Jakarta (ANTARA) - Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila. Hal ini memiliki konsekuensi aktual, yaitu semua sisi kehidupan berbangsa perlu diatur oleh undang-undang (UU). Sebagaimana diketahui UU adalah payung hukum tertinggi.
Sebelum ditetapkan sebagai undang-undang, UU akan digodok di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai naskah RUU.
Saat ini salah satu RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2020—2024 adalah RUU tentang Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi (GAAR).
Latar belakang RUU GAAR adalah adanya kebutuhan hukum di masyarakat dan keniscayaan akan solusi hukum yang tepat untuk menjamin rasa keadilan dan sebagai wujud perlindungan negara kepada warga negara. RUU GAAR ini ialah sebagai upaya merevisi UU no.5/2012 tentang Grasi.
Terkait dengan RUU GAAR telah diadakan beberapa kajian ilmiah secara daring (online) yang marak belakangan ini. Kajian di kalangan terbatas ini bertemakan Urgensi pembentukan RUU GAAR.
Bila ditelaah lebih lanjut RUU GAAR telah masuk dalam prolegnas sehingga tema Urgensi Pembentukan RUU GAAR sudah terlewatkan secara substansi. Lagi pula, pada kajian tersebut belum secara mendalam membahas mengenai pengertian amnesti, abolisi, dan rehabilitasi serta sejumlah problematika lain yang melingkupinya. Diksi grasi sudah cukup jelas termaktub pada UU No. 22/2002.
Seharusnya tema kajian daring bergerak satu langkah lebih maju, misalnya temanya mengenai muatan ketentuan turunan dalam hal ini Peraturan Pemerintah (PP) tentang GAAR.
Dalam naskah PP tentang GAAR dapat dituangkan mengenai ruang lingkup, mekanisme, prosedur, kriteria GAAR, dan sebagainya yang belum terakomodasi dalam suatu ketentuan teknis yang eksisting saat ini.
Sedikit menengok ke belakang pada tahun 2002 telah ditetapkan UU No. 22/2002 tentang Grasi dan UU No. 5/2010 tentang Perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
Dengan pengertian grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.
UU Grasi diterbitkan pertama kali pada tahun 2002, kemudian pada tahun 2010 telah mengalami perubahan.
Jika dicermati sebagai suatu tataran UU, proses perubahan UU Grasi ini dapat dikategorikan cepat. Hal ini mengingat pada saat itu terdapat kebutuhan yang mendesak dan penting secara kenegaraan.
Namun, patut disayangkan tidak dibarengi dengan penerbitan ketentuan turunan yang lebih detail. Bahkan, sampai kini belum terdapat satu pun ketentuan turunan dari UU Grasi tersebut.
Selama ini fokus Pemerintah dan DPR masih pada UU Grasi, belum pada aturan di bawahnya. Hal ini dapat dipahami mengingat begitu banyaknya agenda Pemerintah dan DPR dalam merumuskan peraturan pemerintah yang jauh lebih penting dan mendesak untuk kemaslahatan bangsa.
Keberadaan UU Grasi yang masih bersifat deduktif, telah menyisakan banyak pertanyaan, antara lain, jenis tindak pidana atau perkara apa saja yang dapat diberikan grasi; alasan pemberian grasi; mekanisme dan prosedur pemberian grasi.
Akibat tidak adanya aturan turunan yang rigid, pada implementasi pemberian grasi menimbulkan beberapa pertanyaan dari publik. Misalnya, pada 1 dasawarsa lalu, pemberian grasi kepada Corby (WN Australia) dan Peter Grobmann (WN Jerman) yang cukup kontoversi.
Suatu keniscyaan adalah bila UU GAAR telah ditetapkan. Maka, untuk implementasinya perlu dirumuskan suatu PP. Peraturan pemerintah tersebut nantinya juga mengatur pemberian GAAR bagi warga negara asing (WNA), sedikit bercermin pada kasus Corby dan Grobmann.
Di samping itu, pada era ini WNA yang bermukim di Indonesia populasinya makin banyak dengan intensitas aktivitas yang beragam sehingga terbuka kemungkinan untuk melakukan pelanggaran yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang pada akhirnya juga dapat mengajukan permohonan GAAR.
Dengan adanya PP tentang GAAR kelak, yang memuat hal-hal yang penting, detail, eksplisit, dan terang maka dapat meminimalisasi sorotan publik kepada Presiden.
Kausanya, Presiden selalu mengalami sorotan ketika dihadapkan dengan permohonan GAAR, bahkan terkadang menimbulkan polemik. Bila kelak PP GAAR telah ditetapkan, polemik yang mungkin terjadi dapat ditekan.
Sebagaimana diketahui bahwa perihal amnesti, abolisi, dan rehabilitasi belum ada UU yang mengatur secara tegas.
Amnesti dapat diartikan sebagai pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu.
Abolisi adalah penghapusan proses hukum seseorang yang sedang berjalan. Abolisi diberikan kepada terpidana perorangan dan diberikan ketika proses pengadilan sedang atau baru akan berlangsung.
Adapun definisi rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
Oleh karena itu, saat inilah waktu yang paling tepat untuk menggabungkan aturan mengenai amnesti, abolisi, dan rehabilitasi yang tercerai-berai pada beberapa ketentuan dan ditarik ke atas secara bersama dengan grasi menjadi UU GAAR.
Pendefenisian dan pengkategorian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi perlu ditetapkan secara rigid dan jelas.
Hal yang tak kalah penting adalah merumuskan PP yang memuat setumpuk pertanyaan terkait dengan GAAR. Para pemangku kepentingan dan praktisi hukumlah yang lebih kompeten untuk mengkaji dan merumuskannya.
Sekarang adalah era keterbukaan informasi, yang berefek pada partisipasi publik yang makin bermakna dalam perumusan UU dan turunannya.
Agar UU GAAR dan PP GAAR nantinya merupakan produk yang berkualitas, sudah sepatutnya Badan Keahlian (BK) DPR RI dan Pemerintah bersinergi melakukan kajian daring.
Kajian ini bertujuan memperoleh masukkan terkait dengan muatan RUU GAAR dan naskah PP GAAR, baik dari para pemangku kepentingan, para praktisi hukum, maupun dari kalangan akademisi.
Memang ini bukan merupakan pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Namun, Kemenkumham sebagai salah satu pemangku kepentingan telah memulai dengan kegiatan Diskusi Publik Penyusunan Naskah Akademik RUU tentang GAAR di Padang pada medio Mei 2022.
Ini adalah langkah awal yang baik bila dilakukan secara berkesinambungan, terjadwal, dan tuntas demi membuahkan UU GAAR yang berbobot.
Hal lain yang patut ditegaskan juga yaitu sejauh mana pertimbangan Mahkamah Agung (MA) dalam memberikan masukkan kepada Presiden terkait dengan grasi dan rehabilitasi.
Baca juga: Sosok - Ivana, perempuan tangguh di balik kesuksesan Donald Trump
Demikian juga dengan permohonan amnesti dan abolisi, sampai pada tataran mana Presiden memperhatikan pertimbangan DPR.
Pertimbangan MA dan DPR dapat lebih dikukuhkan agar dapat ringankan beban Presiden dalam pemberian GAAR.
Ihwalnya Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, pastinya memiliki setumpuk agenda permasalahan yang harus dituntaskan juga.
Meskipun grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi adalah kewenangan yudikatif yang dimiliki Presiden atau hak prerogatif Presiden, implementasinya tetap mempertimbangkan, antara lain, aspek politik, sosial, dan kemanusiaan demi menorehkan rasa keadilan rakyat.
Baca juga: Mengenal sosok Putri Diana melalui kisah yang lain
Tentu saja yang paling utama ialah atmosfer UUD NRI Tahun 1945 tetap mewarnai keputusan tersebut.
Semoga UU GAAR yang diterbitkan nantinya bermaslahat dan dapat ditetapkan juga implementasinya dalam aturan yang lebih rendah.
*) Fenny Julita,S.Sos.,M.Si, adalah Analis Keimigrasian Ahli Madya, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM RI.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengulas RUU Grasi, Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi serta turunannya
Opini - RUU Grasi, Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi serta turunannya
...Seharusnya tema kajian daring bergerak satu langkah lebih maju, misalnya temanya mengenai muatan ketentuan turunan dalam hal ini Peraturan Pemerintah (PP) tentang GAAR