Mengenal Paskah Tradisional di Noemuti

id Paskah

Mengenal Paskah Tradisional di Noemuti

Tradisi Kure menjelang Paskah di Noemuti, Timor Tengah Utara, NTT.

Tradisi Paskah atau Taniu Uisneno ini dengan memandikan patung-patung dan salib suci serta benda kudus lainnya oleh para pemilik rumah adat di Noemuti.
Selama ini, banyak orang lebih mengenal Prosesi Jumat Agung yang melegenda sejak abad ke-17 di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.

Padahal, ada tradisi Paskah yang dilakukan setiap tahun oleh umat Katolik di Kecamatan Neomuti, Kabupaten Timor Tengah Utara yang disebut "Taniu Uisneno".

Tradisi Paskah atau Taniu Uisneno ini dengan memandikan patung-patung dan salib suci serta benda kudus lainnya oleh para pemilik rumah adat di Noemuti.

Dan tradisi Kure yaitu berdoa sambil mengunjungi keluarga-keluarga yang pada zaman dahulu menerima agama Katolik.

Kedua ritus atau tata cara dalam upacara keagamaan yang syarat dengan nilai religius ini dapat menjadi pilihan bagi umat Katolik untuk merayakan Tri Hari Suci sekaligus sebagai wahana memperdalam iman umat sesuai dengan tradisi dan sejarah lahirnya prosesi Paskah di daerah itu.

Tradisi Taniu Uisneno menjelang perayaan Tri Hari suci itu sudah lama berlangsung dan merupakan warisan budaya bangsa Portugis.

Taniu Uisneno itu bulai digelar pada pada saat Kamis Putih atau awal memasuki Tri Hari Suci menjelang Paskah untuk mengenang sengsara dan wafatnya Yesus Kristus di kayu salib.

Willy Silab, salah seorang tokoh adat di Noemuti mengatakan ritual tersebut juga merupakan tindakan pembersihan dan penyerahan diri umat Katolik kepada Sang Khalik sekaligus ungkapan rasa syukur atas nikmat dan berkat yang diperoleh dalam satu tahun perjalanan hidup.

Tradisi unik yang mungkin menjadi satu-satunya kegiatan keagamaan dan wisata rohani di NTT ini sudah berlangsung lama sejak abad ke-19 dan digelar secara turun temurun oleh warga setempat yang masih memiliki hubungan kekerabatan yang kental.

Prosesi Taniu Uisneno di Ume Mnasi atau memandikan benda-benda kudus di rumah Tuhan itu dimulai pukul 07.00 Wita saat petugas membunyikan lonceng sebagai tanda persiapan acara dimulai.

Selanjutnya, seluruh petugas berdiri di depan gereja, kemudian berbicara dalam bahasa adat oleh para tokoh adat, dilanjutkan pemberkatan oleh pastor.

Para petugas kemudian turun ke kali untuk mengambil air dan kembali ke gereja untuk mendapat berkat dari pastor atau imam Katolik setempat yang kemudian digunakan untuk memandikan benda-benda suci di Ume Mnasi.

Air dari hasil pembersihan patung-patung religi itu digunakan untuk membasuh wajah, badan, kaki dan tangan anggota Ume Mnasi sebagai lambang pembersihan diri dan membawa kedamaian.

Cara membersihkan benda-benda suci itu dengan memakai air dan minyak serta alat yang digunakan untuk membersihkan yakni ampas dari tebu dan kapas. 

Kemudian sisa air yang digunakan untuk membersihkan benda suci itu dipakai untuk membasuh wajah, tangan dan kaki, tiap anggota suku.

Setelah prosesi Taniu Uisneno, dilanjutkan dengan kegiatan pengumpulan persembahan hasil usaha berupa buah-buahan oleh tiap anggota suku Ume Mnasi atau dalam bahasa setempat disebut Bua Pa dan pengumpulan buah-buahan ke Ume Mnasi lainnya yang memiliki ikatan kekerabatan (Bua Loet).

Setelah prosesi ritual Taniu Uisneno selesai, semua anggota suku mempersiapkan diri untuk mengikuti misa perayaan Kamis Putih di gereja setempat pada malam hari.

Penempatan benda kudus itu diikuti pula dengan sebuah tradisi penumbuhan iman melalui doa bergilir dari satu rumah adat ke rumah adat lainnya.

"Itulah yang disebut Kure. Sampai saat ini, tradisi Kure masih dipertahankan oleh anak cucu dari suku-suku yang ada di Kote," kata Willy.

Makna Kure
Kure berasal dari bahasa Perancis Cure atau sebutan bagi orang yang bertugas untuk menangani urusan memeliharaan rohani umat beriman dalam wilayah tertentu.

Dan umat Katolik di Noemuti terus memperingati prosesi masuknya agama Katolik dengan terus memelihara tradisi kuno itu hingga kini.

Prosesi religius yang kaya akan nuansa iman ini dilakukan di Paroki Hati Kudus Yesus Noemuti. Para penganutnya juga terus mengenang saat pendudukan tentara Portugal atas Belanda di Noemuti.

Kala itu, tentara Portugis (Topasis) yang datang bersama para imam Katolik Fransiskan mulai menyebarkan misi agama Katolik ke Pulau Timor lewat pintu masuk Noemuti.

Misi mulia ini mendapat simpati dan terus dikenang hingga sekarang. Sebagai perwujudannya, alat-alat perang diganti dengan buah-buahan dimana tebu dijadikan sebagai senapan, jeruk dan buah-buah lainnya sebagai pelurunya sementara sagu/uk sebagai upaf  atau mesiu.

Usai dilakukan misa inktulurasi, buah-buahan itu dibagikan kepada umat sebagai tanda damai. Tanda syukur atas kemenangan perang diganti dengan damai. Noemuti merupakan salah satu titik sejarah dan cikal bakal hadirnya agama Katolik di Pulau Timor.

Menurut sejarah, wilayah Kote-Noemuti, sekitar 224 kilometer arah timur Kota Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, pada masa penjajahan, menjadi wilayah kekuasaan Belanda.

Namun kemudian, wilayah ini diduduki Portugis karena ditukar dengan Maukatar, salah satu daerah di Timor Leste sekarang, yang lebih dikenal dengan Oecusse, sebagai wilayah kekuasaan Portugis yang diduduki Belanda pada tanggal 1 November 1916.

Tentara Portugis (Topasis) yang saat itu datang bersama para imam Katolik Fransiskan kemudian memperkenalkan dan menyebarkan agama Katolik yang mereka anut kepada penduduk Kote-Noemuti.

Salah satu peninggalan para imam Fransiskan dalam misi penyebaran agama Katolik adalah dengan menempatkan patung-patung kudus dan benda-benda devosional pada rumah-rumah adat (ume mnasi) yang ada di Kote-Noemuti.

Penempatan patung-patung para kudus dan benda-benda devosional ini diikuti dengan sebuah tradisi penumbuhan iman, doa bergilir dari satu rumah adat ke rumah adat lainny (ume usi neno) saat tri hari suci Paskah.

Tradisi doa bergilir (kulture religi) memasuki Tri Hari Suci bagi umat Katolik dilaksanakan pada malam Kamis Putih dan Malam Jumat Agung sebagai rangkaian memperingati Hari Raya Paskah ini disebut tradisi Kure.

Tahapan Prosesi
Prosesi yang terus diwarisi umat Katolik di Paroki Hati Kudus Yesus Noemuti ini menurut Pemangku adat Suku Noemuti, Raja Alex Yosep Antonio Costa meliputi beberapa tahapan yakni Trebluman atau Doa Pengosongan Diri.

Pada prosesi Kure in, katanya, diawali dengan ritual pengosongan diri (boe nekaf) pada hari Rabu, sehari sebelum memasuki Tri Hari Suci yakni ritual Trebluman. Semua rumpun suku "ume uis neno" berkumpul untuk berdoa bersama, merenung dan menyesali dosa atau "to`as, nek amle`ut polin" untuk siap memasuki minggu sengsara.

Antonio Costa yang merupakan keturunan kelima dari salah satu penyebar agama Katolik pertama di Pulau Timor itu mengatakan tempat tinggal (ume uis neno) sebagai tempat awal memulai segala karya dan tempat kembali membawa suka dan duka juga harus dikosongkan dari pengaruh roh jahat. Utusan ume uis neno bersama umat berdoa bersama di gereja.

"Dengan menyalakan 13 lilin berbentuk kerucut mengelilingi altar, melambangkan Yesus dan 12 rasul. Pada setiap akhir lagu dipadamkan 2 lilin secara berturut-turut sampai lilin ke-12," katanya.

Sedangkan lilin yang ke-13 yang dibiarkan menyala disimpan di bawah altar, pada saat yang bersaaman lampu gereja dipadamkan dan lonceng gereja dibunyikan 3 kali.

Sala satu tahapan yang penting juga adalah saat pengusiran roh jahat. Bersamaan dengan dibunyikan lonceng yang ketiga, umat dalam gereja bertepuk tangan. Lampu-lampu semua rumah di Kote dipadamkan.

Biasanya, pemadaman ini dilakukan oleh semua ume usi neno. Bunyi-bunyian dengan bertepuk tangan dan memukul dinding rumah sambil menyerukan "poi ri rabu" atau enyahlah roh jahat.

Tradisi ini dilakukan secara bersama oleh penghuni ume usi neno. Salah satu amnasit kemudian memanggil atau menyebut nama rumpun sukunya masing-masing. 

Ritual ini dilakukan kurang lebih 5 menit kemudian lonceng gereja dibunyikan sekali lagi dan semua lampu dinyalakan kembali. Dengan demikian, Ritual Trebluman selesai.