungannya, masyarakat mendapat lebih banyak pilihan konten siaran.
Lebih banyak konten yang diterima masyarakat juga berdampak pada pertumbuhan industri konten, stasiun televisi mendapat lebih banyak ruang kreasi untuk membuat konten mereka lebih beragam.
Kepala Stasiun TVRI Bali, I Ketut Leneng, sudah berencana menggandeng kreator untuk memperkaya konten siaran digital mereka nanti. Stasiun televisi berpotensi memiliki program interaktif dengan siaran televisi terestrial teknologi digital nanti.
Di sejumlah negara, menurut sang guru besar, siaran digital memberikan strategi baru untuk distribusi konten, yaitu dengan siaran multiplatform dengan biaya yang rendah.
Adaptasi masyarakat
Siaran digital bukan hanya menawarkan konten yang lebih beragam dan gambar yang lebih jernih, namun akan ada perilaku yang berubah juga pada masyarakat pemirsa.
Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Udayana, Ni Made Ras Amanda, mencontohkan hal yang paling mendasar dari siaran televisi digital, yaitu perubahan nomor kanal siaran. Belum lagi, satu stasiun televisi bisa memiliki lebih dari satu kanal.
Perilaku menonton televisi setiap generasi juga berbeda, misalnya orang tua sering menjadikan televisi sebagai "teman" saat beraktivitas lain di rumah.
Baca juga: Menkominfo sebut Penghentian siaran analog paling lambat 2 November 2022
Semakin banyak kanal dan konten siaran digital juga akan memberikan tantangan baru pada Komisi Penyiaran Indonesia, semakin banyak siaran yang harus mereka awasi.
Baca juga: Kemenkominfo: Migrasi siaran televisi akan menstabilkan jaringan internet
Indonesia masih punya waktu kurang dari satu tahun untuk menyelesaikan teknis siaran digital. Tentu siaran digital ini menimbulkan harapan besar untuk kualitas konten siaran yang semakin bermutu, tidak sekadar kualitas gambar dan audio saja yang jauh lebih baik.
Aturan mengenai siaran digital dituangkan ke Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dengan pasal 60 ayat 2 menyebutkan bahwa "migrasi penyiaran televisi terestrial dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghentian siaran analog (Analog Switch Off/ASO) diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini".
Kementerian Komunikasi dan Informatika sudah menegaskan tahapan ASO akan tetap berlangsung sesuai rencana setelah ada putusan dari Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Cipta Kerja, yang menyatakan regulasi akan inkonstitusional jika dalam waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan.
Kebutuhan untuk migrasi siaran televisi terestrial dari analog ke digital sangat mendesak, hampir seluruh negara di dunia sudah bermigrasi ke siaran digital saat ini.
Sebagaimana disampaikan Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Hukum, Henri Subiakto, di Asia Tenggara hanya Indonesia dan Timor Leste yang belum sepenuhnya bermigrasi.
Oleh karena itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika terus mendorong agar migrasi siaran televisi analog ke digital ini bisa segera diselesaikan.
Perpindahan ke teknologi terbaru selalu menjanjikan pengalaman yang lebih baik, dan pada siaran digital, kualitas gambar dan suara yang dihasilkan jauh lebih jernih dan jelas dibandingkan teknologi lama analog.
Pada siaran televisi terestrial digital, selama perangkat televisi bisa menangkap siaran, maka akan muncul gambar yang jernih. Berbeda dengan siaran analog yang masih bisa menangkap sinyal dengan konsekuensi siaran tidak jernih.
Pada siaran digital, jika tidak ada sinyal, maka tidak ada gambar dan suara yang muncul di pesawat televisi, namun ketika ada sinyal, gambar dan suara bisa tersaji lebih jernih serta jelas.
Kebutuhan internet
Persoalan ASO pada dasarnya bukan hanya menyajikan siaran televisi terestrial digital untuk masyarakat. Jauh dibalik itu, ada restrukturisasi spektrum frekuensi radio, yang akan bermanfaat untuk dunia penyiaran dan komunikasi.
Kilas balik jauh ke belakang, organisasi di bawah PBB untuk urusan teknologi komunikasi, ITU, sudah membagi spektrum frekuensi radio ke dalam blok-blok untuk penggunaan yang berbeda. Misalnya, ada alokasi spektrum frekuensi radio untuk penerbangan, untuk siaran radio, dan untuk siaran televisi.
Masing-masing blok tersebut diatur penggunaannya agar tidak saling mengganggu layanan lainnya.
Siaran televisi terestrial analog saat ini menggunakan pita 700Mhz, yang dalam dunia komunikasi disebut sebagai "pita frekuensi emas" karena daya jangkau luas. Siaran analog dinilai boros karena memakan seluruh lebar pita 328Mhz pada frekuensi 700Mhz itu.
Ketika sudah siaran digital nanti, seluruh siaran hanya menggunakan lebar pita 176Mhz. Siaran dengan teknologi digital akan memberikan dividen digital 112Mhz dan masih ada cadangan 40Mhz. Dengan demikian pemanfaatan frekuensi untuk siaran televisi menjadi lebih efisien, dan spektrum frekuensi juga bisa dioptimalkan untuk kepentingan lain yang mendesak, yakni jaringan internet cepat.
Teknologi informasi dan komunikasi berkembang sangat pesat selama satu dekade belakangan. Di Indonesia, hal ini bisa dilihat dari jumlah pengguna internet yang terus meningkat setiap tahun.
Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menemukan pada 2019 hingga kuartal kedua 2020, terdapat 196,7 juta pengguna internet. Padahal, pada 2018, jumlah pengguna internet di Indonesia baru 171,17 juta orang.
Membludaknya penggunaan internet beberapa tahun terakhir sangat terasa pengaruhnya pada kecepatan internet. Menurut Kominfo defisit bandwidth pada spektrum frekuensi di Indonesia sudah terjadi sejak 2013 lalu, yaitu minus 16MHz pada saat itu.
Alokasi (spektrum frekuensi) yang awalnya untuk komunikasi digital tidak memadai lagi karena pengguna makin banyak. Maka itu kebutuhan bandwidth makin besar.
Salah satu contoh bandwidth sedikit adalah ketika sedang menonton video di kendaraan umum, waktu memuat konten lebih lama karena terlalu banyak pengguna yang mengakses internet.
Tahun 2020, menurut catatan Kominfo, defisit bandwidth mencapai minus 546MHz. Jika dibiarkan, lima tahun lagi defisit broadband bisa mencapai 1.310Mhz dan akan terasa sampai ke kota-kota besar.
Analog Switch Off dalam hal ini sangat berperan karena dividen digital pita 700Mhz akan digunakan untuk memperluas layanan broadband agar lebih banyak menjangkau masyarakat.
Pemerintah juga berencana menggunakan digital dividen dari ASO untuk spektrum kebencanaan. Ketika terjadi bencana, akan ada notifikasi masuk radio, televisi maupun ponsel milik masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi
Dampak positif bagi masyarakat dan industri
Guru Besar Komunikasi Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis, Universitas Pendidikan Indonesia, Prof. Dr. H. Suwatno, M.Si, melihat peralihan siaran televisi dari analog ke digital merupakan bagian dari revolusi teknologi.
Menurutnya, peralihan ke digital dilihat sebagai hasil alami revolusi teknologi, harusnya menghasilkan keuntungan bagi masyarakat maupun perusahaan penyiaran.
Siaran dengan teknologi digital membuat stasiun televisi bisa transmisi secara simultan sekitar empat program dan empat kanal. Keuntungannya, masyarakat mendapat lebih banyak pilihan konten siaran.
Lebih banyak konten yang diterima masyarakat juga berdampak pada pertumbuhan industri konten, stasiun televisi mendapat lebih banyak ruang kreasi untuk membuat konten mereka lebih beragam.
Kepala Stasiun TVRI Bali, I Ketut Leneng, sudah berencana menggandeng kreator untuk memperkaya konten siaran digital mereka nanti. Stasiun televisi berpotensi memiliki program interaktif dengan siaran televisi terestrial teknologi digital nanti.
Di sejumlah negara, menurut sang guru besar, siaran digital memberikan strategi baru untuk distribusi konten, yaitu dengan siaran multiplatform dengan biaya yang rendah.
Adaptasi masyarakat
Siaran digital bukan hanya menawarkan konten yang lebih beragam dan gambar yang lebih jernih, namun akan ada perilaku yang berubah juga pada masyarakat pemirsa.
Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Udayana, Ni Made Ras Amanda, mencontohkan hal yang paling mendasar dari siaran televisi digital, yaitu perubahan nomor kanal siaran. Belum lagi, satu stasiun televisi bisa memiliki lebih dari satu kanal.
Perilaku menonton televisi setiap generasi juga berbeda, misalnya orang tua sering menjadikan televisi sebagai "teman" saat beraktivitas lain di rumah.
Baca juga: Menkominfo sebut Penghentian siaran analog paling lambat 2 November 2022
Semakin banyak kanal dan konten siaran digital juga akan memberikan tantangan baru pada Komisi Penyiaran Indonesia, semakin banyak siaran yang harus mereka awasi.
Baca juga: Kemenkominfo: Migrasi siaran televisi akan menstabilkan jaringan internet
Indonesia masih punya waktu kurang dari satu tahun untuk menyelesaikan teknis siaran digital. Tentu siaran digital ini menimbulkan harapan besar untuk kualitas konten siaran yang semakin bermutu, tidak sekadar kualitas gambar dan audio saja yang jauh lebih baik.