Kupang (ANTARA) - Pengamat hukum tata negara dari Universitas Negeri Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Johanes Tuba Helan MHum menyarankan agar posisi Jaksa Agung sebaiknya diisi oleh kalangan profesional.
"Pendapat saya, Jaksa Agung sebaiknya dari kalangan profesional, bukan dari kader partai politik agar bebas dari pengaruh politik," kata Johanes Tuba Helan dalam percakapannya dengan ANTARA di Kupang, Selasa (6/8).
Dia mengemukakan hal itu, berkaitan dengan posisi jaksa agung yang saat ini menjadi perbincangan di kalangan elite parpol menjelang pembentukan Kabinet Kerja Jokowi-Ma'ruf Amin.
Mantan Kepala Ombudsman Perwakilan NTB-NTT itu menyatakan Jaksa Agung adalah penegak hukum yang independen, sehingga harus berasal dari kalangan profesional hukum.
Dia mengatakan, selama jabatan Jaksa Agung dipegang oleh kader Partai Nasional Demokrat (NasDem) memang tidak bisa dihindari adanya kesan membela kader partai.
"Walaupun tidak tampak secara nyata, tapi saya yakin hal itu terjadi karena didukung oleh partai berarti membela kepentingan partai," kata Tuba Helan dan mengharapkan agar penegakan hukum tidak dicampuradukkan dengan politik. "Jika seorang kader partai diproses hukum, tidak boleh dipolitisasi, karena penegakan hukum harus bebas pengaruh politik," katanya.
Baca juga: Jokowi perlu pertimbangkan putra NTT masuk dalam kabinet kerja
Bukan jabatan politik
Di sisi lain, Johanes Tuba Helan juga menegaskan bahwa posisi Jaksa Agung adalah jabatan karir dan bukan jabatan politik. "Jaksa Agung dan Kapolri adalah jabatan karir, hanya di Indonesia saja yang dijadikan sebagai jabatan politik," katanya.
Politisi dari Partai Nasional Demokrat (NasDem) Teuku Taufiqulhadi sempat menyatakan bahwa Jaksa Agung adalah jabatan politik dan berminat mengambil posisi tersebut.
Sementara Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto merespons keras dan menegaskan bahwa Jaksa Agung bukan jabatan politik dan seharusnya diisi oleh kalangan internal Kejaksaan, bukan dari kader partai.
Johanes Tuba Helan yang juga mantan Kepala Ombudsman Perwakilan NTB-NTT itu mengatakan, hanya di Indonesia, jabatan Jaksa Agung dijadikan sebagai jabatan politik sehingga bisa dijadikan sebagai alat untuk melindungi kepentingan partai.
Menurut teori trias politika, kekuasaan dibagi dalam tiga, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif dan eksekutif adalah jabatan politik, sedangkan kekuasaan yudikatif (Kepolisian, Kejaksaan dan pengadilan) adalah jabatan karir atau profesional yang tidak terkait dengan politik, katanya.
Karena itu, posisi jaksa agung seharusnya diisi oleh orang profesional hukum, yang sama sekali jauh dari adanya intervensi politik, demikian Johanes Tuba Helan.
Baca juga: NTT harapkan ada perwakilannya di Kabinet Kerja Jokowi
"Pendapat saya, Jaksa Agung sebaiknya dari kalangan profesional, bukan dari kader partai politik agar bebas dari pengaruh politik," kata Johanes Tuba Helan dalam percakapannya dengan ANTARA di Kupang, Selasa (6/8).
Dia mengemukakan hal itu, berkaitan dengan posisi jaksa agung yang saat ini menjadi perbincangan di kalangan elite parpol menjelang pembentukan Kabinet Kerja Jokowi-Ma'ruf Amin.
Mantan Kepala Ombudsman Perwakilan NTB-NTT itu menyatakan Jaksa Agung adalah penegak hukum yang independen, sehingga harus berasal dari kalangan profesional hukum.
Dia mengatakan, selama jabatan Jaksa Agung dipegang oleh kader Partai Nasional Demokrat (NasDem) memang tidak bisa dihindari adanya kesan membela kader partai.
"Walaupun tidak tampak secara nyata, tapi saya yakin hal itu terjadi karena didukung oleh partai berarti membela kepentingan partai," kata Tuba Helan dan mengharapkan agar penegakan hukum tidak dicampuradukkan dengan politik. "Jika seorang kader partai diproses hukum, tidak boleh dipolitisasi, karena penegakan hukum harus bebas pengaruh politik," katanya.
Baca juga: Jokowi perlu pertimbangkan putra NTT masuk dalam kabinet kerja
Bukan jabatan politik
Di sisi lain, Johanes Tuba Helan juga menegaskan bahwa posisi Jaksa Agung adalah jabatan karir dan bukan jabatan politik. "Jaksa Agung dan Kapolri adalah jabatan karir, hanya di Indonesia saja yang dijadikan sebagai jabatan politik," katanya.
Politisi dari Partai Nasional Demokrat (NasDem) Teuku Taufiqulhadi sempat menyatakan bahwa Jaksa Agung adalah jabatan politik dan berminat mengambil posisi tersebut.
Sementara Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto merespons keras dan menegaskan bahwa Jaksa Agung bukan jabatan politik dan seharusnya diisi oleh kalangan internal Kejaksaan, bukan dari kader partai.
Johanes Tuba Helan yang juga mantan Kepala Ombudsman Perwakilan NTB-NTT itu mengatakan, hanya di Indonesia, jabatan Jaksa Agung dijadikan sebagai jabatan politik sehingga bisa dijadikan sebagai alat untuk melindungi kepentingan partai.
Menurut teori trias politika, kekuasaan dibagi dalam tiga, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif dan eksekutif adalah jabatan politik, sedangkan kekuasaan yudikatif (Kepolisian, Kejaksaan dan pengadilan) adalah jabatan karir atau profesional yang tidak terkait dengan politik, katanya.
Karena itu, posisi jaksa agung seharusnya diisi oleh orang profesional hukum, yang sama sekali jauh dari adanya intervensi politik, demikian Johanes Tuba Helan.
Baca juga: NTT harapkan ada perwakilannya di Kabinet Kerja Jokowi