Adonara (ANTARA) - "Selamat Paskah. Minal Aidin Wal Faizin. Masjid ini bukan milik orang Islam dan gereja ini bukan milik orang Katolik, tapi dua bangunan ini adalah milik Lewotana."
Kalimat itu terdengar syahdu bergema di depan dua rumah ibadah yang berdiri kokoh, Masjid Al-Jihad Pepageka dan Kapela Santo Hendrikus Pepageka di Kecamatan Kelubagolit, Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Terdengar suara riuh disambut tepuk tangan meriah membalas seruan mulia itu
Pada hari kedua perayaan Lebaran atau Idul Fitri, Kamis (11/4) sore, perempuan dan laki-laki, tua-muda dari Desa Pepageka menjalankan tradisi turun temurun sejak tahun 1970-an. Setiap hari besar agama, baik Islam maupun Katolik, di samping dua bangunan itu, warga melakukan Wai Umum, sebuah tradisi minum air bersama.
Wai Umum dimulai dari sambutan dan hikmah yang disampaikan oleh pemangku kedua agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, hingga kepala desa. Usai sambutan, muda-mudi Katolik dan Islam mengantar makanan dan minuman untuk disantap seluruh warga.
Setelah makan bersama, warga yang beragama Islam berdiri berjejer di depan kedua bangunan itu. Selanjutnya warga beragama Katolik pun menyalami mereka satu per satu sembari tertawa dan saling meminta maaf.
Wai Umum di depan dua bangunan keagamaan itu bukan hadir tanpa sebab. Ada sejarah penting yang terselip dalam sanubari para orang tua yang telah diturunkan dari waktu ke waktu ke generasi muda.
Wai Umum merupakan tradisi minum air bersama yang dijalankan di Desa Pepageka, Kecamatan Kelubagolit, Adonara, Flores Timur, NTT, Kamis (11/4/2024). Tradisi itu dilakukan pada hari raya keagamaan yang diakhiri dengan acara saling berjabat tangan antar warga yang berbeda agama. (ANTARA/Fransiska Mariana Nuka)
Sejarah awal
Berdasarkan penuturan tokoh masyarakat, Desa Pepageka terdiri dari tiga suku besar yang mendirikan desa, yakni Pepageka, Lewu Lelek, dan Suku Rian' Borot.
Ketiga suku ini bersama belasan suku lain membuka pintu kerukunan agama di desa itu lewat pembangunan Sekolah Dasar Katolik (SDK) Pepageka pada tahun 1956.
Pembangunan sekolah dasar itu diprakarsai oleh seorang misionaris Belanda bernama Pater Hendrikus Van Der Hulst dan tiga warga bernama Muhamad Nur Horan Daen (tokoh adat Desa Pepageka), Ama Ola Masan (tokoh adat Desa Keluwain), dan Ama Mangu Tadon (tokoh adat Desa Adobala).
Muhamad Nur Horan Daen dan Ama Ola Masan merupakan dua orang beragama Islam yang berinisiatif membangun sekolah dasar Katolik di wilayah itu.
Pembangunan sekolah itu menjadi pintu masuk nilai-nilai kerukunan agama di Desa Pepageka.
Selanjutnya, Pater Hendrikus Van Der Hulst mendirikan secara permanen Kapela Santo Mikhael Pepageka pada tahun 1970. Kapela itu pertama kali dibangun darurat, sekitar tahun 1900 dengan dinding terbuat dari bilah bambu, beratap alang-alang, dan berlantai tanah.
Karena umur bangunan sudah terlalu tua, maka pada tahun 1995 kapela itu dibongkar total. Kapela itu dibangun baru dan berganti nama menjadi Kapela Santo Hendrikus Pepageka.
Usai mendirikan kapela, Pater Hendrikus Van Der Hulst bersama tokoh adat, dan tokoh agama Islam dan Katolik membangun Masjid Al Jihad Pepageka pada tahun 1982. Masjid itu dulunya hanya sebuah musala darurat yang dibangun sekitar tahun 1900. Seiring waktu, populasi Muslim di desa itu kian bertambah, sehingga masjid itu dibangun secara permanen.
Sejak dua rumah ibadah berdiri kokoh, tradisi Wai Umum pun mulai dijalankan turun temurun. Acara itu dilaksanakan setiap hari raya besar agama, baik Idul Fitri, Idul Adha, Natal, maupun Paskah.
Pada momen hari raya itu, warga yang merayakan harus berdiri berjejer di depan gereja dan masjid. Selanjutnya warga yang beragama lain menyalami mereka satu per satu.
Bagi masyarakat Desa Pepageka, perbedaan agama bukanlah masalah. Di desa itu, adik dan kakak pada satu garis keturunan atau satu rumah bisa saja memiliki keyakinan yang berbeda.
Beberapa Orang Muda Katolik (OMK) desa itu pernah membawakan Kasidah dalam Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat kecamatan yang dilaksanakan di Desa Pepageka.
Selain itu, beberapa orang muda Islam juga pernah ikut serta menjadi anggota koor dan menyanyi di gereja.
Jika ada acara pentahbisan pastor, semua warga Islam ikut meramaikan acara, baik dari urusan adat hingga acara formal.
Warga agama Katolik pun ikut mengantar sanak saudara yang pergi naik haji, termasuk beramai-ramai menjemputnya sepulang dari Mekah.
Beberapa hal itu telah berjalan secara natural dan tanpa paksaan. Semuanya mengalir normal dalam keseharian warga.
Tiga tungku
Pembangunan kerukunan umat beragama di Desa Pepageka diperkuat oleh tiga tungku atau penyangga, yakni adat istiadat, agama, dan pemerintahan desa. Tiga komponen itu berjalan beriringan dan tak terpisahkan satu sama lain.
Karena berjalan beriringan dan saling menjunjung martabat satu sama lain, maka perbedaan agama dalam satu marga atau garis keturunan tidak menjadi masalah di desa itu.
Warga juga memegang teguh prinsip bahwa dua bangunan gereja itu bukanlah milik dari masing-masing agama, melainkan milik Lewotana (kampung halaman).
Dalam seremonial adat di desa itu, babi tetap menjadi hewan yang dikurbankan dalam ritual.
Selain itu pemerintah desa pun tidak melakukan intervensi berlebihan di luar kewenangan. Pemerintah desa fokus menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pemberian pelayanan publik yang baik, tanpa melihat perbedaan agama.
Oleh karena itu, warga Desa Pepageka meyakini bahwa mereka tidak hanya berdiri sendiri sebagai orang. Dalam satu tubuh, mereka adalah warga negara Indonesia, memiliki agama, dan taat pada adat istiadat. Ketiga hal itu saling mendukung satu sama lain.
Sejak dulu mereka diajarkan agar tidak merusak tatanan tiga tungku itu hanya karena perbedaan agama. Warga meresapi nilai-nilai keharmonisan, bukan sebatas pada perayaan hari besar keagamaan, tapi dimaknai dalam sikap hidup sehari-hari.
Hal itu juga tercermin saat memilih pemimpin daerah, seperti kepala desa. Meski jumlah warga yang beragama Islam sedikit, beberapa periode kepala desa terpilih justru berasal dari warga yang memeluk keyakinan Islam.
Artinya, warga menyadari bahwa agama bukanlah tolok ukur kompetensi seseorang. Warga desa itu memilih pemimpin berdasarkan kemampuannya dalam bekerja.
Pesan kerukunan
Dua rumah ibadah yang berdiri berdampingan, dengan kantor desa di tengah dan rumah adat di bagian depan, tentunya tak sebatas menjadi simbol kerukunan.
Kerukunan antarumat beragama juga bukan diturunkan dari langit. Hal itu telah dimulai dari hal-hal sederhana di sekitar masyarakat, seperti rukun dengan keluarga, rukun dengan tetangga, rukun antarwarga desa, hingga rukun antarwilayah.
Dengan sikap rukun yang dipupuk hari demi hari, warga meyakini masyarakat tidak akan mudah terpecah belah karena agama.
Mereka ingin tradisi Wai Umum dan kehidupan sosial yang berjalan normal tanpa ada tendensi agama menjadi hal positif yang bisa diikuti oleh masyarakat Indonesia di daerah lain.
Bahkan, dalam pesta demokrasi sekali pun, agama tidak boleh menjadi rujukan dalam memilih pemimpin.
Warga meyakini bahwa demokrasi di Indonesia dapat berjalan baik jika perbedaan agama tidak dilihat sebagai masalah.
Baca juga: Artikel - Pesan kerukunan beragama dari Pulau Adonara
Seruan "lakum diinukum wa liyadiin" dalam Surat Al Kafirun yang berarti "Untukmu agamamu dan untukku agamaku" tentunya tidak sebatas seruan simbolis.
Dari Desa Pepageka di bagian tengah Pulau Adonara, masyarakat menyerukan pesan kerukunan itu bagi Indonesia.
Baca juga: Artikel - Kristen Muhammadiyah dan NU Cabang Nasrani
Baca juga: Artikel - Mewujudkan tahun toleransi dan tantangan yang dihadapi
Makna seruan itu pun telah diimplementasikan dalam hidup sehari-hari sejak puluhan tahun silam.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pesan rukun dalam beragama dari Pulau Adonara
Kalimat itu terdengar syahdu bergema di depan dua rumah ibadah yang berdiri kokoh, Masjid Al-Jihad Pepageka dan Kapela Santo Hendrikus Pepageka di Kecamatan Kelubagolit, Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Terdengar suara riuh disambut tepuk tangan meriah membalas seruan mulia itu
Pada hari kedua perayaan Lebaran atau Idul Fitri, Kamis (11/4) sore, perempuan dan laki-laki, tua-muda dari Desa Pepageka menjalankan tradisi turun temurun sejak tahun 1970-an. Setiap hari besar agama, baik Islam maupun Katolik, di samping dua bangunan itu, warga melakukan Wai Umum, sebuah tradisi minum air bersama.
Wai Umum dimulai dari sambutan dan hikmah yang disampaikan oleh pemangku kedua agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, hingga kepala desa. Usai sambutan, muda-mudi Katolik dan Islam mengantar makanan dan minuman untuk disantap seluruh warga.
Setelah makan bersama, warga yang beragama Islam berdiri berjejer di depan kedua bangunan itu. Selanjutnya warga beragama Katolik pun menyalami mereka satu per satu sembari tertawa dan saling meminta maaf.
Wai Umum di depan dua bangunan keagamaan itu bukan hadir tanpa sebab. Ada sejarah penting yang terselip dalam sanubari para orang tua yang telah diturunkan dari waktu ke waktu ke generasi muda.
Sejarah awal
Berdasarkan penuturan tokoh masyarakat, Desa Pepageka terdiri dari tiga suku besar yang mendirikan desa, yakni Pepageka, Lewu Lelek, dan Suku Rian' Borot.
Ketiga suku ini bersama belasan suku lain membuka pintu kerukunan agama di desa itu lewat pembangunan Sekolah Dasar Katolik (SDK) Pepageka pada tahun 1956.
Pembangunan sekolah dasar itu diprakarsai oleh seorang misionaris Belanda bernama Pater Hendrikus Van Der Hulst dan tiga warga bernama Muhamad Nur Horan Daen (tokoh adat Desa Pepageka), Ama Ola Masan (tokoh adat Desa Keluwain), dan Ama Mangu Tadon (tokoh adat Desa Adobala).
Muhamad Nur Horan Daen dan Ama Ola Masan merupakan dua orang beragama Islam yang berinisiatif membangun sekolah dasar Katolik di wilayah itu.
Pembangunan sekolah itu menjadi pintu masuk nilai-nilai kerukunan agama di Desa Pepageka.
Selanjutnya, Pater Hendrikus Van Der Hulst mendirikan secara permanen Kapela Santo Mikhael Pepageka pada tahun 1970. Kapela itu pertama kali dibangun darurat, sekitar tahun 1900 dengan dinding terbuat dari bilah bambu, beratap alang-alang, dan berlantai tanah.
Karena umur bangunan sudah terlalu tua, maka pada tahun 1995 kapela itu dibongkar total. Kapela itu dibangun baru dan berganti nama menjadi Kapela Santo Hendrikus Pepageka.
Usai mendirikan kapela, Pater Hendrikus Van Der Hulst bersama tokoh adat, dan tokoh agama Islam dan Katolik membangun Masjid Al Jihad Pepageka pada tahun 1982. Masjid itu dulunya hanya sebuah musala darurat yang dibangun sekitar tahun 1900. Seiring waktu, populasi Muslim di desa itu kian bertambah, sehingga masjid itu dibangun secara permanen.
Sejak dua rumah ibadah berdiri kokoh, tradisi Wai Umum pun mulai dijalankan turun temurun. Acara itu dilaksanakan setiap hari raya besar agama, baik Idul Fitri, Idul Adha, Natal, maupun Paskah.
Pada momen hari raya itu, warga yang merayakan harus berdiri berjejer di depan gereja dan masjid. Selanjutnya warga yang beragama lain menyalami mereka satu per satu.
Bagi masyarakat Desa Pepageka, perbedaan agama bukanlah masalah. Di desa itu, adik dan kakak pada satu garis keturunan atau satu rumah bisa saja memiliki keyakinan yang berbeda.
Beberapa Orang Muda Katolik (OMK) desa itu pernah membawakan Kasidah dalam Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat kecamatan yang dilaksanakan di Desa Pepageka.
Selain itu, beberapa orang muda Islam juga pernah ikut serta menjadi anggota koor dan menyanyi di gereja.
Jika ada acara pentahbisan pastor, semua warga Islam ikut meramaikan acara, baik dari urusan adat hingga acara formal.
Warga agama Katolik pun ikut mengantar sanak saudara yang pergi naik haji, termasuk beramai-ramai menjemputnya sepulang dari Mekah.
Beberapa hal itu telah berjalan secara natural dan tanpa paksaan. Semuanya mengalir normal dalam keseharian warga.
Tiga tungku
Pembangunan kerukunan umat beragama di Desa Pepageka diperkuat oleh tiga tungku atau penyangga, yakni adat istiadat, agama, dan pemerintahan desa. Tiga komponen itu berjalan beriringan dan tak terpisahkan satu sama lain.
Karena berjalan beriringan dan saling menjunjung martabat satu sama lain, maka perbedaan agama dalam satu marga atau garis keturunan tidak menjadi masalah di desa itu.
Warga juga memegang teguh prinsip bahwa dua bangunan gereja itu bukanlah milik dari masing-masing agama, melainkan milik Lewotana (kampung halaman).
Dalam seremonial adat di desa itu, babi tetap menjadi hewan yang dikurbankan dalam ritual.
Selain itu pemerintah desa pun tidak melakukan intervensi berlebihan di luar kewenangan. Pemerintah desa fokus menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pemberian pelayanan publik yang baik, tanpa melihat perbedaan agama.
Oleh karena itu, warga Desa Pepageka meyakini bahwa mereka tidak hanya berdiri sendiri sebagai orang. Dalam satu tubuh, mereka adalah warga negara Indonesia, memiliki agama, dan taat pada adat istiadat. Ketiga hal itu saling mendukung satu sama lain.
Sejak dulu mereka diajarkan agar tidak merusak tatanan tiga tungku itu hanya karena perbedaan agama. Warga meresapi nilai-nilai keharmonisan, bukan sebatas pada perayaan hari besar keagamaan, tapi dimaknai dalam sikap hidup sehari-hari.
Hal itu juga tercermin saat memilih pemimpin daerah, seperti kepala desa. Meski jumlah warga yang beragama Islam sedikit, beberapa periode kepala desa terpilih justru berasal dari warga yang memeluk keyakinan Islam.
Artinya, warga menyadari bahwa agama bukanlah tolok ukur kompetensi seseorang. Warga desa itu memilih pemimpin berdasarkan kemampuannya dalam bekerja.
Pesan kerukunan
Dua rumah ibadah yang berdiri berdampingan, dengan kantor desa di tengah dan rumah adat di bagian depan, tentunya tak sebatas menjadi simbol kerukunan.
Kerukunan antarumat beragama juga bukan diturunkan dari langit. Hal itu telah dimulai dari hal-hal sederhana di sekitar masyarakat, seperti rukun dengan keluarga, rukun dengan tetangga, rukun antarwarga desa, hingga rukun antarwilayah.
Dengan sikap rukun yang dipupuk hari demi hari, warga meyakini masyarakat tidak akan mudah terpecah belah karena agama.
Mereka ingin tradisi Wai Umum dan kehidupan sosial yang berjalan normal tanpa ada tendensi agama menjadi hal positif yang bisa diikuti oleh masyarakat Indonesia di daerah lain.
Bahkan, dalam pesta demokrasi sekali pun, agama tidak boleh menjadi rujukan dalam memilih pemimpin.
Warga meyakini bahwa demokrasi di Indonesia dapat berjalan baik jika perbedaan agama tidak dilihat sebagai masalah.
Baca juga: Artikel - Pesan kerukunan beragama dari Pulau Adonara
Seruan "lakum diinukum wa liyadiin" dalam Surat Al Kafirun yang berarti "Untukmu agamamu dan untukku agamaku" tentunya tidak sebatas seruan simbolis.
Dari Desa Pepageka di bagian tengah Pulau Adonara, masyarakat menyerukan pesan kerukunan itu bagi Indonesia.
Baca juga: Artikel - Kristen Muhammadiyah dan NU Cabang Nasrani
Baca juga: Artikel - Mewujudkan tahun toleransi dan tantangan yang dihadapi
Makna seruan itu pun telah diimplementasikan dalam hidup sehari-hari sejak puluhan tahun silam.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pesan rukun dalam beragama dari Pulau Adonara