Bengkel Appek: Keterbukaan informasi publik parpol di NTT masih minim

id keterbukaan informasi publik,transparansi parpol ntt,parpol ntt,keterbukaan informasi publik parpol,bengkel appek,icw,ntt

Bengkel Appek: Keterbukaan informasi publik parpol di NTT masih minim

Peneliti Bengkel APPeK Dr  Laurens P. Sairani (memberi penjelaskan dalam kegiatan bertema "Media Briefing Keterbukaan Informasi (Transparansi) Keuangan Partai Politik di Provinsi NTT" di Kupang, Selasa (15/11/2022). (ANTARA/Aloysius Lewokeda)

Perlu ditingkatkan pula pemberdayaan masyarakat melalui edukasi dan menjalankan fungsi pengawasan melalui sejumlah kanal, salah satunya uji akses informasi...
Kupang (ANTARA) - Lembaga Swadaya Masyarakat Bengkel Advokasi Pengembangan dan Pemberdayaan Kampung (Bengkel APPeK) di Kota Kupang mencatat tingkat keterbukaan informasi publik oleh partai politik (parpol) di Nusa Tenggara Timur masih minim dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat.

"Minimnya keterbukaan informasi publik oleh parpol di NTT disebabkan beberapa hal, salah satunya komitmen partai politik untuk menyampaikan informasi keuangan dan organisasi," kata Peneliti Bengkel APPeK Dr  Laurens P Sairani dalam kegiatan bertema "Media Briefing Keterbukaan Informasi (Transparansi) Keuangan Partai Politik di Provinsi NTT" di Kupang, Selasa, (15/11/2022).

Bengkel APPeK didukung Indonesia Corruption Watch (ICW) telah melakukan kajian terkait transparansi informasi keuangan partai politik tingkat daerah di NTT pada 10 partai yaitu Golkar, PDIP, Nasdem, Gerindra, PKB, Perindo, PAN, PSI, Demokrat, dan Hanura.

Laurens menjelaskan hasil kajian diketahui bahwa masih minimnya keterbukaan informasi publik oleh parpol di NTT. Beberapa parpol lebih berorientasi pada aksi program tematik para kader, terutama anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sehingga cenderung menggunakan media sosial seperti facebook dan grup whatsapp sebagai media publikasi informasi, baik kegiatan bersifat persoalan maupun program partai.

Hal ini dianggap lebih mempunyai pengaruh elektoral ketimbang mesti menjalankan kewajiban untuk transparan dalam penggunaan anggaran kepada masyarakat. Rendahnya komitmen parpol juga dapat ditelusuri di Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, pedoman organisasi, dan juga pedoman pengelolaan keuangan partai yang dikeluarkan pengurus pusat, bahwa tidak ditemukan mekanisme khusus yang mengamanatkan perlunya transparansi atau keterbukaan informasi kepada masyarakat.

Penyebab lain, kata dia masih rendahnya persepsi bahwa keterbukaan informasi publik sebagai "boomerang politik". Keterbukaan informasi khususnya keuangan bahkan dianggap sebagai risiko yang siap untuk disalahgunakan secara politik dalam berbagai level kontestasi elektoral.

Selain itu rendahnya tekanan publik karena pengaruh efek elektoral, dimana perhatian publik terkait isu keuangan partai politik juga dinilai masih lemah, termasuk perhatian terhadap aktivitas parpol apalagi bukan di saat pemilihan umum.

Laurens mengatakan kemudian tidak dimungkinkan tekankan institusional terhadap parpol, terutama dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) di daerah. Keterbukaan informasi tidak menjadi ukuran persyaratan dalam salah satu tahapan pemilu sebagai mekanisme paksaan transparansi partai.

Di sisi lain, kata dia, kurangnya informasi pengurus parpol mengenai kewajiban mematuhi instrumen transparansi, baik menyangkut jumlah informasi, misalnya pentingnya keberadaan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).

Ia menyebutkan penyebab lain juga peran Komisi Informasi Daerah (KID) NTT yang baru berdiri tiga tahun belum maksimal dalam mendorong parpol untuk menjadi badan publik yang informatif.

Oleh sebab itu, kata dia pihaknya menyarankan beberapa hal seperti diperlukan sosialisasi yang masif kepada pengurus parpol tentang substansi keterbukaan informasi publik serta penegakan ketentuan-ketentuan yang mengatur keterbukaan informasi publik bagi parpol.

Parpol perlu merancang mekanisme keterbukaan informasi publik baik organisasi, manajemen, dan keuangan secara fleksibel dengan tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan. Selain itu dibutuhkan kesepakatan yang mengikat antara parpol dan pemangku kepentingan berkaitan dengan keterbukaan informasi kepada masyarakat.

"Perlu ditingkatkan pula pemberdayaan masyarakat melalui edukasi dan menjalankan fungsi pengawasan melalui sejumlah kanal, salah satunya uji akses informasi," katanya.



Baca juga: PB PMII minta DKPP optimal penegakan etik penyelenggara Pemilu

Baca juga: Artikel - Menumbuhkan iklim politik sehat di dunia maya jelang Pemilu 2024