Kupang (ANTARA) - "The Montara Talk Force" yang menangani kasus tumpahan minyak Montara di Laut Timor pada 21 Agustus 2009 bertekat terus meneruskan perjuangan untuk menuntut ganti rugi kepada pemerintah Federal Australia di PBB sebesar US$ 15 miliar atau sekitar Rp 209,3 triliun walaupun pemerintah Indonesia diam.
"Kami akan terus berjalan dan berjuang jika pemerintah pusat diamkan kasus Montara ini, " kata Ketua Tim Advokasi Masyarakat Korban Montara, Ferdi Tanoni kepada ANTARA di Kupang, Selasa, (12/5).
Ia mengatakan bahwa tragedi kemanusiaan yang terjadi pada 21 Agustus 2009 yang diakibatkan oleh Australia telah "membunuh" lebih dari 100.000 mata pencaharian warga Nusa Tenggara Timur.
Baca juga: Gugatan kepada Australia soal Montara sudah lama dipersiapkan
Baca juga: Rakyat NTT tuntut Australia 15 miliar dolar AS
Mereka yang merasakan dampak dari tumpahan minyak Montara itu adalah para petani rumput laut, para nelayan, karena muncul berbagai penyakit aneh yang menyerang masyarakat pesisir sampai membawa kematian setelah tercemarnya laut pascaledakan itu.
"Tercemarnya laut di NTT itu juga mengakibatkan hancurnya puluhan ribu hektare terumbu karang di wilayah perairan Laut Timor," tambah dia.
Ia menjelaskan bahwa kasus ini (Montara, red) sudah berjalan hingga masuk tahun ke 11. Pada tahun ke tujuh pemerintah pusat melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman membentuklah apa yang disebut ‘the Montara Task Force’ kemudian disempurnakan lagi pada Agustus 2018 dimana ditetapkannya 5 orang yakni Purbaya Yudha Sadewa,Fred S Lonan,Prof. Hasjim Djalal,Cahyo Muzhar dan Ferdi Tanoni.
Tujuan dari pembentukan "the Montara Task Force" ini adalah untuk mempercepat penyelesaian kasus tumpahan minyak Montara yang jelas-jelas telah mencemari sekitar 90.000 km2 Laut Timor dan sekitar 85 persen dari pencemaran ini berada di Laut Timor Indonesia.
"Selama ini yang saya urus adalah gugatan 'class action' di Pengadilan Federal Australia dan pengacara hanya menggugat dua Kabupaten saja dari 13 Kabupaten/kota. Saya kecewa tapi yah biarlah mereka terus berjalan dan kebetulan pada bulan Desember 2019 kasus ini telah selesai disidangkan dan sekarang masih menunggu putusan Hakim Pengadilan Federal itu," tutur Ferdi.
Kemudian dengan segala daya upaya yang ada, atas nama masyarakat korban Montara di Laut Timor telah mengajukan gugatan melawan Pemerintah Australia terhadap seluruh kerusakan yang ada di 13 Kabupaten/Kota di NTT ke pengadilan Hak-Hak Asasi Manusia di PBB.
Baca juga: YPTB: Australia tidak boleh menghindar dari kasus Montara
Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Australia itu, mengatakan, kasus Montara sebenarnya gampang saja diurai proses penyelesaiannya, jika pemerintah Republik Indonesia bersedia menerapkannya dengan sepenuh hati.
"Kami akan terus berjalan dan berjuang jika pemerintah pusat diamkan kasus Montara ini, " kata Ketua Tim Advokasi Masyarakat Korban Montara, Ferdi Tanoni kepada ANTARA di Kupang, Selasa, (12/5).
Ia mengatakan bahwa tragedi kemanusiaan yang terjadi pada 21 Agustus 2009 yang diakibatkan oleh Australia telah "membunuh" lebih dari 100.000 mata pencaharian warga Nusa Tenggara Timur.
Baca juga: Gugatan kepada Australia soal Montara sudah lama dipersiapkan
Baca juga: Rakyat NTT tuntut Australia 15 miliar dolar AS
Mereka yang merasakan dampak dari tumpahan minyak Montara itu adalah para petani rumput laut, para nelayan, karena muncul berbagai penyakit aneh yang menyerang masyarakat pesisir sampai membawa kematian setelah tercemarnya laut pascaledakan itu.
"Tercemarnya laut di NTT itu juga mengakibatkan hancurnya puluhan ribu hektare terumbu karang di wilayah perairan Laut Timor," tambah dia.
Ia menjelaskan bahwa kasus ini (Montara, red) sudah berjalan hingga masuk tahun ke 11. Pada tahun ke tujuh pemerintah pusat melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman membentuklah apa yang disebut ‘the Montara Task Force’ kemudian disempurnakan lagi pada Agustus 2018 dimana ditetapkannya 5 orang yakni Purbaya Yudha Sadewa,Fred S Lonan,Prof. Hasjim Djalal,Cahyo Muzhar dan Ferdi Tanoni.
Tujuan dari pembentukan "the Montara Task Force" ini adalah untuk mempercepat penyelesaian kasus tumpahan minyak Montara yang jelas-jelas telah mencemari sekitar 90.000 km2 Laut Timor dan sekitar 85 persen dari pencemaran ini berada di Laut Timor Indonesia.
"Selama ini yang saya urus adalah gugatan 'class action' di Pengadilan Federal Australia dan pengacara hanya menggugat dua Kabupaten saja dari 13 Kabupaten/kota. Saya kecewa tapi yah biarlah mereka terus berjalan dan kebetulan pada bulan Desember 2019 kasus ini telah selesai disidangkan dan sekarang masih menunggu putusan Hakim Pengadilan Federal itu," tutur Ferdi.
Kemudian dengan segala daya upaya yang ada, atas nama masyarakat korban Montara di Laut Timor telah mengajukan gugatan melawan Pemerintah Australia terhadap seluruh kerusakan yang ada di 13 Kabupaten/Kota di NTT ke pengadilan Hak-Hak Asasi Manusia di PBB.
Baca juga: YPTB: Australia tidak boleh menghindar dari kasus Montara
Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Australia itu, mengatakan, kasus Montara sebenarnya gampang saja diurai proses penyelesaiannya, jika pemerintah Republik Indonesia bersedia menerapkannya dengan sepenuh hati.