Kupang (AntaraNews NTT) - Asosiasi Advokat Amerika Serikat (ABA) mengecam keras tindakan lambat Pemerintah Australia dan PTTEP dalam upaya menyelesaikan kasus pencemaran Laut Timor, akibat meledaknya anjungan minyak Montara pada 2009.
Dalam artikelnya yang diterima Peduli Timor Barat di Kupang, Minggu (9/9), Simon Kieser, anggota Komite Buletin Litigasi Energi dan Sumber Daya Alam ABA, itu mengatakan, "Sudah sembilan tahun kasus ini berjalan, tetapi Indonesia seakan tak berdaya dalam menghadapi Australia dan PTTEP".
Dalam artikelnya "Montara--The Australian version of Deepwater Horizon", Kieser menunjukkan kemiripan antara ledakan anjungan minyak Montara pada 2009 dengan Teluk Mexico pada 2010.
Dalam kasus Montara, PTTEP AA adalah operator dari rig minyak dan merupakan agen tempur yang ditunjuk untuk menghentikan tumpahan minyak, namu tidak mampu menangani situasi, sehingga sangat memperpanjang operasi mitigasi bencana.
PTTEP Australasia adalah anak perusahaan yang dimiliki sepenuhnya oleh PTTEP, perusahaan eksplorasi dan produksi minyak nasional Thailand. PTTEP mengoperasikan lebih dari 40 proyek secara global dengan 4.000 tenaga kerja.
PTTEP adalah afiliasi dari PTT Group, perusahaan industri terdiversifikasi terbesar di Thailand. Aset internasional PTTEP termasuk proyek eksplorasi dan produksi di Thailand, Malaysia, Indonesia, Kamboja, Myanmar, Vietnam, Oman, Kanada dan Mozambik.
Baca juga: Tumpahan Montara penyebab produksi rumput laut menurun
Di Australia, PTTEP adalah operator lapangan minyak Montara yang memproduksi dan lapangan gas kondensat Cash Maple yang sangat prospektif di Laut Timor.
Perusahaan minyak ini terlibat dalam siklus hidup penuh eksplorasi, pengembangan dan produksi minyak dan gas bumi, dengan basis aset Australia sekitar 3 miliar dolas Australia.
"Australia beruntung karena tidak ada nyawa yang hilang dan tidak ada minyak mencapai garis pantai Australia, namun Montara telah memiliki dampak yang mengganggu terhadap lingkungan, kehidupan laut, dan wilayah pesisir Timor.
Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Montara Ferdi Tanoni kepada wartawan di Kupang, Minggu, juga mengakui bahwa artikel yang ditulis oleh Simon Kieser itu amat sangat mengganggu Australia dan PTTEP terhadap Indonesia sebagai negara tetangga.
Dalam artikel tersebut, Simon Kieser menegaskan, "Apakah manusia benar-benar menjadi sombong dan tidak peduli bahwa kita dengan senang hati mengorbankan planet dan generasi masa depan kita hanya karena. . . kita terlalu malas untuk peduli".
"Australia tidak memiliki prinsip bahwa `pencemar harus membayar` saat insiden Montara terjadi. Akibatnya, PTTEP AA tidak menghadapi hukuman berat dan lolos dengan mudah," kata mantan agen imigrasi Australia itu menguitip Kieser.
Baca juga: Empat pihak bertanggungjawab atas muntahan Montara
"Alasan berikutnya, mungkin karena orang tidak peduli". Apa pun, di dunia saat ini dengan arus jaringan media internasional yang berlebihan, kita tidak lagi memiliki alasan untuk tidak tahu apa-apa," ujarnya.
Atas dasar ini, Tanoni menegaskan, "Demi Ibu Pertiwi, sudah saatnya kita meminta pertanggungjawaban perusahaan atas tindakan lalai dan bodoh mereka yang membahayakan planet kita".
"PTTEP dan Pemerintah Australia selalu memberikan alasan yang tidak berdasar untuk membayar kompensasi kepada para petani rumput laut dan nelayan di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur," katanya.
Tapi sayangnya, sampai sejauh ini pemerintah Indonesia juga tampak tidak berdaya untuk mencari keadilan yang pantas bagi rakyatnya di Timor Barat.
Sebenarnya, alasan untuk menghadapi Pemerintah Australia dan PTTEP karena insiden Montara terjadi di dalam wilayah Australia, namun pemerintahan negeri Kanguru itu belum menunjukkan niat baik untuk membantu menyelesaiakannya.
Atas dasar ini, Tanoni mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI untuk mendukung sikap tegas Presiden Joko Widodo melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman RI Luhut Binsar Pandjaitan yang menuntut pertanggung jawaban Australia dalam penyelesaian kasus Montara ini.
"Di sini, saya minta ketegasan Presiden Joko Widodo untuk segera menulis surat kepada Pemerintah Australia agar kasus Montara segera diselesaikan dengan menuntut pertanggung jawaban Australia. Inilah momentum paling tepat dalam menyelesaikan kasus Montara yang sudah sembilan tahun berjalan," kata Tanoni.
Baca juga: Kerugian Montara 5,5 miliar dolar AS
Dalam artikelnya yang diterima Peduli Timor Barat di Kupang, Minggu (9/9), Simon Kieser, anggota Komite Buletin Litigasi Energi dan Sumber Daya Alam ABA, itu mengatakan, "Sudah sembilan tahun kasus ini berjalan, tetapi Indonesia seakan tak berdaya dalam menghadapi Australia dan PTTEP".
Dalam artikelnya "Montara--The Australian version of Deepwater Horizon", Kieser menunjukkan kemiripan antara ledakan anjungan minyak Montara pada 2009 dengan Teluk Mexico pada 2010.
Dalam kasus Montara, PTTEP AA adalah operator dari rig minyak dan merupakan agen tempur yang ditunjuk untuk menghentikan tumpahan minyak, namu tidak mampu menangani situasi, sehingga sangat memperpanjang operasi mitigasi bencana.
PTTEP Australasia adalah anak perusahaan yang dimiliki sepenuhnya oleh PTTEP, perusahaan eksplorasi dan produksi minyak nasional Thailand. PTTEP mengoperasikan lebih dari 40 proyek secara global dengan 4.000 tenaga kerja.
PTTEP adalah afiliasi dari PTT Group, perusahaan industri terdiversifikasi terbesar di Thailand. Aset internasional PTTEP termasuk proyek eksplorasi dan produksi di Thailand, Malaysia, Indonesia, Kamboja, Myanmar, Vietnam, Oman, Kanada dan Mozambik.
Baca juga: Tumpahan Montara penyebab produksi rumput laut menurun
Di Australia, PTTEP adalah operator lapangan minyak Montara yang memproduksi dan lapangan gas kondensat Cash Maple yang sangat prospektif di Laut Timor.
Perusahaan minyak ini terlibat dalam siklus hidup penuh eksplorasi, pengembangan dan produksi minyak dan gas bumi, dengan basis aset Australia sekitar 3 miliar dolas Australia.
"Australia beruntung karena tidak ada nyawa yang hilang dan tidak ada minyak mencapai garis pantai Australia, namun Montara telah memiliki dampak yang mengganggu terhadap lingkungan, kehidupan laut, dan wilayah pesisir Timor.
Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Montara Ferdi Tanoni kepada wartawan di Kupang, Minggu, juga mengakui bahwa artikel yang ditulis oleh Simon Kieser itu amat sangat mengganggu Australia dan PTTEP terhadap Indonesia sebagai negara tetangga.
Dalam artikel tersebut, Simon Kieser menegaskan, "Apakah manusia benar-benar menjadi sombong dan tidak peduli bahwa kita dengan senang hati mengorbankan planet dan generasi masa depan kita hanya karena. . . kita terlalu malas untuk peduli".
"Australia tidak memiliki prinsip bahwa `pencemar harus membayar` saat insiden Montara terjadi. Akibatnya, PTTEP AA tidak menghadapi hukuman berat dan lolos dengan mudah," kata mantan agen imigrasi Australia itu menguitip Kieser.
Baca juga: Empat pihak bertanggungjawab atas muntahan Montara
"Alasan berikutnya, mungkin karena orang tidak peduli". Apa pun, di dunia saat ini dengan arus jaringan media internasional yang berlebihan, kita tidak lagi memiliki alasan untuk tidak tahu apa-apa," ujarnya.
Atas dasar ini, Tanoni menegaskan, "Demi Ibu Pertiwi, sudah saatnya kita meminta pertanggungjawaban perusahaan atas tindakan lalai dan bodoh mereka yang membahayakan planet kita".
"PTTEP dan Pemerintah Australia selalu memberikan alasan yang tidak berdasar untuk membayar kompensasi kepada para petani rumput laut dan nelayan di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur," katanya.
Tapi sayangnya, sampai sejauh ini pemerintah Indonesia juga tampak tidak berdaya untuk mencari keadilan yang pantas bagi rakyatnya di Timor Barat.
Sebenarnya, alasan untuk menghadapi Pemerintah Australia dan PTTEP karena insiden Montara terjadi di dalam wilayah Australia, namun pemerintahan negeri Kanguru itu belum menunjukkan niat baik untuk membantu menyelesaiakannya.
Atas dasar ini, Tanoni mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI untuk mendukung sikap tegas Presiden Joko Widodo melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman RI Luhut Binsar Pandjaitan yang menuntut pertanggung jawaban Australia dalam penyelesaian kasus Montara ini.
"Di sini, saya minta ketegasan Presiden Joko Widodo untuk segera menulis surat kepada Pemerintah Australia agar kasus Montara segera diselesaikan dengan menuntut pertanggung jawaban Australia. Inilah momentum paling tepat dalam menyelesaikan kasus Montara yang sudah sembilan tahun berjalan," kata Tanoni.
Baca juga: Kerugian Montara 5,5 miliar dolar AS