Tanjungpinang (ANTARA) - Aktivitas perjudian bukan hal baru yang terjadi di tengah masyarakat. Bahkan dalam berbagai kajian ilmiah, aktivitas perjudian merupakan permasalahan klasik. Di lingkungan kepolisian, perjudian ini termasuk dalam penyakit masyarakat alias pekat.
Judi dilarang, namun masih terus ada. Kadang ditutup, dan kemudian buka kembali. Bahkan aktivitasnya terkadang terang-terangan seolah-olah menantang aparat penegak hukum untuk bersikap tegas.
Pihak kepolisian bukan saja bersikap tegas setelah Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo memerintahkan anak buahnya untuk memberantas perjudian seiring dengan berjalannya penanganan kasus Brigadir J. Sejak dahulu, di berbagai provinsi, termasuk di Kepulauan Riau, pihak kepolisian berulang kali menangkap pelaku perjudian. Tuntaskah? Siapapun dapat menilainya lewat jawabsn atas pertanyaan itu.
Aktivitas perjudian sampai sekarang masih ada, bahkan kualitasnya lebih meningkat dengan memanfaatkan aplikasi dari perkembangan teknologi informasi. Aktivitas perjudian itu kemudian dikenal dengan sebutan judi online.
Sementara untuk judi konvensional, seperti gelanggang permainan, sudah tutup setelah Kapolri memerintahkan jajarannya untuk memberantas perjudian dalam bentuk apapun. Dampak dari perintah Kapolri itu dirasakan cukup besar di seluruh Indonesia. Buktinya, setiap hari banyak berita soal penangkapan bandar judi, pelaku perjudian dan pemilik tempat perjudian mewarnai ruang informasi publik.
Spekulasi pun bermunculan atas pertanyaan sampai kapan pemberantasan judi itu akan berlangsung. Ada yang menyebut sikap polisi tersebut mencerminkan penegakan hukum, namun ada juga yang beranggapan bahwa kondisi ini hanya sementara waktu saja. Tentu berbagai persepsi itu hanya dapat terjawab dengan sikap konsisten pihak kepolisian dalam menyelamatkan generasi penerus bangsa dari kejahatan tindak pidana perjudian. Diperlukan penindakan konsisten dan terus menerus oleh petugas kepolisian terhadap perjudian.
Perspektif tradisi
Beberapa permainan judi tidak jarang terkait dengan tradisi yang sudah mendarah daging di masyarakat. Sebut saja, tradisi goncang dadu, adu ayam jago, pacuan kuda, dan adu domba. Bahkan, ada tradisi yang menganggap judi sebagai suatu cara untuk membuang sial.
Di luar tradisi itu, aktivitas perjudian dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja, bahkan dengan peralatan yang murah dan mudah didapat. Contohnya, menebak hasil pertandingan sepak bola dan tinju.
Judi juga bisa dalam bentuk hiburan, seperti Kim, menulis angka di kupon sesuai dengan angka yang dilantunkan penyanyi dalam bentuk lagu tertentu.
Agama melarang aktivitas perjudian, yang tidak saja merugikan diri sendiri dan orang lain. Judi dalam bentuk apapun dan alasan apapun juga dilarang lantaran merusak moral dan mengganggu stabilitas keluarga.
Ajaran agama yang mempengaruhi kehidupan sosial perlahan-lahan berhasil menggeser tradisi judi, namun bukan berarti tidak ada.
Ajaran agama mempengaruhi norma hukum di Indonesia, seperti KUHP. Perjudian akrab di telinga masyarakat dengan sebutan 303. Istilah 303 itu lahir dari KUHP Pasal 303 tentang tindak pidana perjudian. Pasal ini pula yang menjadi dasar untuk penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tindak pidana perjudian di Indonesia.
Selain itu, juga terdapat Pasal 303 bis KUHP dan UU Nomor 7 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Penertiban Perjudian.
Berdasarkan ketentuan pidana itu, pihak kepolisian menangkap pelaku perjudian konvensional dan tradisional.
Kata "Tanpa Izin"
Perjudian secara umum merupakan pertaruhan dengan sengaja. Tentu yang dipertaruhkan tersebut memiliki nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai. Pelaku usaha perjudian dan pemain juga menyadari ada risiko rugi dan harapan menang terhadap permainan, pertandingan, dan perlombaan, yang belum pasti hasilnya.
Sejak aparat kepolisian giat memberantas perjudian, Pasal 303 KUHP Ayat (1) kerap mewarnai pemberitaan. Bunyi Pasal 303 KUHP, yakni diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin.
Substansi dari Pasal 303 dan Pasal 303 bis KUHP dan UU Nomor 7 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 adalah melarang usaha perjudian tanpa izin dan main judi sebagai mata pencarian.
Baca juga: Artikel - Kebijakan PSE bukti penegakan hukum dan kedaulatan digital Indonesia
Kata "tanpa mendapat izin" menjadi persoalan seolah-olah menjadi celah pelaku untuk membuka usaha perjudian setelah mendapatkan izin. Konsekwensi logis dari celah hukum itu adalah penangkapan terhadap pihak pelaku perjudian hanya terhadap yang tidak memiliki izin, sementara yang mendapatkan izin tidak dapat ditangkap.
Pertanyaannya, siapa yang memberi izin. Kepolisian bukanlah institusi yang berwenang menerbitkan suatu izin usaha. Karena itu, izin tersebut tidak dapat berasal dari pihak Kepolisian. Berdasarkan data, sejumlah pelaku usaha gelanggang permainan mendapatkan izin dari instansi yang berwenang pada pemerintahan daerah. Dinas Pariwisata, contohnya, mengeluarkan izin juga gelanggang permainan tersebut.
Baca juga: Artikel - Pasrah ataukah melawan ketika bertemu begal
Berbagai pihak pun mempertanyakan kompetensi dinas tersebut dalam menerbitkan izin. Karena, apakah gelanggang permainan itu termasuk dalam aktivitas kepariwisataan atau tidak.
Dalam perspektif hukum pidana dan juga Fatwa MUI, gelanggang permainan adalah aktivitas perjudian. Karena itu, MUI mengharamkan aktivitas itu.
Baca juga: Artikel - Kerangka hukum Pemilu 2024 tak jauh beda dengan aturan Pemilu 2019
Upaya penegakan hukum dalam pemberantasan perjudian yang dilakukan kepolisian akhir-akhir ini harus disejalankan dengan norma hukum. Penghapusan kata "tanpa mendapat izin" akan memberi kepastian hukum terhadap masyarakat dan juga aparat penegak hukum sesuai Pasal 27 UUD Tahun 1945, yang substansinya adalah penegakan hukum tanpa pandang bulu.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menyoal kata "tanpa izin" pada Pasal 303 KUHP