Artikel - Lilin-lilin kecil dari perbatasan Indonesia-Timor Leste

id PLBN Wini-Timor Leste,Tapal Batas,NTT,SD Negeri Manufonu Wini,Artikel perbatasan Oleh Narda Margaretha Sinambela

Artikel - Lilin-lilin kecil dari perbatasan Indonesia-Timor Leste

Anak-anak bersekolah di SD Negeri Monufonu Wini, Desa Humusu C, Kecamatan Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (17/11/2023). ANTARA/Narda Margaretha Sinambela

Saya mau jadi guru karena mau mengajar anak-anak...
Wini, NTT (ANTARA) - Siang hari itu, mobil atau oto dalam bahasa Melayu Kupang mulai memasuki pekarangan bebatuan SD Negeri Manufonu Wini, Desa Humusu C, Kecamatan Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT).

Terlihat konsentrasi para pelajar laki-laki yang tengah menggocek bola di bawah kaki gunung yang membatasi antara Indonesia dan Timor Leste itu langsung buyar.

Permainan lalu terhenti, rasa penasaran bocah-bocah itu pun semakin tinggi. Siapakah gerangan yang akan turun dari mobil itu? Lalu, pintu mobil perlahan terbuka, namun yang ada di dalam mobil seakan ragu menginjakkan kaki ke tanah.

Banyak sorot mata tertuju yang membuatnya tak nyaman. Setelah meyakinkan diri bahwa tatapan dari anak kecil itu hanya untuk menjawab rasa penasaran mereka, barulah kaki turun dari oto.

Setelah itu, saya turun dari mobil melangkahkan kaki di bawah paparan panas Matahari, untuk menyapa mereka. Ada senyuman malu yang tersimpul di ujung bibir.

Dari kejauhan ada sekelompok anak laki-laki dan perempuan yang berbisik-bisik mengenai kedatangan sosok itu.

Tak lama kemudian, permainan bola yang sempat hening itu kembali riuh. Sekelompok anak yang di ujung sana mencoba untuk menyapa.

Tampaknya mereka tengah menghabiskan waktu istirahat sembari mengobrol bersama temannya di bawah pohon.

Sapaan mereka begitu hangat namun malu khas anak kecil pada umumnya. Mereka sempat melontarkan pertanyaan mengenai kedatangan ke sekolah mereka.

Lalu, mereka mengantarkan saya kepada kepala sekolah yang sedang duduk di depan ruang guru. Suasananya sangat rindang dan sejuk.

Setelah berusaha menjelaskan maksud dan tujuan baik yang ingin kami lakukan, sang kepala sekolah tak bersedia. Kendati demikian, dia tak melarang kami untuk melakukan interaksi bersama para murid.

Saya pun mencoba mengumpulkan beberapa murid tadi di bawah pepohonan yang rindang. Tarik-menarik di antara teman pun sempat terjadi.

Peristiwa lucu ini tak boleh terlewatkan. Ponsel yang berada di kantong celana pun bergegas saya keluarkan. Saat ingin menyalakannya, di layar atas, terbaca jaringan tak tersedia di sini.

Sempat terdiam memikirkan bagaimana bisa tak ada jaringan di wilayah sekolah ini. Lamunan saya pecah akibat antusias anak-anak sekolah yang menunggu apa yang akan dilakukan.

Melihat ketulusan wajah mereka satu per satu, membuat saya terenyuh. Mereka seperti nyala lilin-lilin kecil di tengah kegelapan.

Lilin yang berusaha menerangi kegelapan di sekitar mereka. Seperti filosofi bahwa urip iku urup yang berarti hidup itu nyala seperti lilin.

Filosofi lilin walaupun kecil mampu menghasilkan cahaya untuk menerangi sekitarnya. Begitu pun mereka, generasi muda yang akan membawa perubahan bagi kampung halamannya dan Indonesia.

Mulai dari upaya sederhana dengan tetap melanjutkan pendidikan agar bisa mewujudkan cita-cita di kemudian hari. Ada rasa tergelitik juga untuk menanyakan cita-cita dari anak yang berada di tapal batas.

Quinn, siswi kelas III SD, mengaku ingin menjadi guru demi mencerdaskan anak bangsa. Sontak saya kaget, anak sekecil ini bisa memiliki pikiran yang mulia sekali.

"Saya mau jadi guru karena mau mengajar anak-anak," katanya dengan berbinar.

Dari sisi lain ada yang bersemangat meneriakkan cita-citanya menjadi polisi. Falda, namanya, tapi dia hanya menyengir bahkan kabur terbirit-birit saat ditanya alasan ingin menjadi aparat negara.

Tak hanya Falda, Gren juga ingin menjadi TNI. Wajahnya begitu serius saat menjawab itu.

Saat ditanyakan keinginan ingin menjadi presiden, mereka semua kompak menjawab tidak. Dari beberapa daftar cita-cita yang sudah dicatat, ada seorang anak yang menjawab ingin menjadi peternak hewan.

Alasannya sederhana agar ternaknya bisa dijual. Tawa pun pecah di antara kami karena anak-anak sekarang memiliki cita-cita yang tidak mainstream.


Pendidikan jadi bagian wujudkan Indonesia Emas 2045