Kupang (ANTARA) - Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Nusa Tenggara Timur Veronika Ata mengatakan pasal pemberatan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPSK) dapat memberikan perlindungan maksimal bagi perempuan maupun anak yang kerap menjadi korban kekerasan seksual.
"Pasal pemberatan itu adalah Pasal 15 UU TPKS juga sudah bisa diterakan. Ini membuat perlindungan bagi perempuan dan anak lebih maksimal," kata Veronika Ata ketika dihubungi di Kupang, Kamis, (9/3/2023).
Veronika menjelaskan bahwa Pasal 15 UU TPKS telah mengatur secara jelas hukuman pidana bagi pelaku kekerasan seksual ditambah sepertiga jika dilakukan lingkungan keluarga, dilakukan tenaga kesehatan, tenaga medis, pendidik, tenaga kependidikan, pegawai, pengurus, atau petugas pejabat publik, pemberi kerja, atasan, dan sebagainya.
Dengan adanya pasal tersebut, kata dia, keberadaan perempuan dan anak sebagai kalangan yang rentan terhadap praktik kekerasan seksual makin terlindungi, baik ketika berada di rumah, sekolah, maupun tempat kerja.
Ketika UU TPKS diundangkan, kata dia, berbagai elemen masyarakat, terutama korban dan perempuan, sangat gembira menyambut regulasi ini.
Meski demikian, kata dia, berdasarkan pengalaman pendampingan korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh LPA NTT, UU tersebut belum diberlakukan secara optimal dengan alasan belum ada peraturan pelaksana.
"Barangkali sudah diterapkan di wilayah lain di Indonesia. Namun, setahu kami di NTT belum diberlakukan," katanya.
Menurut dia, sebenarnya hanya terdapat beberapa pasal saja yang membutuhkan peraturan pelaksana seperti Pasal 74 tentang pelayanan terpadu, koordinasi nasional dan internasional. Pasal 80 tentang penyelenggaraan pencegahan TPKS, Pasal 84 tentang pencegahan dan koordinasi, serta beberapa pasal terkait lain.
Dengan keberadaan UU TPKS, Veronika berharap berbagai komponen lebih peduli dan peka, terutama aparat penegak hukum khususnya penyidik, agar sepatutnya segera menggunakan UU TPKS ini sebagai dasar hukum untuk memproses pelaku dan perlindungan korban.
"Kita semua harus punya persepsi yang selaras dan komitmen kuat untuk menghentikan TPKS dan upaya melindungi perempuan, anak, disabilitas, dan kelompok rentan lainnya," kata Veronika.
Baca juga: PBB desak Taliban batalkan larangan terhadap hak perempuan
Baca juga: LPA minta polisi usut dugaan TPPO terhadap 17 anak dari Sumba
"Pasal pemberatan itu adalah Pasal 15 UU TPKS juga sudah bisa diterakan. Ini membuat perlindungan bagi perempuan dan anak lebih maksimal," kata Veronika Ata ketika dihubungi di Kupang, Kamis, (9/3/2023).
Veronika menjelaskan bahwa Pasal 15 UU TPKS telah mengatur secara jelas hukuman pidana bagi pelaku kekerasan seksual ditambah sepertiga jika dilakukan lingkungan keluarga, dilakukan tenaga kesehatan, tenaga medis, pendidik, tenaga kependidikan, pegawai, pengurus, atau petugas pejabat publik, pemberi kerja, atasan, dan sebagainya.
Dengan adanya pasal tersebut, kata dia, keberadaan perempuan dan anak sebagai kalangan yang rentan terhadap praktik kekerasan seksual makin terlindungi, baik ketika berada di rumah, sekolah, maupun tempat kerja.
Ketika UU TPKS diundangkan, kata dia, berbagai elemen masyarakat, terutama korban dan perempuan, sangat gembira menyambut regulasi ini.
Meski demikian, kata dia, berdasarkan pengalaman pendampingan korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh LPA NTT, UU tersebut belum diberlakukan secara optimal dengan alasan belum ada peraturan pelaksana.
"Barangkali sudah diterapkan di wilayah lain di Indonesia. Namun, setahu kami di NTT belum diberlakukan," katanya.
Menurut dia, sebenarnya hanya terdapat beberapa pasal saja yang membutuhkan peraturan pelaksana seperti Pasal 74 tentang pelayanan terpadu, koordinasi nasional dan internasional. Pasal 80 tentang penyelenggaraan pencegahan TPKS, Pasal 84 tentang pencegahan dan koordinasi, serta beberapa pasal terkait lain.
Dengan keberadaan UU TPKS, Veronika berharap berbagai komponen lebih peduli dan peka, terutama aparat penegak hukum khususnya penyidik, agar sepatutnya segera menggunakan UU TPKS ini sebagai dasar hukum untuk memproses pelaku dan perlindungan korban.
"Kita semua harus punya persepsi yang selaras dan komitmen kuat untuk menghentikan TPKS dan upaya melindungi perempuan, anak, disabilitas, dan kelompok rentan lainnya," kata Veronika.
Baca juga: PBB desak Taliban batalkan larangan terhadap hak perempuan
Baca juga: LPA minta polisi usut dugaan TPPO terhadap 17 anak dari Sumba