Kupang (ANTARA) - Komnas Perempuan bersama enam lembaga independen di Indonesia melaporkan 25 tahun pelaksanaan konvensi untuk menentang penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam serta tidak manusiawi dan merendahkan martabat yang selama ini ditemui di Indonesia.
Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin ditemui ANTARA di Kupang, Selasa mengatakan enam lembaga tersebut inisiatif dari Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yang terdiri dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman Indonesia (ORI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional Disabilitas (KND), dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
“KuPP dibentuk sejak tahun 2016 untuk mendorong negara melaksanakan komitmen untuk memenuhi hak untuk bebas dari penyiksaan, sebagai hak konstitusional yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun,” katanya.
Dalam kerangka kerja bersama ini, KuPP melakukan kunjungan bersama ke tempat tahanan dan serupa tahanan, menggunakan hasilnya sebagai dasar untuk melakukan dialog konstruktif dengan aktor-aktor relevan untuk memperbaiki kondisi yang ditemukan, dan juga melakukan pendidikan publik.
Dia menjelaskan bahwa Partisipasi publik dibangun dalam bentuk kesempatan langsung korban/penyintas dan keluarganya, serta pendamping untuk melaporkan kasusnya melalui Dengar Keterangan Umum, dan bagi para pihak yang relevan untuk memberikan tanggapan pada aduan tersebut.
Mariana menjelaskan bahwa dalam dengar keterangan umum KuPP menemukan adanya 37 kasus yang ditelaah berdasarkan kesaksian 41 korban dan keluarga korban, dimana 25 di antaranya adalah perempuan.
“Selain itu juga informasi dari 39 pendamping juga hadir memberikan informasi 32 anggota kepolisian di tingkat nasional dan daerah, 6 jaksa, 24 penyelenggaraan Kementerian dan 16 wakil pemerintah daerah,” tambah dia.
Dalam beberapa tahun terakhir ujar dia, Komnas perempuan dari tim KuPP menemukan adanya laporan dan pengakuan dari korban penyiksaan baik di dalam lapas atau rudenim dan lain sebagainya.
“Masalah yang ditemukan di lapas bisa saja seperti masalah anggaran yang berujung pada masalah pemberian makanan, air yang bersih atau perempuan misalnya kebutuhan untuk reproduksinya serta hak-hak lainnya, nah ini terbanyak yang kami temukan,” ujar dia.
Selebihnya tambah dia adalah hal buruk atau kesewenang-wenangan yang terjadi pada saat proses penangkapan oleh aparat, misalnya tidak ada surat penangkapan lalu saat proses pemeriksaan yang seharusnya diberikan pendampingan hukum saat ada praduga tak bersalah.
Sehingga tak jarang jika ujar dia SOP-SOP seperti. itu terlewatkan sehingga penyiksaan itu ada dan terjadi kepada korban salah tangkap.
Karena itu ujar dia, Komnas Perempuan dan KuPP punya komitmen yang jauh ke depan yang berupaya mendialogkan dengan pemerintah agar ada ratifikasi opsional protokol aktif penyiksaan.
“Artinya dimana di setiap tempat-tempat tersebut kebebasannya seperti di lapas, tahanan dan sebagainya akan memiliki struktur yang bisa diterima dan dijalankan oleh pemerintah, sehingga tak ada lagi penyiksaan,” tambah dia.
Baca juga: Komnas HAM terjun langsung tangani kasus tewasnya wartawan Tribrata TV
Baca juga: Komnas HAM desak polda evaluasi penanganan demo di Semarang hingga Makassar