Surabaya (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan, dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun dan 6 bulan.
Putusan mahkamah itu dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo, sesuai amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi di Jakarta, 26 Juni 2025.
Artinya, MK, dengan amar putusan itu memerintahkan bahwa pemilu daerah diselenggarakan setelah pemilu nasional. Pemilu nasional, antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sedang pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten atau kota, serta kepala daerah dan wakil daerah.
Sebenarnya, pemisahan pemilu nasional dan lokal sudah pernah dinyatakan konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019.
Dalam putusan itu, Mahkamah Konstitusi menentukan enam model "pemilu serentak", yang salah satunya membagi waktu pelaksanaan pemilu berdasarkan tingkatan, yakni "pemilu nasional serentak" (Pilpres, Pileg DPR RI, dan DPD RI) dan "pemilu lokal serentak" (pemilihan anggota legislatif atau DPRD dan pilkada).
Inti dari Putusan MK tersebut untuk efisiensi demokrasi, perlindungan hak pilih, dan beban teknis penyelenggaraan pemilu, karena pemilu serentak terbukti memunculkan kelelahan penyelenggara dan kompleksitas logistik, bahkan pernah menimbulkan korban jiwa.
Di tingkat penyelenggara, penggabungan pilpres dan pileg (DPR, DPD, dan DPRD) memunculkan beban kerja yang terlalu berat karena pemilu dilaksanakan dengan lima kotak suara, sekaligus. Skema lima kotak suara tersebut justru menimbulkan kerumitan dalam penyelenggaraannya, mulai dari proses persiapan, hingga pada tahap rekapitulasi suara.
KPU RI mencatat ada sebanyak 181 anggota penyelenggara Pemilu 2024 dari tingkat kecamatan hingga kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) meninggal dunia. Sementara itu, sebanyak 4.770 orang penyelenggara Pemilu 2024 mengalami kecelakaan kerja atau sakit.
Sementara itu, putusan MK itu membuat terjadi "reposisi" peran MK sebagai lembaga yudikatif penjaga konstitusi, menjadi pembuat norma dari putusan yang dihasilkan, sehingga putusan MK itu berpotensi menimbulkan kontroversi karena masuk ke wilayah pembentukan hukum (positive legislator).
Simalakama
Bahkan, pakar Hukum Tata Negara (HTN) dari Universitas Narotama Surabaya Dr Rusdianto Sesung, SH, MH menilai Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang skema pelaksanaan pemilu yang memerintahkan pemisahan pemilu nasional dengan pemilu daerah, dengan jeda waktu 2 tahun atau 2,5 tahun, itu mengacu pada konstitusi, tapi sekaligus "melanggar" konstitusi.
Dengan demikian, bagi dia, putusan yang mirip dengan buah simalakama, ditolak atau diterima sama-sama salah, karena putusan itu harus dilaksanakan, sesuai Pasal 24-c UUD, bahwa putusan MK itu bersifat final dan mengikat, tapi putusan itu juga melanggar Pasal 22-e ayat 1 dan 2 serta pasal 18 ayat 3 dan 4 UUD bahwa pemilihan DPR/DPD/presiden dan DPRD itu sekali dalam 5 tahun.
Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Narotama Surabaya itu menegaskan bahwa Pasal 22-e ayat 1 dan 2 UUD mengamanatkan pemilihan DPR/DPRD dan kepala daerah itu dalam satu paket. Karena itu, jika dipisahkan, maka akan menyebabkan perpanjangan masa jabatan, baik untuk anggota DPR/DPRD maupun para kepala daerah.
Untuk perpanjangan masa jabatan kepala daerah masih memungkinkan, dengan perpanjangan masa jabatan atau dengan penunjukan pejabat sementara, karena perpanjangan kepala daerah itu ditentukan oleh DPR/DPRD, tapi kalau perpanjangan DPR/DPRD itu justru tidak memungkinkan karena penentuan perpanjangan DPR/DPRD itu tidak ada, kecuali hanya lewat proses pemilu.
Oleh karena itu, MK dapat digolongkan melakukan "offside", karena MK mengubah norma yang ada, melalui putusan mahkamah itu. Padahal tugas pokok dan fungsi (tupoksi) MK itu hanya bersifat positif atau negatif dalam menyikapi UU, yakni menolak atau mengabulkan, bukan melakukan kreasi konstitusi, karena pembentuk UU itu merupakan tugas pokok dan fungsi dari DPR RI dan pemerintah.
Selain dampak hukum, pakar menyebut bahwa Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memerintahkan pelaksanaan pemilu secara terpisah antara pemilu nasional dan lokal juga berdampak pada pemborosan anggaran, baik APBN/APBD maupun anggaran parpol, karena pemilu harus lebih dari satu kali, dengan biaya kampanye dan pelaksanaan yang tidak sedikit.
Karena itu, pakar menawarkan solusi atau jalan keluar dari "buah simalakama" konstitusi itu, yakni perlu ada peninjauan kembali terhadap Putusan MK tentang skema pemilu itu. Hanya saja, pengusul pengajuan kembali itu bukan berasal dari legislatif, melainkan lembaga netral, seperti asosiasi pakar HTN atau ahli hukum dari kampus.
Peninjauan kembali itu pun bukan langsung terhadap Putusan MK, melainkan koreksi lewat UU lain, seperti UU parpol, UU pemda, UU MD3, dan UU lainnya yang menegaskan kembali tentang kewenangan membuat UU di tangan pemerintah dan legislatif, sekaligus menguatkan prinsip trias politica yang dianut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Solusi lain dari Putusan MK yang intinya adalah efisiensi dan efektivitas itu bisa diatasi dengan teknologi, misalnya pelaksanaan pemilu dengan e-voting atau lainnya, sehingga tidak terjadi pelanggaran konstitusi dan MK juga tidak terlalu masuk ke open legal policy, yang berpotensi memicu kegaduhan politik.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Solusi untuk "buah simalakama" Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024