KPK Bisa Jemput Paksa Setya Novanto

id KPK

KPK Bisa Jemput Paksa Setya Novanto

Setya Novanto

"Tidak ada yang kebal hukum di negeri ini. Jika Novanto masih mangkir KPK bisa jemput paksa," kata Rudolfus di Kupang, Kamis, (16/11
Kupang (Antara NTT) - Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Rudolfus Rony Tallan SH.MH mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan kewenangan yang dimiliki bisa melakukan jemput paksa terhadap Ketua DPR Setya Novanto, tersangka dalam kasus e-KTP.

"Tidak ada yang kebal hukum di negeri ini. Semua individu siapa saja, sama di depan hukum dan karena itu wajib hukumnya untuk menghormati proses hukum yang ada. Jika Novanto masih mangkir KPK bisa jemput paksa," kata Rudolfus di Kupang, Kamis (16/11),  terkait aksi mangkirnya Novanto atas panggilan KPK.

Menurut dia, segala alasan yang digunakan Ketua Umum Partai Golkar untuk tidak memenuhi panggilan KPK sebagai tersangka, adalah alasan mengada-ada dan sangat dibuat-buat.

Terhadap harus ada izin presiden, itu merupakan alasan tidak masuk akal, yang menunjukan inkonsistensi Novanto sendiri. pasalnya di saat-saat awal kasus ini berporses, Novanto tetap setia mendatangi KPK untuk diperiksa. "Lah sekarang dia (Novanto) minta izin presiden, ini kan aneh. Menujukan inkonsistensinya," katanya.

Sementara terhadap proses uji materil di MK, dosen hukum acara pidana itu mengatakan, itu hanya bisa terjadi jika ada penetapan MK secara kelembagaan. "Jadi sepanjang belum ada penetapan MK terkait upaya uji materil yang dilakukan pihak Novanto maka wajib hukumnya pemanggilan KPK harus dihormati," katanya.

Sedang untuk alasan imunitas, Rudolfus mengatakan, hal itu memang dimiliki oleh setiap pejabat dan bahkan anggota DPR seperti Novanto namun tidak berlaku untuk semua hal. "Kalau korupsi tidak akan ada imunitas," katanya tegas.

Dari semua alasan itu, maka Rudolfus meminta Novanto untuk bisa secara sukarela menghadap untuk diperiksa sebagai saksi. "nanti di tahapan itulah barulah dia (Novanto) punya kesempatan utnuk melakuan pembelaa. Tapi ya, menghadap dululah," katanya.

Semua individu sama di depan hukum tanpa kecuali. Oleh karena itulah, penting bagi semua pihak untuk menghormati hal itu. "Pak Novanto juga harus menghormati hal itu," katanya.

Dalam konteks pendekatan, Rudolfus juga berharap KPK untuk terus melakukan segala cara termasuk melakukan hal-hal persuasif dalam menangani perkara ini.

Hal itu karena kasus hukum yang menjerat wakil rakyat daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur II itu sudah terimbas politik. "Ya, untuk menghindari sejumlah akibat, saya kira KPK harus tetap persuasif agar tidak terjadi bias," katanya.

Dalam konteks penegakan hukum di negara ini, Rudolfus meminta agar semua puhak bisa menghormati langkah yang sedang ditempuh KPK. "Saya katakan sekali lagi ini semata-mata untuk kepentingan penegakan hukum," katanya.

Dia meminta penegakan hukum yang ada di negeri ini harus benar-benar dilakukan tanpa imbas. KPK harus terus diperkuat demi pelaksanaan fungsinya sebagai sebuah lembaga anti rasuah.

Sementara itu, Setya Novanto yang ditanya sikapnya terkait proses tersebut saat melakukan kunjungan kerja di Kota Kupang, Senin (13/11) kemarin tidak memberi respon.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka. Ketua Umum Partai Golkar itu kembali dijerat dalam kasus korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).

Novanto sebelumnya lolos dari status tersangka dalam penetapan sebelumnya, setelah memenangi gugatan praperadilan terhadap KPK.

Pengumuman penetapan Novanto sebagai tersangka itu disampaikan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, dalam jumpa pers di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat (10/11/2017). Dalam kasus ini, Novanto disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat 1 Subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Dalam penetapan tersangka sebelumnya, KPK menduga Novanto terlibat dalam korupsi proyek pengadaan e-KTP. Novanto diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi. Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan.