Kupang (ANTARA) - Di sebuah rumah sederhana di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Stevano (4) tampak lahap menyantap nasi hangat campuran bunga telang dengan sayur capcai dan ayam goreng.
Bocah yang akrab disapa Nono itu kini terbiasa menghabiskan makanannya tanpa harus ditemani segelas kental manis seperti sebelumnya.
Ia menyendok nasi dengan sayur, sementara potongan paha ayam disimpan untuk bagian terakhir. Seolah-olah paham ayam menjadi makanan penutup baginya.
Nono adalah anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Lahir di masa pandemi COVID-19, ketika banyak keluarga berjuang menghadapi tekanan ekonomi, Nono tumbuh dengan pola konsumsi yang keliru.
Sang ibu, yang biasa disapa dengan sebutan Mama Ance, mengaku sempat mengandalkan kental manis sebagai minuman harian anaknya karena keterbatasan penghasilan.
Dengan hanya dua ribu rupiah di tangan, kental manis kerap menjadi pilihan terakhir untuk memenuhi kebutuhan gizi sang anak.
Di saat pemberian ASI terhenti karena kehadiran bayi baru, kental manis hadir sebagai pengganti “susu” termudah bagi keluarga tersebut.
Siang itu, Minggu (5/7) adalah jadwal kunjungan rumah yang dilakukan kader kesehatan Aisyiyah yang menjadi pendamping Stevano. Di tengah sejumlah orang dewasa yang asyik bercerita sambil mengawasinya, anak laki-laki itu makan dengan lahapnya.
Nono merupakan satu dari 24 anak peserta program pendampingan keluarga di Kota Kupang.
Program yang digagas Majelis Kesehatan PP Aisyiyah dan Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) ini bertujuan untuk menghentikan kebiasaan konsumsi kental manis sebagai pengganti susu untuk balita, serta membiasakan keluarga menghidangkan menu sehat dan bergizi untuk anak.
“Dia masih kecil, tapi saya tidak bisa kasih ASI karena ada bayi lagi. Lalu waktu itu juga pandemi, ekonomi susah. Jadi kami tidak bisa belikan susu bubuk seperti yang dulu diminum kakak-kakaknya,” Mama Ance memulai ceritanya.
Pendampingan
Ditanya tentang apakah waktu itu Ance tahu bahwa kandungan gula kental manis lebih tinggi dan tidak baik untuk anak, ia menggeleng.
Dia justru baru paham dan mengetahui bahaya kental manis itu saat mendapatkan edukasi dan pendampingan gizi ibu dan balita.
Sebelumnya dia berpikir kental manis adalah susu yang cocok dan bisa diminum oleh anak-anak sebagai pengganti ASI atau susu bubuk.
Kini, ia bersyukur menjadi salah satu penerima manfaat program pendampingan keluarga ini, sehingga ia dapat memperbaiki kesalahannya terhadap sang buah hati agar tidak berdampak lebih serius terhadap kesehatannya.
“Saya tidak tahu sama sekali. Hanya Nono saja yang saya berikan kental manis, tetapi anak-anak yang lain tidak. Ini juga karena kami kesulitan ekonomi,” ceritanya.
Program pendampingan keluarga berupa edukasi dan pendampingan gizi ibu dan balita ini, dalam pelaksanaannya dijalankan oleh Pengurus Wilayah Aisyiyah (PWA) Kota Kupang.
Sebanyak delapan kader kesehatan terlibat langsung dalam edukasi dan pendampingan untuk keluarga yang dilakukan dari pintu ke pintu.
Setiap kader bertanggung jawab atas tiga keluarga. Mereka harus mengedukasi tentang makanan dan minuman yang baik dan tidak baik untuk anak. Edukasi makanan bergizi juga melibatkan tenaga kesehatan setempat.
Tak hanya itu, setiap keluarga juga mendapat bantuan berupa bahan pangan untuk diolah bersama kader menjadi hidangan keluarga yang enak, bergizi, dan juga terjangkau.
Meski menekankan aspek ekonomis dan pangan lokal yang mudah didapat di lingkungan sekitar, namun kader memastikan olahan makanan mencukupi kebutuhan gizi anak.
Fauziah, kader PWA Kota Kupang yang menjadi pendamping keluarga Mama Ance mengatakan, Mama Ance dan Nono adalah peserta program dengan tekad yang kuat untuk berubah menjadi lebih baik. Hal itu terlihat dari perubahan-perubahan yang konsisten setiap minggunya menjadi lebih baik.
Tak hanya mengajak untuk menghentikan kebiasaan konsumsi kental manis, hal lain yang diperlukan masyarakat adalah pengetahuan mengolah berbagai bahan makanan yang ada di sekitar menjadi beragam makanan untuk keluarga.
Menu yang hanya itu-itu saja membuat anak bosan dan malas makan.
Nono dinilai mengalami perkembangan yang cukup bagus. Kebiasaan makan yang berbeda membuahkan hasil untuk bocah itu. Kini dia selalu lahap menghabiskan makanannya. Padahal, sebelumnya, dia susah makan sehingga orang tuanya mengandalkan kental manis untuknya.
Kesalahan bertahun-tahun
Koordinator Divisi Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat MaKes PP Aisyiyah Dr dr Ekorini Listiowati mengatakan program pendampingan ini adalah tindak lanjut dari komitmen PP Aisyiyah yang telah ikut serta mengawal isu kesalahan penggunaan kental manis sebagai susu untuk anak.
Selain itu, ia berharap penerima manfaat dapat menularkan edukasi ini kepada masyarakat sekitar.
“Harapannya masyarakat yang sudah merasakan manfaat dari pendampingan ini melakukan replikasi, atau menyampaikan ke keluarga lain,” kata Ekorini.
Mayoritas orang tua mengira kental manis adalah susu biasa yang aman dikonsumsi anak. Kesalahan konsumsi ini berlangsung bertahun-tahun.
Meski pemerintah telah melarang penggunaan kental manis sebagai minuman susu atau sumber gizi, namun realitanya, praktik pemberian kental manis sebagai pengganti ASI masih kerap terjadi. Karena itulah, edukasi dan sosialisasi untuk masyarakat perlu terus dilakukan secara berkesinambungan.
"Harapan kita semua itu adalah semakin banyak masyarakat yang terdampak," ucap Ekorini.
Pakar Kesehatan Universitas Pasundan dr Alma Lucyati MKes mengapresiasi program pendampingan giziini. Menurutnya, perlu program edukasi semacam ini bisa berjalan efektif.
“Saat penyuluhan dilakukan di rumah, edukasi menjadi efektif kepada para orang tua,” tutur Alma.
Ia berharap program seperti ini dapat dicontoh agar edukasi pola makan yang tepat dan aman semakin menjangkau masyarakat.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Perjuangan Mama Ance menjauhkan anak dari "susu" kental manis