Kupang (ANTARA) - Institute for Essential Services Reform (IESR) mengkaji energi baru terbarukan (EBT) di Nusa Tenggara Timur untuk tenaga matahari jika ingin dikembangkan potensinya lebih dari 300an gigawatt (GW).
"Sebenarnya untuk memenuhi semua kebutuhan listrik di NTT itu bisa menggunakan EBT yang ramah lingkungan yang tersebar di seluruh Provinsi NTT," kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa di Kupang, Kamis.
Dia mengatakan, hal ini saat berdiskusi bersama dengan sejumlah jurnalis dari berbagai media di Kota Kupang terkait potensi EBT yang ada di NTT.
Menurut dia, dengan melihat konsumsi listrik di NTT yang secara prosentase masih rendah dibandingkan dengan provinsi lain, maka solusi efektif adalah pemanfaatan EBT yang ada.
Rendahnya prosentase konsumsi listrik ini dikarenakan kondisi ekonomi serta, tidak adanya industri yang bisa menyerap listrik.
"Karena itu pengembangan potensi EBT di NTT ini bisa dibarengi dengan upaya untuk meningkatkan aktivitas ekonomi," ujar dia.
Hal ini bertujuan agar tidak adanya penolakan-penolakan pengembangan EBT, seperti yang terjadi dengan rencana pengembangan Geothermal di Pulau Flores.
Pengembangan EBT di NTT, ujar dia, lebih baik fokus kepada potensi EBT yang pengembangannya tidak menimbulkan banyak kerusakan.
Seperti tenaga matahari, biomassa, serta tenaga air dan beberapa potensi lainnya, yang bisa menunjukkan pengembangan ekonomi bagi masyarakat juga.
Selain itu juga tenaga matahari, biomassa, tenaga angin bisa dimanfaatkan untuk memenuhi permintaan kebutuhan listrik di NTT serta substitusi pembangkit listrik tenaga diesel yang biasanya sangat mahal dan juga subsidinya besar.
"Jadi Kalau ini dilakukan maka, saya yakin di seluruh NTT tidak lagi mengalami kekurangan pasokan listrik dan listriknya akan lebih handal dan harganya lebih terjangkau," katanya.
IESR sendiri, ujar dia, juga sudah melakukan kajian tentang EBT yang ada di NTT, dan di hampir semua pulau di Provinsi berbasis kepulauan itu, ada semua potensinya.