Mikael Bataona: Koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran meniru gaya Jokowi

id koalisi pemerintahan prabowo-gibran

Mikael Bataona:  Koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran meniru gaya Jokowi

Analis politik yang juga pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mikhael Rajamuda Bataona (ANTARA/Bernadus Tokan)

Bacaan saya, koalisi ini akan menjadi sangat gemuk dan tidak produktif karena pemerintahan baru ini meniru gaya Jokowi yaitu merangkul lalu mematikan semua potensi oposisi dalam negara demi efektifitas dan efisiensi jalannya pemerintahan
Kupang (ANTARA) - Analis politik yang juga pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mikhael Rajamuda Bataona memprediksi koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran sangat gemuk dan tidak produktif karena pemerintahan baru nantinya meniru gaya Jokowi.

"Bacaan saya, koalisi ini akan menjadi sangat gemuk dan tidak produktif karena pemerintahan baru ini meniru gaya Jokowi yaitu merangkul lalu mematikan semua potensi oposisi dalam negara demi efektifitas dan efisiensi jalannya pemerintahan," kata Mikhael Bataona di Kupang, Kamis (2/5).

Padahal menurut dia,, rakyat berharap bahwa politik dagang sapi dan bagi-bagi jabatan di era pemerintahan Jokowi itu disudahi oleh rezim ini dan Prabowo berani dengan gaya kepemimpinan baru lalu mengutamakan kualitas dalam membangun koalisi, ketimbang kuantitas dan jumlah.

"Tetapi melihat manuver Nasdem dan PKB yang akhirnya sudah bergabung, saya membaca bahwa kualitas koalisi ini akan seperti periode sebelumnya di mana bahkan Demokrat yang dulu selama bertahun-tahun mengkiritik Jokowi juga diberi kue kekuasaan," katanya. 

Menurut dia, menertibkan potensi contra opini, contra argumentasi dan kritik terhadap kebijakan, justru membunuh demokrasi itu sendiri. Artinya, rakyat akhirnya melihat bahwa koalisi ini terkesan hanya dagang sapi biasa dan bagi-bagi kekuasaan yang sudah menjadi cerita basi di republik ini, sebagaimana yang dilakukan di era Jokowi.

Padahal jika saja Prabowo berani membangun koalisi berbasiskan mutu dan kualitas, maka perubahan pasti terjadi dengan cepat karena semua anggota kabinet mau bekerja secara luar biasa. 

"Melihat model koalisi yang gemuk seperti ini, saya membaca bahwa, perekonomian akan tetap seperti yang berlangsung saat ini di mana pertumbuhan rendah, harga barang tinggi dan daya beli masyarakat tetap rendah dan harus dikendalikan lewat subsidi," katanya.

Baca juga: Pengamat nilai Ganjar tampil lebih baik di debat perdana capres

Baca juga: Pengamat: Sikap PKB dan Nasdem bergabung ke Prabowo lelucon politik

Bahkan target pertumbuhan ekonomi hingga 6 atau 7 persen pun akan sulit dicapai, apalagi rupiah saat ini sudah 16 ribuan. Padahal, Prabowo sebenarnya punya peluang membangun kabinet Saken atau saken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari banyak teknokrat cerdas dan kualified di biadang mereka masing-masing dan bukan memberi jabatan kepada partai-partai koalisi tanpa hitungan kualitas. 

Dengan menang secara meyakinkan dalam arti jumlah suara yang unggul jauh, sebenarnya Prabowo tidak perlu takut dengan gertakan partai-partai politik sebab, ia mendapat dukungan penuh dari publik. Dulungan yang cukup kuat itu sebaiknya dikapitalisasi untuk melawan tekanan partai-partai. 

Tetapi sekali lagi bahwa dengan melihat peluang koalisi di pemerintahan baru ini, di mana koalisi Indonesia maju akan bertambah dengan bergabungnya dua partai pengusung AMIN, yaitu Nasdem dan PKB, juga bisa saja PKS, maka saya membaca bahwa rezim ini hanya akan mereproduksi kelambanan dan in-efisiensi pemerintahan sebab, akan ada begitu banyak kepentingan yang harus diakomodir tanpa melihat dampaknya apa bagi rakyat dan negara. 

Artinya, strategi politik yang digunakan ini modelnya masih sangat feodal dan sudah ketinggalan zaman di mana, strategi politik yang dipakai Prabowo adalah politik merangkul dan bagi-bagi jabatan demi stabilitas politik sambil mengabaikan mutu dan kualitas pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. 

Kepentingan ekonomi politik yang demikian kuat membuat Prabowo akhirnya menyerah dan harus merangkul semua partai demi stabilitas politik. Padahal dukungan publik itu yang paling dibutuhkan. 

Jika bagi-bagi jabatan sudah menjadi mindset elit, seharusnya Prabowo bisa menentang budaya politik lama ini sebab Prabowo punya cukup dukungan publik untuk tampil sebagai leader yang benar-benar otonom dan berdaulat dalam memimpin dan bukan menjadi pemimpin yang terus dibayang-bayangi oleh model budaya politik rezim Jokowi, demikian Mikhael Raja Muda Bataona.