Kupang (ANTARA) - Sekretaris Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur  Domu Warandoy menilai perubahan iklim memiliki korelasi yang erat dengan kesetaraan gender.

“Khususnya dengan peran perempuan masa kini yang tidak hanya memegang tanggung jawab sebagai penyedia kebutuhan domestik keluarga, tetapi semakin banyak yang memiliki peran sosial di luar rumah,” katanya di Kupang, Jumat, (19/8/2022).

Dia mengemukakan hal itu dalam sambutannya pada kegiatan FGD dengan tema “ Perubahan Iklim dan Pemberdayaan Perempuan di NTT” yang dihadiri oleh sejumlah pembicara dan pemerhati gender di NTT.

Domu mengatakan bahwa dampak perubahan iklim telah dirasakan hampir di seluruh belahan bumi. Partisipasi masyarakat khususnya perempuan dalam mitigasi dan adaptasi sangat dibutuhkan dalam prakteknya.

Ia mencontohkan saat ini perempuan mendapat tambahan beban dari perubahan iklim ketika mereka harus berjalan lebih jauh lagi untuk mendapatkan air bersih untuk kebutuhan domestik.

Namun sayangnya untuk wilayah Indonesia Timor kata dia, posisi perempuan masih dipandang sebelah mata.

 Pemerintah NTT sendiri kata dia memiliki komitmen untuk menjawab tantangan dalam upaya pengarustamaan gender yang diharapkan akan mendorong peran perempuan dalam adaptasi perubahan iklim. 

“Data menunjukkan Indeks Pemberdayaan Gender NTT memang masih di bawah rata-rata angka nasional, yaitu 74.53 pada 2021,” ujar dia.

Lebih lanjut kata dia secara global telah diakui bahwa perempuan termasuk kelompok rentan yang paling terdampak oleh perubahan iklim, namun di sisi lain perempuan juga memegang peranan kunci dalam aksi mitigasi dan adaptasi dampak krisis tersebut.

Oleh karena itu peningkatan peran dan kapasitas perempuan dalam merespon perubahan iklim menjadi sangat penting, khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur, di mana frekuensi bencana hidrometeorologis cukup tinggi. 

“Data 60 tahun terakhir mencatat NTT sudah mengalami kurang lebih 652 kejadian bencana, 75 persen di antaranya adalah bencana hidrometeorologis, seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), angin topan, gelombang ekstrem, dan sebagainya,”ujar dia.

Peneliti senior World Agroforestry (ICRAF) Indonesia  Feri Johana, yang juga salah satu koordinator untuk paket kerja Land4Lives, menyampaikan ICRAF Indonesia adalah lembaga penelitian yang bergerak di berbagai aspek pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim, termasuk di dalamnya penerapan agroforestri dan pemberdayaan masyarakat dan khususnya perempuan dalam konteks penguatan penghidupan berketahanan iklim.

“Kami akan sangat senang jika diberi kesempatan untuk bergandeng tangan bersama-sama memajukan perempuan di NTT. Bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A)  kami menginisiasi proses ini, menyamakan persepsi lalu menyusun tindak lanjut supaya kegiatan kami makin terarah,” kata Feri.

Feri berharap dengan kerja sama ini kegiatan pengarustamaan gender makin nyata dan produk legislasi yang peka gender akan mendapatkan perhatian lebih sehingga bisa masuk dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah.

Untuk diketahui proyek Sustainable Landscapes for Climate-Resilient Livelihoods (Land4Lives) yang dilaksanakan oleh ICRAF adalah proyek riset aksi kerja sama antara Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan (PPN)/Bappenas dan Pemerintah Kanada melalui Global Affairs Canada.

Proyek ini berlangsung hingga 2026 di tiga provinsi, yaitu Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur, yang mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk mencapai prioritas pembangunan nasional dalam menciptakan kehidupan berketahanan iklim dan ketahanan pangan untuk masyarakat rentan, khususnya perempuan dan anak perempuan di Indonesia.

Baca juga: Icraf Indonesia bahas pengelolaan hutan cegah krisis iklim di NTT

Baca juga: Artikel - Perubahan iklim dan bencana hidrologi

Pewarta : Kornelis Kaha
Editor : Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2025