Kupang (AntaraNews NTT) - Akademisi dari Universitas Nusa Cendana Kupang Dr Johanes Tuba Helan berpendapat, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu tidak memiliki kewenangan untuk melarang mantan narapidana koruptor menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2019.

"Sebagai penyelenggara, KPU hanya melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan perintah perundang-undangan. UU Pemilu tidak melarang mantan napi koruptor menjadi caleg," kata Johanes Tuba Helan kepada Antara di Kupang, Kamis (7/6).

Dia mengemukakan hal itu, berkaitan dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum atau PKPU mengenai larangan mantan narapidana korupsi mengikuti Pemilu Legislatif 2019 dan sikap Menteri Hukum dan HAM yang menolak meneken PKPU tersebut.

Ahli hukum administrasi negara itu menambahkan, Peraturan Komisi Pemilihan Umum atau PKPU mengenai larangan mantan narapidana korupsi mengikuti Pemilu Legislatif 2019 bertentangan dengan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

"Menurut saya sebagai akademisi, PKPU bertentangan dengan UU Pemilu 7/2017, dimana dalam UU itu tidak ada larangan bagi mantan narapidana koruptor menjadi caleg," katanya pula.

Baca juga: Pengamat: Larangan mantan napi caleg perlu diapresiasi

Namun, menurutnya, sebagai pribadi, tentu mendukung langkah KPU untuk melarang para mantan narapidana koruptor menjadi caleg. "Kalau secara pribadi mendukung, tetapi sebagai akademisi, PKPU itu bertentangan dengan UU Pemilu," kata dia.

Mantan Kepala Ombudsman Perwakilan NTB-NTT itu juga mendukung sikap Menteri Hukum dan HAM yang menolak meneken PKPU itu dengan alasan bertentangan dengan undang-undang.

KPU berencana memberlakukan peraturan yang melarang mantan koruptor mencalonkan diri dalam Pemilu Legislatif 2019.

KPU pun berencana menyerahkan rancangan PKPU itu kepada Kementerian Hukum dan HAM dalam waktu dekat untuk disahkan.

Hanya saja, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengatakan tak akan meneken PKPU mengenai larangan mantan narapidana korupsi mengikuti Pemilu 2019. Yasonna menegaskan PKPU itu bertentangan dengan undang-undang.

"Jangan saya dipaksa menandatangani sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang," katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, (4/6).

Baca juga: KPU NTT siap gelar debat kandidat ketiga

Pewarta : Bernadus Tokan
Editor : Laurensius Molan
Copyright © ANTARA 2024