Kupang (ANTARA) - ICRAF Indonesia, lembaga riset agroforestri yang berpusat di Bogor, Jawa Barat, menyatakan saat ini sudah 36 desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT), yang tengah dibina agar tetap eksis di tengah perubahan iklim yang terjadi.
"Di NTT ini dampak perubahan iklim sangat kelihatan sekali, khususnya di wilayah Kabupaten TTS yang menjadi wilayah binaan kami," kata Koordinator ICRAF NTT Yeni Fredik Nomeni di Kupang, Kamis, (3/10).
Hal ini disampaikan di sela acara Ekspose Land4Lives atau #LahanuntukKehidupan yang bertujuan untuk mempromosikan pengelolaan bentang lahan yang berkelanjutan guna meningkatkan ketahanan iklim bagi masyarakat lokal.
Fredik mengatakan dampak perubahan iklim itu seperti kemarau panjang yang berujung pada kekeringan, kemudian banjir serta beberapa perubahan iklim lainnya yang berdampak pada penurunan produksi pangan.
"Daerah pedalaman paling sering terkena dampak dari perubahan iklim ini, karena pemahaman bagaimana cara untuk mengatasi perubahan iklim dan tetap eksis ini tidak ada," ujar dia.
Fredik mengatakan bahwa program yang dimulai pada tahun 2021 itu pada awalnya menyasar 12 desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Namun, kini setelah bekerja sama dengan beberapa lembaga NGO lokal di daerah jumlah desa yang dibina bertambah menjadi 36 desa.
Program Land4lives sendiri dilakukan selama lima tahun yang dimulai dari Maret 2021 hingga Maret 2026.
Di sektor pertanian ICRAF, tidak terjun langsung untuk mengolah lahan pertanian masyarakat, tetapi lebih kepada pembinaan bagaimana memitigasi dampak dari perubahan iklim yang terjadi.
Plt. Asisten Setda NTT Yos Rasi mengapresiasi upaya yang dilakukan oleh ICRAF di NTT khususnya di Kabupaten TTS dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, dia berharap agar apa yang sudah diterapkan di TTS bisa dikembangkan di Kabupaten lain di NTT, agar masyarakat desanya juga bisa paham dan tetap eksis juga di tengah perubahan iklim.
"Kita bicara tentang NTT secara keseluruhan. Jadi apa yang sudah diterapkan di TTS itu nanti bisa diterapkan juga di daerah lain di NTT," ujar dia.
"Sebanyak 12 desa yang sebelumnya dibina itu sebenarnya adalah desa percontohan, karena berhasil maka dilanjutkan lagi dengan desa lainnya sehingga kini seperti saya katakan tadi ada 36 desa totalnya," ujar dia.
Baca juga: Opini - Transisi energi berkeadilan dalam perspektif spiritualitas keagamaan
Baca juga: Kementan sebut tiga program jaga ketahanan pangan saat perubahan iklim
"Di NTT ini dampak perubahan iklim sangat kelihatan sekali, khususnya di wilayah Kabupaten TTS yang menjadi wilayah binaan kami," kata Koordinator ICRAF NTT Yeni Fredik Nomeni di Kupang, Kamis, (3/10).
Hal ini disampaikan di sela acara Ekspose Land4Lives atau #LahanuntukKehidupan yang bertujuan untuk mempromosikan pengelolaan bentang lahan yang berkelanjutan guna meningkatkan ketahanan iklim bagi masyarakat lokal.
Fredik mengatakan dampak perubahan iklim itu seperti kemarau panjang yang berujung pada kekeringan, kemudian banjir serta beberapa perubahan iklim lainnya yang berdampak pada penurunan produksi pangan.
"Daerah pedalaman paling sering terkena dampak dari perubahan iklim ini, karena pemahaman bagaimana cara untuk mengatasi perubahan iklim dan tetap eksis ini tidak ada," ujar dia.
Fredik mengatakan bahwa program yang dimulai pada tahun 2021 itu pada awalnya menyasar 12 desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Namun, kini setelah bekerja sama dengan beberapa lembaga NGO lokal di daerah jumlah desa yang dibina bertambah menjadi 36 desa.
Program Land4lives sendiri dilakukan selama lima tahun yang dimulai dari Maret 2021 hingga Maret 2026.
Di sektor pertanian ICRAF, tidak terjun langsung untuk mengolah lahan pertanian masyarakat, tetapi lebih kepada pembinaan bagaimana memitigasi dampak dari perubahan iklim yang terjadi.
Plt. Asisten Setda NTT Yos Rasi mengapresiasi upaya yang dilakukan oleh ICRAF di NTT khususnya di Kabupaten TTS dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, dia berharap agar apa yang sudah diterapkan di TTS bisa dikembangkan di Kabupaten lain di NTT, agar masyarakat desanya juga bisa paham dan tetap eksis juga di tengah perubahan iklim.
"Kita bicara tentang NTT secara keseluruhan. Jadi apa yang sudah diterapkan di TTS itu nanti bisa diterapkan juga di daerah lain di NTT," ujar dia.
"Sebanyak 12 desa yang sebelumnya dibina itu sebenarnya adalah desa percontohan, karena berhasil maka dilanjutkan lagi dengan desa lainnya sehingga kini seperti saya katakan tadi ada 36 desa totalnya," ujar dia.
Baca juga: Opini - Transisi energi berkeadilan dalam perspektif spiritualitas keagamaan
Baca juga: Kementan sebut tiga program jaga ketahanan pangan saat perubahan iklim