Kupang, 7/6 (Antara) - Anggota Komisi IV DPRD NTT Boni Jebarus mengatakan para investor yang bergerak di sektor energi baru terbarukan (EBT), seperti panas bumi dan sejenisnya, memerlukan dukungan data yang memadai mengenai potensi riil EBT tersebut.
"Kita tidak mungkin menyajikan informasi lisan atau kasat mata kepada investor soal potensi panas bumi, tapi harus ada data-data riil yang dapat dipertanggungjawabkan," kata anggota DPRD NTT dari Fraksi Partai Demokrat itu saat dihubungi Antara di Kupang, Rabu.
Ia mengatakan hal itu terkait target Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam menyediakan kapasitas energi listrik sebesar 7.200 MW yang bersumber dari panas bumi hingga 2025.
Sementara itu, kapasitas panas bumi yang baru tersedia saat ini sebesar 1.700 MW, sehingga perlu mencari dan mengembangkan potensi panas bumi berbagai daerah di Indonesia untuk memenuhi kekurangan sebanyak 5.500 MW.
Menurut anggota dewan dari komisi yang membidangi ESDM itu, wilayah NTT terutama di Pulau Flores dan sekitarnya oleh banyak pihak dikatakan sebagai daerah potensial energi panas bumi karena letak geografisnya memiliki sejumlah deretan gunung berapi.
Ia menyebutkan potensi panas bumi yang tengah dikembangkan di Pulau Flores seperti Mataloko di Kabupaten Ngada dan Ulumbu di Kabupaten Manggarai.
"Namun sejauh ini masih dua daerah itu, masih sedikit. Potensi lainnya memang ada dan kelihatan seperti di Manggarai, namun terpisah-pisah dan tidak diketahui seberapa besar kandungan energinya," katanya.
Terhadap berbagai potensi panas bumi di Pulau Flores yang belum dieksplorasi itu, menurutnya harus didukung dengan data-data yang bisa digunakan sebagai referensi untuk kepentingan investasi.
"Soal potensi ini tidak mungkin kita hanya bilang bahwa di NTT ada atau banyak, tapi harus ada data yang pasti lokasinya di mana saja, berapa besar potensinya, kondisi lingkungan, dan sebagainya," katanya.
Boni menilai persoalan basis data terkait potensi EBT di NTT yang lengkap dan akurat merupakan satu kendala penting yang harus diperhatikan pemerintah setempat untuk memaksimalkan pengembangannya.
Dalam konteks memperkuat basis data potensi itu, ia memandang pentingnya diadakan kerja-kerja survei untuk mengetahui kekuatan potensi-potensi EBT yang dimiliki.
"Soal survei ini juga kita masih lemah, tahun lalu memang ada anggatan untuk survei potensi EBT, namun tahun ini tidak dianggarkan padahal kerja survei membutuhkan dukungan anggaran yang memadai," katanya.
Untuk itu, menurutnya, survei potensi EBT penting dikoordinasikan secara bersama-sama antara dinas terkait baik daerah maupun pusat, serta melibatkan swasta yang hendak berinvestasi.
Lebih lanjut, Boni mengatakan investasi panas bumi perlu didukung pula dengan kesiapan infrastruktur dasar seperti pelabuhan dan jalan, yang memadai guna menunjang mobilisasi peralatan dan lainnya.
Oleh karenanya, katanya, baik kerja survei maupun perbaikan infrastruktur meski sejalan, sehingga ketika survei potensi membuahkan hasil dan sudah ada investor, maka pembangunan bisa berjalan dengan lebih cepat.
Ia mengatakan hal itu terkait target Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam menyediakan kapasitas energi listrik sebesar 7.200 MW yang bersumber dari panas bumi hingga 2025.
Sementara itu, kapasitas panas bumi yang baru tersedia saat ini sebesar 1.700 MW, sehingga perlu mencari dan mengembangkan potensi panas bumi berbagai daerah di Indonesia untuk memenuhi kekurangan sebanyak 5.500 MW.
Menurut anggota dewan dari komisi yang membidangi ESDM itu, wilayah NTT terutama di Pulau Flores dan sekitarnya oleh banyak pihak dikatakan sebagai daerah potensial energi panas bumi karena letak geografisnya memiliki sejumlah deretan gunung berapi.
Ia menyebutkan potensi panas bumi yang tengah dikembangkan di Pulau Flores seperti Mataloko di Kabupaten Ngada dan Ulumbu di Kabupaten Manggarai.
"Namun sejauh ini masih dua daerah itu, masih sedikit. Potensi lainnya memang ada dan kelihatan seperti di Manggarai, namun terpisah-pisah dan tidak diketahui seberapa besar kandungan energinya," katanya.
Terhadap berbagai potensi panas bumi di Pulau Flores yang belum dieksplorasi itu, menurutnya harus didukung dengan data-data yang bisa digunakan sebagai referensi untuk kepentingan investasi.
"Soal potensi ini tidak mungkin kita hanya bilang bahwa di NTT ada atau banyak, tapi harus ada data yang pasti lokasinya di mana saja, berapa besar potensinya, kondisi lingkungan, dan sebagainya," katanya.
Boni menilai persoalan basis data terkait potensi EBT di NTT yang lengkap dan akurat merupakan satu kendala penting yang harus diperhatikan pemerintah setempat untuk memaksimalkan pengembangannya.
Dalam konteks memperkuat basis data potensi itu, ia memandang pentingnya diadakan kerja-kerja survei untuk mengetahui kekuatan potensi-potensi EBT yang dimiliki.
"Soal survei ini juga kita masih lemah, tahun lalu memang ada anggatan untuk survei potensi EBT, namun tahun ini tidak dianggarkan padahal kerja survei membutuhkan dukungan anggaran yang memadai," katanya.
Untuk itu, menurutnya, survei potensi EBT penting dikoordinasikan secara bersama-sama antara dinas terkait baik daerah maupun pusat, serta melibatkan swasta yang hendak berinvestasi.
Lebih lanjut, Boni mengatakan investasi panas bumi perlu didukung pula dengan kesiapan infrastruktur dasar seperti pelabuhan dan jalan, yang memadai guna menunjang mobilisasi peralatan dan lainnya.
Oleh karenanya, katanya, baik kerja survei maupun perbaikan infrastruktur meski sejalan, sehingga ketika survei potensi membuahkan hasil dan sudah ada investor, maka pembangunan bisa berjalan dengan lebih cepat.