Kupang (Antaranews NTT) - Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni mengungkapkan Indonesia telah diperdaya Australia dalam perjanjian 1972 untuk mengusai Laut Timor dan kekayaan yang terkandung di dalamanya untuk kepentingan nasional Australia.
"Apapun alasannya, perjanjian RI-Australia tahun 1972 harus dibatalkan karena cacat hukum," kata Tanoni mengutip pengakuan Hugh Wyndham, mantan Kepala Biro Hukum Kementerian Luar Negeri Australia kepada wartawan di Kupang, Senin.
Tanoni dalam penjelasannya menyebutkan juga bahwa sebagai konsekuensi logis dari perubahan geopolitik yang sangat signifikan di kawasan Laut Timor dengan lahirnya Timor Leste sebagai sebuah negara baru, maka seluruh perjanjian RI-Australia di Laut Timor haruslah dibatalkan dan dirundingkan kembali secara trilateral bersama Timor Leste.
"Membuat keputusan pada saat ini tentang kejadian di masa lalu penuh dengan kesulitan. Adalah wajar dan seringkali benar untuk melihat kejadian masa lalu dengan perspektif moral dan hukum masa kini," kata Wyndhan sebagaimana dikutip Tanoni.
Namun, Wyndham dalam artikelnya "Revisiting the 1972 seabed boundary negotiations with Indonesia--Meninjau ulang negosiasi batas dasar laut tahun 1972 dengan Indonesia, yang dipublikasikan oleh The Interpreter milik Lowy Institute Australia yang bermarkas di Sydney Australia, juga mengatakan bahwa sangat berisiko untuk menanamkan motivasi kepada aktor di masa lalu seolah-olah mereka diberi tahu oleh fakta atau pemikiran yang baru lahir bertahun-tahun kemudian.
Dalam artikel tertanggal 12 Januari 2018 tersebut, menurut Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Australia itu, Wyndham mengatakan, "Saya tidak bisa mengatakan dengan pasti yang tidak pernah terpikirkan oleh siapa pun bahwa Indonesia pada suatu waktu kedepan berada dalam posisi untuk menyimpulkan perjanjian dengan Australia untuk menutup celah di batas dasar laut bagian selatan yang waktu itu masih Timor Portugis".
"Saya bisa mengatakan bahwa bagaimanapun pemikiran seperti itu tidak ada didalam pembuatan kebijakan,yang diarahkan adalah (benar, dalam pandangan saya) untuk melindungi kepentingan terbaik Australia," katanya.
Wyndham mengakui bahwa negosiasi dengan Indonesia pada tahun 1972 itu menimbulkan masalah yang sulit, karena posisi dalam hukum internasional Australia menyebutkan di komite dasar laut bahwa negeri Kanguru menikmati hak berdaulat di tepi batas kontinentalnya.
Di Laut Timor, batas benua Australia berakhir di Palung Timor dan sebelum perundingan di Jakarta, Australia mempertahankan posisi ini dalam diskusi dengan Indonesia.
Ini juga merupakan posisi awal negosiasi oleh pemimpin delegasi Australia, Bob Ellicott. Tak perlu dikatakan lagi, posisi ini tidak diterima oleh pemimpin delegasi Indonesia, Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja, yang memperdebatkan garis median di Laut Timor.
Ellicott segera menanggapi dengan sebuah saran alternatif, mundur dari titik tengah Palung Timor, dan menurut Wyndham, Indonesia kemudian memiliki sebuah pemerintahan militer dan delegasi Mochtar saat itu penuh dengan perwira militer senior, yang kebanyakan tidak mengenal seluk beluk hukum laut.
Dengan demikian, saat rehat, Mochtar mendatangi Ellicott dan memintanya untuk tidak bergerak begitu cepat. "Pihak Indonesia mengajukan kontra-saran, dan kami meyakinkan pihak Indonesia bahwa kami tidak memiliki informasi mengenai potensi mineral atau minyak dari kedua wilayah tersebut," ujar Wyndham.
Dengan penyesuaian kecil ini, garis yang disarankan oleh Indonesia diterima dan menjadi dasar perjanjian dengan Indonesia (dan membuat sebuah olok-olok atas klaim Mochtar, beberapa tahun kemudian, bahwa Australia telah "membawa Indonesia menjadi binatu" pada tahun 1972.)
Dengan pengakuan terbaru dari Hugh Wyndham ini, Tanoni berpendapat bahwa perjanjian RI-Australia tahun 1972 harus dibatalkan dan dirundingkan kembali secara trilateral bersama Timor Leste, karena Australia secara licik telah memperdaya Indonesia untuk menguasai Laut Timor dan kekayaan yang ada untuk kepentingan nasional Australia.
"Apapun alasannya, perjanjian RI-Australia tahun 1972 harus dibatalkan karena cacat hukum," kata Tanoni mengutip pengakuan Hugh Wyndham, mantan Kepala Biro Hukum Kementerian Luar Negeri Australia kepada wartawan di Kupang, Senin.
Tanoni dalam penjelasannya menyebutkan juga bahwa sebagai konsekuensi logis dari perubahan geopolitik yang sangat signifikan di kawasan Laut Timor dengan lahirnya Timor Leste sebagai sebuah negara baru, maka seluruh perjanjian RI-Australia di Laut Timor haruslah dibatalkan dan dirundingkan kembali secara trilateral bersama Timor Leste.
"Membuat keputusan pada saat ini tentang kejadian di masa lalu penuh dengan kesulitan. Adalah wajar dan seringkali benar untuk melihat kejadian masa lalu dengan perspektif moral dan hukum masa kini," kata Wyndhan sebagaimana dikutip Tanoni.
Namun, Wyndham dalam artikelnya "Revisiting the 1972 seabed boundary negotiations with Indonesia--Meninjau ulang negosiasi batas dasar laut tahun 1972 dengan Indonesia, yang dipublikasikan oleh The Interpreter milik Lowy Institute Australia yang bermarkas di Sydney Australia, juga mengatakan bahwa sangat berisiko untuk menanamkan motivasi kepada aktor di masa lalu seolah-olah mereka diberi tahu oleh fakta atau pemikiran yang baru lahir bertahun-tahun kemudian.
Dalam artikel tertanggal 12 Januari 2018 tersebut, menurut Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Australia itu, Wyndham mengatakan, "Saya tidak bisa mengatakan dengan pasti yang tidak pernah terpikirkan oleh siapa pun bahwa Indonesia pada suatu waktu kedepan berada dalam posisi untuk menyimpulkan perjanjian dengan Australia untuk menutup celah di batas dasar laut bagian selatan yang waktu itu masih Timor Portugis".
"Saya bisa mengatakan bahwa bagaimanapun pemikiran seperti itu tidak ada didalam pembuatan kebijakan,yang diarahkan adalah (benar, dalam pandangan saya) untuk melindungi kepentingan terbaik Australia," katanya.
Wyndham mengakui bahwa negosiasi dengan Indonesia pada tahun 1972 itu menimbulkan masalah yang sulit, karena posisi dalam hukum internasional Australia menyebutkan di komite dasar laut bahwa negeri Kanguru menikmati hak berdaulat di tepi batas kontinentalnya.
Di Laut Timor, batas benua Australia berakhir di Palung Timor dan sebelum perundingan di Jakarta, Australia mempertahankan posisi ini dalam diskusi dengan Indonesia.
Ini juga merupakan posisi awal negosiasi oleh pemimpin delegasi Australia, Bob Ellicott. Tak perlu dikatakan lagi, posisi ini tidak diterima oleh pemimpin delegasi Indonesia, Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja, yang memperdebatkan garis median di Laut Timor.
Ellicott segera menanggapi dengan sebuah saran alternatif, mundur dari titik tengah Palung Timor, dan menurut Wyndham, Indonesia kemudian memiliki sebuah pemerintahan militer dan delegasi Mochtar saat itu penuh dengan perwira militer senior, yang kebanyakan tidak mengenal seluk beluk hukum laut.
Dengan demikian, saat rehat, Mochtar mendatangi Ellicott dan memintanya untuk tidak bergerak begitu cepat. "Pihak Indonesia mengajukan kontra-saran, dan kami meyakinkan pihak Indonesia bahwa kami tidak memiliki informasi mengenai potensi mineral atau minyak dari kedua wilayah tersebut," ujar Wyndham.
Dengan penyesuaian kecil ini, garis yang disarankan oleh Indonesia diterima dan menjadi dasar perjanjian dengan Indonesia (dan membuat sebuah olok-olok atas klaim Mochtar, beberapa tahun kemudian, bahwa Australia telah "membawa Indonesia menjadi binatu" pada tahun 1972.)
Dengan pengakuan terbaru dari Hugh Wyndham ini, Tanoni berpendapat bahwa perjanjian RI-Australia tahun 1972 harus dibatalkan dan dirundingkan kembali secara trilateral bersama Timor Leste, karena Australia secara licik telah memperdaya Indonesia untuk menguasai Laut Timor dan kekayaan yang ada untuk kepentingan nasional Australia.