Kupang (AntaraNews NTT) - Pengamat kelautan dan perikanan dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Chaterina Paulus berpendapat masih adanya penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) oleh nelayan Indonesia sampai ke Australia karena lemahnya sistem pengawasan.
"Illegal fishing sampai ke Australia terus ada, karena fasilitas pengawasan perairan sudah tidak lagi di tingkat kabupaten, tetapi sudah di kebiri dengan adanya UU 23/2014," kata Chaterina kepada Antara di Kupang, Senin (24/9).
Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan masih maraknya kasus penangkapan nelayan Indonesia, khususnya dari Nusa Tenggara Timur (NTT) oleh pemerintah Australia dengan tuduhan mencuri ikan di wilayah perairan mereka.
"Bisa dibayangkan berapa besar kapasitas pemerintah provinsi sehingga mampu mengawasi wilayah perairan NTT yang begini luas sampai ke wilayah kabupaten," katanya.
Faktor lain adalah data Vessel Monitoring Systems (VMS), atau ada permainan data karena maksud tertentu dan kenapa nelayan bisa ke Australia.
Karena itu, menurut dia, masuknya nelayan Indonesia ke wilayah perairan Australia secara ilegal bukan karena masalah kurangnya sosialisasi dan teknologi.
"Sudah ada sosialisasi dan teknologi juga sudah diterapkan, tetapi implementasinya yang perlu dipertanyakan. Apakah pendataan VMS valid atau ada permainan data karena maksud tertentu dan kenapa nelayan bisa ke Australia," ujarnya.
Baca juga: Australia akan pulangkan lima nelayan indonesia
Dia mengatakan ada peluang kesalahan yang dilakukan nelayan Indonesia di tengah laut tetapi tidak besar, karena setiap kapal sudah seharusnya dilengkapi dengan GPS (Global Position System).
GPS berfungsi untuk menentukan letak di permukaan bumi dengan bantuan penyelarasan (synchronization) sinyal satelit yang mengirimkan sinyal gelombang mikro ke Bumi. Sinyal ini diterima oleh alat penerima di permukaan, dan digunakan untuk menentukan letak, kecepatan, dan arah angin.
"Jadi pertanyaannya adalah apakah kapal nelayan tradisional yang sampai ke perairan Australia itu sengaja tidak dilengkapi GPS, atau ada GPS tetapi para nelayan dengan sengaja memasuki wilayah perairan negara itu," katanya.
Menurut dia, jika kapal-kapal nelayan sudah dilengkapi dengan GPS, tetapi masih juga ditangkap patroli perairan Australia, maka bisa jadi nelayan Indonesia sengaja memasuki wilayah perairan negara itu atau ada kekeliruan data VMS.
Namun, menurut sejumah nelayan di Kupang yang sempat ditangkap pihak Australia, GPS yang digunakan nelayan Indonesia, umumnya tidak diakui oleh Australia sebagai alat untuk menentukan letak, kecepatan dan arah angin.
"Dengan GPS, kami tahu bahwa kami masih dalam wilayah perairan Indonesia, tetapi Australia tidak mau mengakui GPS tersebut, dan langsung menggiring kami ke negeri mereka," kata Abdul Wahab Sidin, seorang nelayan yang bermarkas di TPI Tenau Kupang.
Baca juga: Australia Pulangkan Dua Kapten Kapal Nelayan
"Illegal fishing sampai ke Australia terus ada, karena fasilitas pengawasan perairan sudah tidak lagi di tingkat kabupaten, tetapi sudah di kebiri dengan adanya UU 23/2014," kata Chaterina kepada Antara di Kupang, Senin (24/9).
Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan masih maraknya kasus penangkapan nelayan Indonesia, khususnya dari Nusa Tenggara Timur (NTT) oleh pemerintah Australia dengan tuduhan mencuri ikan di wilayah perairan mereka.
"Bisa dibayangkan berapa besar kapasitas pemerintah provinsi sehingga mampu mengawasi wilayah perairan NTT yang begini luas sampai ke wilayah kabupaten," katanya.
Faktor lain adalah data Vessel Monitoring Systems (VMS), atau ada permainan data karena maksud tertentu dan kenapa nelayan bisa ke Australia.
Karena itu, menurut dia, masuknya nelayan Indonesia ke wilayah perairan Australia secara ilegal bukan karena masalah kurangnya sosialisasi dan teknologi.
"Sudah ada sosialisasi dan teknologi juga sudah diterapkan, tetapi implementasinya yang perlu dipertanyakan. Apakah pendataan VMS valid atau ada permainan data karena maksud tertentu dan kenapa nelayan bisa ke Australia," ujarnya.
Baca juga: Australia akan pulangkan lima nelayan indonesia
Dia mengatakan ada peluang kesalahan yang dilakukan nelayan Indonesia di tengah laut tetapi tidak besar, karena setiap kapal sudah seharusnya dilengkapi dengan GPS (Global Position System).
GPS berfungsi untuk menentukan letak di permukaan bumi dengan bantuan penyelarasan (synchronization) sinyal satelit yang mengirimkan sinyal gelombang mikro ke Bumi. Sinyal ini diterima oleh alat penerima di permukaan, dan digunakan untuk menentukan letak, kecepatan, dan arah angin.
"Jadi pertanyaannya adalah apakah kapal nelayan tradisional yang sampai ke perairan Australia itu sengaja tidak dilengkapi GPS, atau ada GPS tetapi para nelayan dengan sengaja memasuki wilayah perairan negara itu," katanya.
Menurut dia, jika kapal-kapal nelayan sudah dilengkapi dengan GPS, tetapi masih juga ditangkap patroli perairan Australia, maka bisa jadi nelayan Indonesia sengaja memasuki wilayah perairan negara itu atau ada kekeliruan data VMS.
Namun, menurut sejumah nelayan di Kupang yang sempat ditangkap pihak Australia, GPS yang digunakan nelayan Indonesia, umumnya tidak diakui oleh Australia sebagai alat untuk menentukan letak, kecepatan dan arah angin.
"Dengan GPS, kami tahu bahwa kami masih dalam wilayah perairan Indonesia, tetapi Australia tidak mau mengakui GPS tersebut, dan langsung menggiring kami ke negeri mereka," kata Abdul Wahab Sidin, seorang nelayan yang bermarkas di TPI Tenau Kupang.
Baca juga: Australia Pulangkan Dua Kapten Kapal Nelayan