Kupang (Antara NTT) - Ombudsman RI Perwakilan Nusa Tenggara Timur menangani sebanyak 320 laporan pengadun pelayanan publik dari masyarakat setempat yang diterima dari Januari-Juli 2017.
"Laporan pengaduan yang masuk ke kami ini termasuk tertinggi dari seluruh wilayah Indonesia," kata Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTT Beda Daton Darius dalam kegiatan media gathering di Kupang, Jumat.
Ombudsman mencatat, substansi laporan yang paling banyak diaduhkan masyarakat berkaitan dengan pelayanan publik pada bagian Kepolisian sebanyak 54 laporan, pendidikan 33 laporan, administrasi kependudukan 32 laporan, kesehatan 32 laporan, dan pertanahan 30 laporan.
Darius menjelaskan, dari 320 laporan itu yang statusnya sudah selesai ditangani sebanyak 200 laporan, 53 laporan masih menunggu tanggapan terlapor, 18 laporan sementara dalam proses investigasi.
Selain itu, sebanyak 23 laporan tidak dilengkapi data, empat laporan menunggu data tambahan, empat laporan di luar wewenang Ombudsman, dan 18 laporan tidak ditemukan maladministrasi.
Ia mengatakan, dugaan maldministasi yang paling banyak dilaporkan berkaitan dengan penundaan berlarut sebanyak 160 laporan.
"Banyak sekali masyarakat kita mengeluhkan waktu yang lama dalam mendapatkan layanan publik dan mereka tidak diberikan kepastian waktu kapan bisa mendapatkan layanan yang diminta," katanya.
Menurut Darius, meskipun laporan yang diterimanya itu tertinggi dari Perwakilan Ombudsman lainnya di seluruh wilayah Indonesia, namun ia menilai jumlah tersebut masih kecil dibandingkan jumlah penduduk di Provinsi Selaksa Nusa mencapai lebih dari 5 juta jiwa.
"Laporan ini menunjukkan partisipasi masyarakat kita masih kecil sekali dibandingkan kalau kami melakukan kunjungan ke negara lain contohnya Singapura dengan jumlah penduduk 7 juta lebih tapi yang melaporkan itu puluhan ribu orang dalam satu tahun," katanya.
Dalam konteks rendahnya partisipasi itulah, Beda Daton mengajak masyarakat setempat untuk antusias melaporkan adanya berbagai dugaan maladministrasi pelayanan publik yang dialaminya untuk ditangani Ombudsman.
Masyarakat dipersilahkan menyampaikan laporan melalui nomor pengaduan Ombudsman di daerah 0822 7261 1110/0823 4055 6861 dengan format laporan "Nama pelapor*nomor KTP*asal provinsi*isi Laporan".
Ombudsman NTT, lanjut Beda Daton, terus berupaya memperbanyak pigura berisi alamat dan nomor yang saat ini sudah terpasang sebanyak lebih dari 70 buah pada berbagai instansi pelayanan publik secara menyebar di semua kabupaten/kota yang masih terbatas di Pulau Timor.
"Pemasangan pigura itu agar masyarakat mengetahui saluran ke mana dia harus melapor ketika mendapati adanya dugaan pelanggaran pelayanan publik sehingga Ombudsman akan langsung merespon dan diusahakan agar masalahnya bisa diselesaikan kesempatan itu juga," katanya.
Ia mengatakan saat ini masyarakat masih enggak melapor ketika menemukan adanya dugaan maladministrasi ketika mendapatkan pelayanan publik.
"Masyarakat kita masih permisif. Ketika mau memberikan laporan dugaan maldministrasi yang dialaminya mereka masih takut diketahui padahal identitasnya tentu dirahasiakan Ombudsman," katanya.
Laporan dapat disampaikan langsung melalui nomor pengaduan Ombudsman di daerah 0822 7261 1110/0823 4055 6861 dengan format laporan "nama pelapor*nomor KTP*asal provinsi*isi Laporan
Darius menjelaskan dari Januari-Juli 2017 sudah diterima sebanyak 320 laporan sementara pada 2016 lalu sebanyak 508 laporan pengaduan pelayanan publik dan merupakan yang tertinggi di Indonesia.
Namun ia menilai jumlah tersebut masih kecil dibanding jumlah penduduk di Provinsi Selaksa Nusa itu mencapai lebih dari lima juta jiwa.
"Jumlah yang melapor masih kecil sekali, meskipun dalam rapat koordinasi secara nasional daerah lain menilai bahwa orang-orang NTT ini tidak permisif, tapi saya sering mengatakan itu partisipasinya masih rendah sekali," katanya.
"Masyarakat kita masih permisif, contohnya sering kita bayar listrik sekaligus dengan air minum, pajak penerangan jalan dan lainnya tapi ketika banyak lampu jalan tidak menyalah orang-orang kita tidak banyak yang protes," katanya lagi.
Untuk itu, Darius mengimbau masyarakat setempat agar tidak segan-segan melapor apalagi dengan alasan karena takut identitasnya diketahui pihak terlapor karena akan dirahasiakan.
Lebih lanjut ia menjelaskan saat ini mengupayakan komunikasi dengan para kepala daerah agar produk laporan dari Ombudsman yang dipastikan berkualitas dan objektif untuk bisa dipakai.
"Agar kerja produk pengawasan menggunakan uang negara bisa dipakai karena kami pastikan kualitas produk yang dihasilkan sangat objektif, kecil unsur `error`-nya," katanya.
Hasil laporan itu disebutnya dapat digunakan para kepala daerah untuk mengukur pelaksanaan kinerja pelayanan publik pada organisasi perangkat daerah (OPD)nya bekerja dengan baik atau tidak.
Saat ini, katanya, hanya Pemerintah Kabupaten Kupang yang menggunakan produk pengawasan dari Ombudsman untuk memberikan "reward and punishment".
"Kami sudah minta ke Pak Gubernur dan Sekda agar nanti dalam rapat-rapat koordinasi pemerintahan itu kami punya kesempatan memaparkan statistik kinerja pelayanan publik yang diukur dan akan menyerakan kepada kepala daerah secara berkala dan kita periksa sejauh mana dimanfaatkan," ungkapnya.
"Laporan pengaduan yang masuk ke kami ini termasuk tertinggi dari seluruh wilayah Indonesia," kata Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTT Beda Daton Darius dalam kegiatan media gathering di Kupang, Jumat.
Ombudsman mencatat, substansi laporan yang paling banyak diaduhkan masyarakat berkaitan dengan pelayanan publik pada bagian Kepolisian sebanyak 54 laporan, pendidikan 33 laporan, administrasi kependudukan 32 laporan, kesehatan 32 laporan, dan pertanahan 30 laporan.
Darius menjelaskan, dari 320 laporan itu yang statusnya sudah selesai ditangani sebanyak 200 laporan, 53 laporan masih menunggu tanggapan terlapor, 18 laporan sementara dalam proses investigasi.
Selain itu, sebanyak 23 laporan tidak dilengkapi data, empat laporan menunggu data tambahan, empat laporan di luar wewenang Ombudsman, dan 18 laporan tidak ditemukan maladministrasi.
Ia mengatakan, dugaan maldministasi yang paling banyak dilaporkan berkaitan dengan penundaan berlarut sebanyak 160 laporan.
"Banyak sekali masyarakat kita mengeluhkan waktu yang lama dalam mendapatkan layanan publik dan mereka tidak diberikan kepastian waktu kapan bisa mendapatkan layanan yang diminta," katanya.
Menurut Darius, meskipun laporan yang diterimanya itu tertinggi dari Perwakilan Ombudsman lainnya di seluruh wilayah Indonesia, namun ia menilai jumlah tersebut masih kecil dibandingkan jumlah penduduk di Provinsi Selaksa Nusa mencapai lebih dari 5 juta jiwa.
"Laporan ini menunjukkan partisipasi masyarakat kita masih kecil sekali dibandingkan kalau kami melakukan kunjungan ke negara lain contohnya Singapura dengan jumlah penduduk 7 juta lebih tapi yang melaporkan itu puluhan ribu orang dalam satu tahun," katanya.
Dalam konteks rendahnya partisipasi itulah, Beda Daton mengajak masyarakat setempat untuk antusias melaporkan adanya berbagai dugaan maladministrasi pelayanan publik yang dialaminya untuk ditangani Ombudsman.
Masyarakat dipersilahkan menyampaikan laporan melalui nomor pengaduan Ombudsman di daerah 0822 7261 1110/0823 4055 6861 dengan format laporan "Nama pelapor*nomor KTP*asal provinsi*isi Laporan".
Ombudsman NTT, lanjut Beda Daton, terus berupaya memperbanyak pigura berisi alamat dan nomor yang saat ini sudah terpasang sebanyak lebih dari 70 buah pada berbagai instansi pelayanan publik secara menyebar di semua kabupaten/kota yang masih terbatas di Pulau Timor.
"Pemasangan pigura itu agar masyarakat mengetahui saluran ke mana dia harus melapor ketika mendapati adanya dugaan pelanggaran pelayanan publik sehingga Ombudsman akan langsung merespon dan diusahakan agar masalahnya bisa diselesaikan kesempatan itu juga," katanya.
Jangan takut melapor
Ia juga mengimbau masyarakat agar tidak takut melaporkan dugaan pelanggaran adminstrasi (maladministrasi) saat berhadapan dengan urusan pelayanan publik di berbagai instansi pemerintahan.
"Masyarakat jangan takut melapor, karena semakin banyak laporan justru semakin bagus sehingga kita bisa mengetahui seperti apa kualitas pelayanan publik kita di NTT dari waktu ke waktu," katanya.
"Masyarakat jangan takut melapor, karena semakin banyak laporan justru semakin bagus sehingga kita bisa mengetahui seperti apa kualitas pelayanan publik kita di NTT dari waktu ke waktu," katanya.
Ia mengatakan saat ini masyarakat masih enggak melapor ketika menemukan adanya dugaan maladministrasi ketika mendapatkan pelayanan publik.
"Masyarakat kita masih permisif. Ketika mau memberikan laporan dugaan maldministrasi yang dialaminya mereka masih takut diketahui padahal identitasnya tentu dirahasiakan Ombudsman," katanya.
Laporan dapat disampaikan langsung melalui nomor pengaduan Ombudsman di daerah 0822 7261 1110/0823 4055 6861 dengan format laporan "nama pelapor*nomor KTP*asal provinsi*isi Laporan
Darius menjelaskan dari Januari-Juli 2017 sudah diterima sebanyak 320 laporan sementara pada 2016 lalu sebanyak 508 laporan pengaduan pelayanan publik dan merupakan yang tertinggi di Indonesia.
Namun ia menilai jumlah tersebut masih kecil dibanding jumlah penduduk di Provinsi Selaksa Nusa itu mencapai lebih dari lima juta jiwa.
"Jumlah yang melapor masih kecil sekali, meskipun dalam rapat koordinasi secara nasional daerah lain menilai bahwa orang-orang NTT ini tidak permisif, tapi saya sering mengatakan itu partisipasinya masih rendah sekali," katanya.
"Masyarakat kita masih permisif, contohnya sering kita bayar listrik sekaligus dengan air minum, pajak penerangan jalan dan lainnya tapi ketika banyak lampu jalan tidak menyalah orang-orang kita tidak banyak yang protes," katanya lagi.
Untuk itu, Darius mengimbau masyarakat setempat agar tidak segan-segan melapor apalagi dengan alasan karena takut identitasnya diketahui pihak terlapor karena akan dirahasiakan.
Lebih lanjut ia menjelaskan saat ini mengupayakan komunikasi dengan para kepala daerah agar produk laporan dari Ombudsman yang dipastikan berkualitas dan objektif untuk bisa dipakai.
"Agar kerja produk pengawasan menggunakan uang negara bisa dipakai karena kami pastikan kualitas produk yang dihasilkan sangat objektif, kecil unsur `error`-nya," katanya.
Hasil laporan itu disebutnya dapat digunakan para kepala daerah untuk mengukur pelaksanaan kinerja pelayanan publik pada organisasi perangkat daerah (OPD)nya bekerja dengan baik atau tidak.
Saat ini, katanya, hanya Pemerintah Kabupaten Kupang yang menggunakan produk pengawasan dari Ombudsman untuk memberikan "reward and punishment".
"Kami sudah minta ke Pak Gubernur dan Sekda agar nanti dalam rapat-rapat koordinasi pemerintahan itu kami punya kesempatan memaparkan statistik kinerja pelayanan publik yang diukur dan akan menyerakan kepada kepala daerah secara berkala dan kita periksa sejauh mana dimanfaatkan," ungkapnya.