Kupang (ANTARA) - Perwakilan Ombudsman Provinsi Nusa Tenggara Timur menyoroti kualitas pelayanan publik pada tata niaga sapi dari Provinsi NTT ke daerah lain di luar NTT.
“Kami sudah menyampaikan surat resmi kepada Gubernur NTT perihal koordinasi peningkatan pelayanan tata niaga sapi dari NTT,” kata Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi NTT Darius Beda Daton di Kupang, Sabtu.
Dalam surat tersebut Darius menyampaikan bahwa pihaknya sudah melakukan pertemuan dengan Himpunan Pengusaha Peternak Sapi dan Kerbau (HP2SK) NTT dan diperoleh informasi mengenai tata niaga sapi di Provinsi NTT khususnya pada pelayanan pengeluaran ternak sapi.
Beberapa hal yang ditemui yakni permasalahan proporsionalitas pembagian kuota pengeluaran sapi oleh dinas peternakan kabupaten/kota, berupa tidak adanya formula khusus yang digunakan oleh dinas terkait dalam pembagian kuota pengeluaran sapi bagi pengusaha/pemohon.
“Hal ini dapat menimbulkan potensi pemberian imbalan (fee), diskriminasi dan monopoli pengusaha tertentu,” ujar dia.
Disamping itu, juga adanya dugaan jual beli Rekomendasi Pengeluaran Ternak, berupa adanya pemberian Rekomendasi Pengeluaran Ternak oleh dinas kepada pengusaha tertentu yang tidak mempunyai sapi.
Sehingga berdampak bagi pengusaha yang memiliki sapi tidak mendapatkan Rekomendasi Pengeluaran Ternak dari dinas dengan alasan kuota habis atau alasan lain.
Selanjutnya, pemegang Rekomendasi Pengeluaran Ternak yang tidak mempunyai sapi menjual rekomendasinya (kuota) kepada pengusaha lain yang tidak mempunyai sapi.
Masalah yang ketiga adalah kendala memenuhi standar berat hidup sapi bali paling rendah 275 kilogram (kg) per ekor, berupa sulitnya pengusaha sapi di lapangan untuk mendapatkan sapi bali dengan berat hidup paling rendah 275 kg per ekor guna memenuhi ketentuan Pasal 11 huruf a Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor 52 Tahun 2023 tentang Pengendalian terhadap Pemasukan, Pengeluaran, dan Peredaran Ternak, Produk Hewan dan Hasil Ikutannya di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
“Hal tersebut menyebabkan pemohon mengajukan Rekomendasi Pengeluaran Ternak atas sapi dengan berat hidup di bawah 275 kg,” ujar dia.
Selain itu pihaknya juga menemukan hal lain saat pertemuan tersebut.
Oleh karena itu dia mengusulkan kepada Pemprov NTT agar mengkaji kembali pemberlakuan kriteria sapi antar pulau, baik berupa sapi hidup dengan berat paling rendah 275 kg sesuai Peraturan Gubernur NTT Nomor 52 Tahun 2023 tentang Pengendalian terhadap Pemasukan, Pengeluaran, dan Peredaran Ternak, Produk Hewan dan Hasil Ikutannya di Provinsi NTT.
Perubahan kriteria berat sapi dipandang perlu untuk memudahkan peternak menjual sapi dan mencegah adanya biaya tambahan (praktik fee) dalam pengurusan Rekomendasi Pengeluaran Ternak.
Ia juga meminta pemerintah Provinsi NTT agar menyusun dan menetapkan standar pelayanan terkait waktu penerbitan keputusan Gubernur mengenai penetapan Alokasi Pengeluaran Ternak Besar Potong Sapi, Kerbau dan Kuda Asal Provinsi NTT.
Standar waktu tersebut akan menjadi pedoman waktu penyampaian ketersediaan dan kebutuhan alokasi pengeluaran ternak sapi dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi untuk selanjutnya dilakukan penetapan alokasi oleh Gubernur.
Ia pun mengusulkan agar Pemprov NTT berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota terkait pembagian kuota pengeluaran ternak oleh dinas kabupaten/kota kepada pengusaha yang mengajukan permohonan Rekomendasi Pengeluaran Ternak untuk dilakukan melalui kesepakatan yang melibatkan kepala dinas peternakan kota/kabupaten beserta tim teknis di dinas peternakan dan pengusaha/himpunan pengusaha yang terlibat dalam proses tata niaga sapi.