Wisata Paus Laut Sawu

id Paus

Wisata Paus Laut Sawu

The Nature Conservancy (TNC) atau Taman Nasional Perairan (TNP) bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) akan mengembangkan wisata paus di Laut Sawu.

"Selama ini Laut Sawu menjadi tempat atraksi wisata paus yang menjanjikan di masa depan, namun wisata paus belum banyak dikembangkan di perairan Indonesia," kata Marius Ardu Jelamu.
Kupang (Antara NTT) - The Nature Conservancy (TNC) atau Taman Nasional Perairan (TNP) bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) akan mengembangkan wisata paus di Laut Sawu.

"Selama ini Laut Sawu menjadi tempat atraksi wisata paus yang menjanjikan di masa depan, namun wisata paus belum banyak dikembangkan di perairan Indonesia," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif NTT Marius Ardu Jelamu di Kupang, Senin.

Menurut dia, pengembangan wisata paus dilakukan di Laut Sawu dengan fokus ke tiga kawasan yaitu Solor-Lewotobi di Kabupaten Florest Timur, Ile Ape-Lamalera di Kabupaten Lembata dan Paket Alor-Pantar di Kabupaten Alor.

Selain menawarkan pengamatan paus secara langsung, wisata itu juga rencananya akan dikombinasikan dengan budaya, aspek kelautan, reliji dan wisata alam.

"Pemerintah provinsi NTT menyambut baik inisiatif pengembangan wisata ini karena diharapkan mampu mendongkrak pendapatan masyarakat dan pemerintah daerah," katanya. Ia mengatakan Laut Sawu merupakan koridor migrasi bagi paus dan lumba-lumba.

Ini berdasarkan hasil survei REA (Rapid Ecological Assessment) yang dilakukan TNC beberapa tahun terakhir mengidentifikasi sedikitnya 10 mamalia laut termasuk 14 spesies paus, tujuh spesies lumba-lumba dan satu spesies duyung.

"Wisata paus dan lumba-lumba merupakan industri wisata maritim yang sedang berkembang pesat dan telah dikembangkan di 90 negara," katanya. Secara global, wisata itu berhasil menangguk keuntungan hingga Rp1,4 triliun.

Di Indonesia, aktivitas itu relatif baru meskipun sebenarnya bisa dikembangkan di wilayah-wilayah seperti Sunda Kecil, Laut Banda dan Raja Ampat. "Di Laut Sawu, paus berkembang biak sehingga cocok dikembangkan jadi wisata menonton paus," katanya.

Karena itu, Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu di Nusa Tenggara Timur juga disebut sebagai kafe bagi Paus biru (Balaenoptera musculus) sehingga perairan ini cocok dikembangkan menjadi wisata menonton Cetasea.

Tim Ekpedisi "The Underwater360 Group" bersama jajaran Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang berada di Bolok untuk meneliti pergerakan cetasea di dua taman nasional perairan di Indonesia timur tersebut dan mengembangkan potensi perairan setempat sebagai tempat pengembangan wisata berkelanjutan berbasis konservasi.

Tim ini beranggota 11 orang berasal dari sejumlah negara antara lain Australia, Singapura, Spanyol dan Tiongkok.

Mereka terdiri dari penyelam bebas (freediver) Dada Li asal China dan Pepe Arcos asal Spanyol, penyelam (diver), peneliti cetasea dan peneliti wisata bahari dipimpin Ahli Cetasea yang juga Direktur APEX Environmental Benjamin Kahn.

Pemulihan Laut Sawu
Sementara itu, Pemerintah NTT bersama The Nature Conservancy (TNC) Kantor Perwakilan Kupang berupaya memulihkan Taman Nasional Perairan Laut Sawu yang mengalami kerusakan dan pencemaran akibat aktivitas manusia.

"Upaya yang dilakukan antara lain pelatihan untuk menyadarkan tingkat pemahaman akan pentingnya lingkungan perairan laut jauh dari aktivitas manusia yang menyebabkan pencemaran biota laut khususnya di Laut Sawu," kata Kepala Dinas Likungan Hidup NTT Benyamin Lola.

Selain pelatihan penyadaran, pihak Pemerintah juga bersama The Nature Conservancy (TNC) Laut Sawu Kantor Perwakilan Kupang melakukan pemantauan persepsi masyarakat terhadap tingkat pemahaman masyarakat yang tinggal atau beraktivitas di wilayah pesisir laut Sawu.

"Pemantauan persepsi dilakukan terhadap masyarakat pesisir di sepuluh kabupaten yang mata pencaharian masyarakat dari Laut Sawu. Mengingkat setelah ditetapkan menjadi TNP, pengelolaan kawasan itu menjadi terbatas," katanya.

Hal itu katanya dilakukan karena Penetapan TNP Laut Sawu memberikan sinyal bahwa sudah ada proteksi di perairan itu. "Di Laut Sawu, paus berkembang biak sehingga cocok dikembangkan jadi wisata menonton paus," katanya.

Ia mengatakan, memantau dan evaluasi terhadap pengembangan kawasan konservasi perairan merupakan kegiatan penting sehingga harus dilakukan dengan benar, dilandasi pemahaman yang tepat dan penggunaan kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Menurutnya, masyarakat pulau dan pesisir merupakan faktor penentu kegiatan pengelolaan lingkungan karena mereka memiliki interaksi terbanyak dengan lingkungan pesisir. 

"Sebab bagaimanapun secara tidak langsung, meningkat atau turunnya pengelolaan kawasan konservasi perairan tergantung dari kepedulian masyarakat di pesisir untuk menjaga sumber daya di sekitarnya," katanya.

63.339,32 hektare
Benyamin Lola menambahkan berbagai penelitian menunjukkan kawasan perairan Laut Sawu memiliki potensi biodiversitas tinggi dengan daerah sebaran terumbu karang terindentifikasi mencapai 63.339,32 hektare.

"Provinsi NTT merupakan salah satu wilayah terbaik di Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati terumbu karang yang luar biasa, misalnya kawasan perairan Laut Sawu memiliki potensi biodiversitas yang tinggi dengan daerah sebaran terumbu karang mencapai 63.339,32 ha," katanya.

Dari total keanekaragaman hayati terumbu karang yang luar biasa itu, didalamnya terdapat sekitar 500 jenis karang, mangrove 5.019,53 ha, padang lamun 5.320,62 ha dan estuary 1.769,1 hektare.

Selain itu, tak kurang dari lima jenis penyu dan enam jenis yang ada di dunia, 30 jenis mamalia laut (paus dan lumba-lumba) dengan dua di antaranya termasuk kategori langka yaitu Sperm Whale dan Blue Whale.

"Jenis mamalia ini juga dengan mudah didapat di wilayah ini, dan masih ditambah lagi dengan potensi perikanan pelagis dan demersal yang bersar," katanya.

Namun menurut dia, masih banyak juga terdapat ancaman bagi sumber kekayaan tersebut, berupa destruktif fishing seperti penggunaan bom dan potassium, illegal fishing dan sebagainya.

Menyimak perkembangan media inilah, maka pemerintah provinsi NTT telah menerbitkan regulasi mengenai aspek pengelolaan terumbu karang melalui Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2009.

Perda ini dimaksudkan agar potensi terumbu karang yang dimiliki dapat dijaga dan dikelola demi menunjang taraf hidup masyarakat khususnya yang berada di kawasan pesisir dan bermuara pada penigkatan kesejahteraan masyarakat.

"Untuk mengingatkan bahwa laut memiliki sumber kekayaan yang harus dijaga dan dikelola dengan bijak, untuk kelestarian dan kelanjutan hidup anak dan cucu," katanya.

Begitu pentingnya potensi biodiversitas ini, kata dia sehingga ada setiap tanggal 6 Juni diperingati sebagai Coral Triangle Day," katanya.

Tujuannya untuk menumbuhkan rasa cinta, komitmen dan juga kepedulian untuk menjaga ekosistem terumbu karang sehingga tetap lestari sebagai rumah bagi biota laut sekaligus menopang pengembangan mata pencaharian masyarakat secara berkelanjutan dan lestari.

Dalam kerangka inilah, The Nature Concervancy Savu Sea Development Project bekerja sama dengan mitra terkait yakni Society Indonesian of Evironment (SEIJ) Chapter Nusa Tenggara, Dewan Konservasi Perarian Provinsi NTT dan Biro Humas Setda Provinsi NTT mengadakan kegiatan seperti diskusi dan lainnya.

Kegiatan-legiatan itu sebagai wadah penyebarluasan informasi mengenai pentingnya upaya pelestarian keaneragaman hayati, khususnya terumbu karang yang ada di perairan provinsi NTT kepada masyarakat luas.