Kupang (ANTARA) - Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar (Mintegar) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Edy Sutopo menegaskan sertifikasi atau labelisasi BPA pada kemasan galon guna ulang berbahan Polikarbonag hanya akan menambah biaya yang bisa mengurangi daya saing industri Indonesia.

“Apalagi, substansi isu BPA itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Jadi yang diperlukan itu adalah edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat bagaimana cara handling dan penggunaan kemasan makanan dan minuman yang menggunakan bahan penolong,” kata Edy dalam keterangan yang diterima di Kupang, Jumat (13/5).

Menurut dia hal itu juga berpotensi malah memunculkan masalah baru yang merusak industri.

Seperti diketahui draf revisi Peraturan Badan POM No. 31 tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan yang dianggap diskriminatif oleh sejumlah pihak sehingga diusulkan untuk diperbaiki.

BPOM bulan lalu mengundang beberapa pemangku kepentingan untuk kembali mendiskusikan rencana kebijakan ini. Pertemuan itu akhirnya ditunda. 

Revisi peraturan BPOM ini sebelumnya sempat ditolak oleh Sekretariat Kabinet dan dikembalikan ke BPOM karena dianggap ada potensi diskriminatif.

Dalam upaya sosialisasi untuk perbaikan peraturan BPOM ini, Kemenperin tidak dilibatkan dalam pembahasannya padahal Kemenperin merupakan Kementerian yang menaungi industri.

Kejadian serupa juga terjadi dalam rapat Harmonisasi rancangan peraturan BPOM ini di Kemenkumham tahun lalu, Direktorat Mintegar Kemenperin juga tidak dilibatkan sedangkan pihak lain seperti Balai Besar Kimia diundang untuk turut serta. 

Hal ini menimbulkan pertanyaan sejumlah pihak terkait revisi peraturan BPOM yang bahkan dianggap kontroversi dan diskriminatif ini.
 
Perihal adanya undangan BPOM itu disampaikan Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi. 

Menurutnya, dirinya diundang BPOM dengan agenda untuk mendiskusikan draf revisi Peraturan Badan POM No. 31 tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. 

Seperti diketahui, melalui revisi itu, BPOM ingin ada ketentuan untuk melabeli kemasan galon guna ulang yang berbahan policarbonat (PC) dengan ‘berpotensi mengandung’ sementara untuk kemasan PET boleh meletakkan label ‘BPA Free’. Padahal hal ini dengan tegas ditentang Kemenperin karena bisa merusak iklim investasi di Indonesia khususnya di sektor air minum dalam kemasan (AMDK).

Dirjen Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika dan Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar (Mintegar), Edy Sutopo mengatakan tidak mendapatkan undangan untuk turut serta membahas hal tersebut.
 
Sebelumnya, Putu Juli Ardika mengatakan isu soal BPA memang sangat sensitif. Karenanya, dia menyarankan agar semua pihak melihat juga mengenai standar yang dikeluarkan regulator terkait keamanan kemasan yang mengandung BPA. 

Putu pun meminta agar pihak-pihak yang mengembuskan isu terkait BPA ini tidak merusak pemulihan industri di tengah pasar yang belum bagus akibat pandemi. 

Apalagi saat ini fokus pemerintah adalah memulihkan ekonomi di tengah pandemi. 

“Konsentrasi kita sekarang melakukan pemulihan industri karena pasar di dalam negeri masih belum bagus,” katanya.
 
Dia menjelaskan bahwa ekspor makanan dan minuman (mamin) sepanjang Januari hingga Agustus 2021 sebesar 111 miliar dolar AS. 

Jumlah itu jauh lebih besar daripada total ekspor Indonesia pada tahun 2019. Menurutnya, ekspor di industri mamin itu kontribusinya sebanyak 78 persen dari keseluruhan ekspor.
 
Sementara itu, Edy Sutopo menegaskan bahwa industri kemasan galon guna ulang punya arti tersendiri bagi industri mamin dan pertumbuhan ekonomi nasional. 

“Saya kira, kita perlu menjaga industri ini. Jangan sampai ada isu-isu yang bisa mempengaruhi kinerja industri makanan dan minuman kita yang selanjutnya bisa berpengaruh pada perekonomian nasional,” ujarnya.

Asisten Deputi Pangan Kemenko Perekonomian, Muhammad Saifulloh juga meminta agar dalam menyusun kebijakan label BPA Free terhadap galon guna ulang itu, BPOM seharusnya juga melihat keseimbangan usaha di Indonesia.  “Ini kan masih dalam masa pemulihan ekonomi akibat dampak pandemi COVID-19,” katanya.
 
Karenanya, Saifulloh menyampaikan agar BPOM harus membuat kebijakan yang ideal dan real. “Bukannya kami mengabaikan BPOM.  Kecuali kalau sudah ada bukti bahwa sebagian orang meninggal karena minum air galun guna ulang itu, baru mungkin kita pikirkan. Sampai sekarang, saya belum menerima kajian dari BPOM soal itu,” katanya.
 
Seperti diketahui, mengenai batas aman atau toleransi BPA dalam kemasan makanan ini sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Di sana diatur semua persyaratan migrasi zat kontak pangan yang diizinkan digunakan sebagai kemasan pangan, tidak hanya BPA saja, tapi juga zat kontak pangan lainnya termasuk etilen glikol dan tereftalat yang ada pada plastik pangan berbahan PET.
 
Dalam peraturan BPOM yang dikeluarkan pada tahun 2019 itu juga dijelaskan bahwa tidak ada kemasan pangan yang free dari zat kontak pangan. Tapi, di sana diatur mengenai batas migrasi maksimum dari zat kontak itu sehingga  aman untuk  digunakan sebagai kemasan pangan.

Pewarta : Aloysius Lewokeda
Editor : Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2024