Jakarta (ANTARA) - Kemajuan pesat kecerdasan buatan (AI) berpotensi mengubah pasar tenaga kerja secara global, termasuk di Asia Tenggara.
Lembaga riset internasional McKinsey Global Institute memperkirakan AI dapat menghilangkan 375 juta pekerjaan di seluruh dunia pada tahun 2030.
Para pendukung teknologi optimistis bahwa AI akan memberikan manfaat positif bagi penciptaan lapangan kerja. Seperti revolusi teknologi sebelumnya, mereka berpendapat bahwa meskipun otomatisasi menggantikan beberapa pekerjaan, hal itu juga akan menciptakan industri dan profesi baru yang dapat mengimbangi kehilangan pekerjaan, sambil mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Sejarah menunjukkan bahwa perubahan teknologi telah mengubah struktur pekerjaan. Pada awal abad ke-20, sektor pertanian menyumbang 40% dari tenaga kerja AS. Sementara sekarang, kontribusi sektor tersebut terhadap sektor ketenagakerjaan hanya kurang dari 2%.
Ketika pekerjaan pertanian hilang, pekerja beralih ke industri baru. Sektor layanan sekarang mempekerjakan hampir 80% tenaga kerja AS, sementara manufaktur dan konstruksi hanya menyumbang 20%.
Namun, di sisi lain, para skeptis teknologi, khususnya dalam kebijakan publik, khawatir bahwa AI akan menyebabkan kehilangan pekerjaan massal dan menciptakan ketimpangan yang lebih besar antara pemilik modal dan pekerja yang kehilangan pekerjaan.
Goldman Sachs memperkirakan bahwa AI dapat menghapus 300 juta pekerjaan penuh waktu di seluruh dunia. Sebuah survei dari World Economic Forum memberikan pandangan yang lebih optimistik, memproyeksikan bahwa AI akan menghilangkan 83 juta pekerjaan sambil menciptakan 69 juta pekerjaan baru—yang menghasilkan kehilangan bersih 14 juta pekerjaan, atau hanya 2% dari total pekerjaan saat ini di industri yang terpengaruh oleh AI.
Meskipun proyeksi terburuk mungkin tidak terjadi, AI diperkirakan akan mengubah pasar kerja global. Pengangguran yang disebabkan oleh teknologi bisa memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi, dengan potensi dampak yang besar.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah mungkin terpaksa menaikkan pajak di sektor-sektor yang menguntungkan untuk mendanai program-program sosial dan publik. Hal ini akan menciptakan dilema bagi bisnis, yang harus mempertahankan tingkat pekerjaan yang tinggi untuk menghindari kenaikan pajak, namun di sisi lain, mereka harus mengadopsi otomatisasi untuk meningkatkan efisiensi dan margin keuntungan.
Dalam jangka panjang, tekanan pajak yang lebih tinggi dan penurunan daya beli konsumen dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, para pembuat kebijakan mungkin perlu menaikkan pajak agar keuntungan otomatisasi tidak mengorbankan stabilitas sosial yang penting.
Singapura, sebagai pusat keuangan dan teknologi di Asia, berada di garis depan dalam adopsi AI. Dengan ekonomi berbasis layanan dan industri teknologi yang berkembang pesat, otomatisasi dapat mengurangi pekerjaan di sektor administrasi dan perbankan, tetapi juga menciptakan peluang baru dalam penelitian dan pengembangan teknologi.
Sebuah laporan dari Kementerian Tenaga Kerja Singapura menyatakan bahwa sekitar 20% pekerjaan di sektor jasa keuangan berisiko tergantikan oleh AI dalam dekade mendatang. Namun, ketimpangan keterampilan dapat menjadi masalah, karena pekerja yang kurang terampil mungkin tidak dapat beralih ke industri baru yang berbasis AI.
Malaysia, yang memiliki ekonomi lebih beragam dengan sektor manufaktur yang besar, berisiko menghadapi gangguan signifikan akibat otomatisasi. Diperkirakan sekitar 30% pekerjaan manufaktur di Malaysia berisiko digantikan oleh AI pada tahun 2030 (Bank Dunia, 2021).
Banyak pekerjaan di pabrik yang dapat digantikan oleh robot dan sistem AI. Namun, pemerintah Malaysia telah berinvestasi dalam program peningkatan keterampilan untuk membantu tenaga kerja beradaptasi dengan perubahan ini, dengan target pelatihan 1 juta pekerja dalam bidang teknologi digital hingga 2025.
Indonesia, dengan populasi besar dan ekonomi yang masih didominasi oleh sektor informal dan padat karya, menghadapi tantangan berbeda. Sekitar 56% dari total pekerjaan di Indonesia berisiko tinggi terotomatisasi dalam 20 tahun ke depan (Oxford Economics, 2019).
Penggunaan AI dalam industri seperti manufaktur, logistik, dan layanan keuangan dapat menyebabkan kehilangan pekerjaan bagi jutaan pekerja berpendidikan rendah. Tanpa kebijakan yang tepat, kesenjangan sosial dapat semakin melebar, memperburuk ketidaksetaraan ekonomi.
Dalam teori ekonomi, permintaan tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh tingkat teknologi dan produktivitas. Model neoklasik menyatakan bahwa perusahaan akan mempekerjakan tenaga kerja hingga tingkat di mana nilai marjinal tenaga kerja sama dengan biaya upah.
Dengan adanya AI, produktivitas meningkat tetapi kebutuhan tenaga kerja dapat menurun karena perusahaan menggantikan pekerja dengan mesin yang lebih efisien dan hemat biaya. Akibatnya, permintaan tenaga kerja bisa berkurang, terutama bagi pekerjaan dengan keterampilan rendah.
Menurut teori kompensasi (compensation theory), meskipun otomatisasi mengurangi pekerjaan di satu sektor, teknologi juga menciptakan lapangan kerja baru di sektor lain. Namun, transisi ini tidak selalu seimbang, karena banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan di sektor lama tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan di sektor baru.
Sebagai contoh, pada tahun 2022, industri AI di Asia Tenggara menciptakan sekitar 250.000 pekerjaan baru, tetapi sebagian besar membutuhkan keterampilan yang tidak dimiliki oleh tenaga kerja yang terdampak otomatisasi.
Dalam menghadapi dampak AI, beberapa ekonom berpendapat bahwa pajak terhadap perusahaan teknologi dan sektor yang paling diuntungkan dari otomatisasi harus dinaikkan. Tujuannya adalah untuk mendanai program sosial, pendidikan ulang tenaga kerja, dan jaminan sosial bagi mereka yang kehilangan pekerjaan.
Dengan meningkatnya keuntungan perusahaan akibat otomatisasi, ada argumen bahwa perusahaan harus berkontribusi lebih besar untuk memastikan redistribusi ekonomi yang adil. Sebagai contoh, perusahaan teknologi besar di Singapura mengalami kenaikan keuntungan rata-rata 15% per tahun sejak 2018 akibat otomatisasi.
Namun, ada juga tantangan dalam menaikkan pajak perusahaan. Pajak yang terlalu tinggi dapat mendorong perusahaan untuk mengalihkan investasi ke negara lain dengan pajak yang lebih rendah, mengurangi daya saing ekonomi domestik.
Sebagai contoh, pajak perusahaan di Indonesia saat ini sebesar 22%, lebih tinggi dibandingkan Singapura yang hanya 17%, sehingga berpotensi menghambat investasi. Oleh karena itu, solusi yang lebih efektif adalah menerapkan kebijakan pajak yang seimbang, seperti pajak robot atau pajak atas keuntungan AI, tanpa menghambat inovasi dan pertumbuhan ekonomi.
Jika pajak terhadap perusahaan tidak dinaikkan, pemerintah akan menghadapi kesulitan dalam mendanai program pendidikan ulang tenaga kerja yang terdampak AI.
Akibatnya, banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan akan sulit mendapatkan pekerjaan baru, yang pada akhirnya meningkatkan tingkat pengangguran dan menurunkan daya beli masyarakat.
Hal ini akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi, karena konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 55% dari PDB Indonesia.
Implikasi Kebijakan
Untuk menghadapi dampak AI terhadap tenaga kerja, Indonesia dapat mengambil beberapa langkah strategis melalui peningkatan keterampilan dan pendidikan berupa program pelatihan ulang dan peningkatan keterampilan harus menjadi prioritas untuk memastikan tenaga kerja siap menghadapi era digital.
Pemerintah dapat bekerja sama dengan sektor swasta untuk menyediakan pelatihan berbasis industri. Saat ini, hanya sekitar 10% tenaga kerja Indonesia yang memiliki keterampilan digital yang memadai.
Kedua, memberikan insentif bagi perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja manusia. Alih-alih hanya menaikkan pajak, pemerintah dapat memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang tetap mempekerjakan tenaga kerja manusia atau mengadopsi model kerja hibrida yang menggabungkan tenaga kerja manusia dan AI.
Misalnya, perusahaan yang mempertahankan lebih dari 70% tenaga kerja manusia dapat diberikan pengurangan pajak 5%.
Ketiga, diversifikasi ekonomi dengan mengembangkan sektor-sektor yang kurang rentan terhadap otomatisasi, seperti ekonomi kreatif, pariwisata, dan layanan berbasis keterampilan tinggi, dapat membantu menciptakan peluang kerja baru.
Ekonomi kreatif menyumbang sekitar 7.5% dari PDB Indonesia, tetapi memiliki potensi pertumbuhan yang lebih besar jika didukung kebijakan yang tepat.
Keempat, pajak AI yang terarah. Pemerintah dapat mempertimbangkan pajak khusus untuk perusahaan yang sangat bergantung pada AI, tetapi hasil pajak tersebut harus digunakan untuk mendukung pekerja yang terkena dampak, misalnya melalui program jaminan sosial atau pendidikan.
Sebagai contoh, penerapan pajak AI sebesar 3% dari keuntungan perusahaan dapat menghasilkan pendapatan negara hingga Rp50 triliun per tahun.
Kelima, regulasi yang fleksibel. Alih-alih membebani industri dengan pajak tinggi, regulasi yang fleksibel dapat mendorong adopsi AI secara bertanggung jawab, misalnya dengan mewajibkan perusahaan untuk memberikan pelatihan ulang kepada pekerja yang terdampak otomatisasi.
Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat menghadapi dampak AI terhadap tenaga kerja secara lebih baik, menjaga stabilitas sosial, dan memastikan bahwa keuntungan dari inovasi teknologi dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Jika pajak terhadap perusahaan tidak dinaikkan atau kebijakan redistribusi tidak diterapkan, maka kesenjangan ekonomi akan semakin melebar, tingkat pengangguran meningkat, dan kesempatan kerja bagi generasi mendatang semakin berkurang.
*) Dr. Aswin Rivai,SE.,MM adalah Pemerhati Ekonomi, Dosen FEB UPN Veteran Jakarta
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: AI dan pekerjaan: evolusi atau eliminasi?