Pilkada 2018 - Antropolog: Posisi ASN harus sama seperti TNI/Polri

id Neonbasu

Pilkada 2018 - Antropolog: Posisi ASN harus sama seperti TNI/Polri

Antropolog Budaya dari Unwira Kupang Pater Gregor Neonbasu SVD, PhD (ANTARA Foto/dok).

"Saya setuju kalau posisi ASN sama dengan TNI/Polri. Jadi benar-benar netral," kata Pater Gregorius Neonbasu.
Kupang (AntaraNews NTT) - Antropolog budaya dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Pater Gregorius Neonbasu SVD, PhD berpendapat posisi aparatur sipil negara (ASN) dalam pemilu perlu diatur seperti TNI/Polri.

"Saya setuju kalau posisi ASN sama dengan TNI/Polri. Jadi benar-benar netral," kata Pater Gregorius Neonbasu kepada Antara di Kupang, Senin (7/5), terkait posisi ASN dalam pilkada.

Menurut dia, tidak mungkin mengharapkan ASN netral dan tidak memberikan dukungan kepada calon tertentu, apalagi petahana, sebab mereka juga diberi hak untuk memilih.

"Kalau semua sepakat bahwa ASN harus netral, maka sekalian saja dibuatkan aturan sehingga posisi ASN sama dengan TNI/Polri. Mereka juga tidak mempunyai hak memilih," katanya.

Jika pemerintah hanya mengharapkan atau menghimbau agar ASN bisa netral dalam setiap momentum pilkada, maka harapan itu tidak mungkin terwujud karena setiap ASN tetap memiliki hak untuk memilih, katanya.

Padangan berbeda disampaikan pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Johanes Tuba Helan.

Baca juga: Hak memilih ASN tidak bisa dicabut

Ia mengatakan hak memilih aparatur sipil negara (ASN) tidak bisa dicabut karena merupakan implementasi dari hak konstitusional warga negara.

"Netral artinya tidak terlibat sebagai tim pemenangan atau sebagai tim kampanye pasangan calon tertentu. Sedangkan hak memilih merupakan implementasi dari hak konstitusional warga negara," katanya.

Menurut dosen Fakultas Hukum Undana Kupang itu, setiap warga negara, termasuk ASN dan TNI/Polri memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih dan tidak bisa diganggu gugat.

Karena itu, dia justeru menyarankan agar ke depan sebaiknya anggota TNI/Polri juga boleh memilih karena mereka juga warga negara yang memiliki hak konstitusional.

"Kalau ASN tidak memilih justeru mundur. Kalau mau maju, maka perlu desain ulang aturan yang membolehkan TNI/Polri memilih," kata mantan Ketua Ombudsman Perwakilan NTB-NTT ini.

Pandangan hampir sama disampaikan Pengamat otonomi daerah dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Mikhael Tomi Susu yang berpendapat, netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam pilkada tidak perlu diatur secara khusus.

Baca juga: Pengamat: Netralitas ASN tak perlu diatur

Menurut dia, hal yang paling penting adalah lembaga kehormatan seperti Bawaslu, Ombudsman dan lembaga-lembaga independen mengontrol obyektivitas ASN.

Selain meminimalisir ASN menjadi partisan, menindak tegas pelanggaran ASN terhadap kewajiban netralitas tersebut sesuai dengan aturan.

"Jika dibuat regulasi agar ASN dicabut hak memilih maka akan berdampak pada banyak hal lain, seperti linier dengan pencabutan hak memilih akan juga berkonsekuensi pencabutan hak dipilih," katanya.