Pemerhati: Australia seharusnya malu pada orang Timor

id Ferdi

Pemerhati: Australia seharusnya malu pada orang Timor

. Administrator (Wakil Ratu Kerajaan Inggris Raya) untuk Negara bagian Australia Utara John Hardy (kiri) foto bersama Ketua Tim Advokasi rakyat korban pencemaran Laut Timor Ferdi Tanoni di Darwin, Australia Utara. (ANTARA Foto/Laurensius Molan) (ANTARA Foto)

Bangsa Australia seharusnya malu pada orang Timor yang telah merelakan Bandara Penfui Kupang sebagai basis pertahanannya untuk menghadang pasukan Jepang dalam Perang Dunia II.
Kupang (AntaraNews NTT) - Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni mengatakan bangsa Australia seharusnya malu pada orang Timor yang telah merelakan Bandara Penfui Kupang sebagai basis pertahanannya untuk menghadang pasukan Jepang dalam Perang Dunia II.

"Australia masih banyak berhutang budi pada rakyat Nusa Tenggara Timur yang ada di Timor Barat, Rote Ndao dan Sabu yang telah merelakan nyawanya untuk bangsa Australia saat berlangsungnya Perang Timor (Battle of Timor) pada 1941 dalam kancah PD II itu," katanya kepada wartawan di Kupang, Senin (28/5).

Ia menambahkan dalam catatan sejarah Australia tentang "Battle of Timor 1941" disebutkan bahwa pasukan sekutu pimpinan Australia melawan Jepang, tercatat sekitar 30.000-70.000 orang Timor mati sia-sia dalam perang tersebut, dan banyak isteri orang Timor yang diperkosa pada saat itu.

"Ini bukti kesetiaan orang Timor pada Australia, tetapi bangsa Australia tidak pernah merasa malu terhadap orang Timor yang tidak pernah melakukan ganti rugi atas kerugian yang dialami akibat wilayah perairan Laut Timor tercemar minyak mentah," ujarnya.

Hampir 90 persen wilayah perairan Indonesia di Laut Timor tercemar akibat meledaknya anjungan minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009.

Anjungan minyak Montara milik PTTEP asal Thailand serta penyemprotan bubuk kimia dipersant yang sangat berbahaya oleh Otoritas Keselamatan Maritim Australia (AMSA) ikut memperburuk dan merusak ekologi lingkungan serta kesehatan bagi masyarakat pesisir di kepulauan Nusa Tenggara Timur.

"Kondisi yang dihadapi masyarakat Timor Barat saat ini, sama sekali tidak diperdulikan oleh Austarlia, padahal dalam Perang Timor (Battle of Timor), rakyat Timor Barat tidak saja menyerahkan nyawa, tetapi merelakan pula Lapangan Udara El Tari Kupang sebagai zona penyangga untuk menahan laju pasukan Jepang yang akan mengivasi Australia Utara (Darwin) pada saat itu," kata Tanoni.

Kisah James Cook
Australia War Memorial yang terletak di Kupang, Nusa Tenggara Timur merupakan saksi bisu dari "Batle of Timor" atau Perang Timor tahun 1941. (ANTARA Foto/Laurensius Molan)

Ia menambahkan jauh sebelum itu Bapak Bangsa Australia James Cook pada tahun 1770 dengan kapal Endeavour yang sudah robek-robek layarnya dalam pelayaran beberapa bulan dari Papua Guinea, berharap bisa mendapat pertolongan dari masyarakat Timor Barat.

Persiapan makanan pun sudah hampir habis. Anak buah kapal banyak yang menderita sakit karena kurang gizi itu ditolong Raja Sabu Ama Doko Lomi Djara karena pertimbangan kemanusiaan.

Dalam memorinya, kata Tanoni, James Cook menyebut bahwa mereka telah dijamu oleh Raja Sabu dengan makanan serta kaldu yang sangat lesat.

Ketika James Cook hendak mengangkat labuhnya dari Pulau Sabu, Raja Sabu mengisi kapal Endeavour dengan 9 ekor kerbau, 6 ekor domba, 3 ekor babi, 30 pasang unggas, jeruk, kelapa, telur, bawang putih, serta ratusan galon gula cair.

"Banyak catatan sejarah lain, seperti Kapten William Bligh pada 1789, yang menyinggahi Kupang dan mendapatkan pertolongan bahwa berkat pertolongan Tuhan, kami berhasil mengatasi kesulitan dan derita selama pelayaran yang paling berisiko ini," ujarnya.

"Kapten Willian berhasil mendarat dengan selamat di sebuah pelabuhan yang bersahabat, di mana segala kebutuhan dan kenyamanan telah disediakan karena perhatian dan kemurahan para bangsawan di Kupang," tambahnya.

Namun, katanya, pelakuan Pemerintah Australia terhadap orang Timor Barat, Rote Ndao dan Sabu sangat bertolak belakang dengan realitas kemanusiaan yang sedang dihadapi saat ini.

Dimana wilayah Laut Timor yang sangat kaya akan sumber daya alam itu, hampir 85 persen dicaplok secara sepihak oleh Australia untuk menguras kekayaan yang dikandung di Laut Timor.

Sudah begitu ribuan nelayan tradisional Indonesia malah diusir dan ditangkap dan dipenjarakan dengan dalil yang sama sekali tidak berdasar.

Padahal jauh sebelum Australia menjadi sebuah Negara, para nelayan tradisional Indonesia secara turun temurun lebih kurang 500 tahun telah menjadikan kawasan Laut Timor itu sebagai rumah kedua untuk mencari nafkah hidup.

Lebih celaka lagi, ujar Tanoni, pengusiran dan penangkapan Australia terhadap para nelayan tradisional itu dilakukan secara illegal hanya karena perjanjian batas Perairan RI-Australia yang ada di kawasan itu belum sah.

Namun secara sepihak Australia menggunakannya untuk memberangus para nelayan tradisional Indonesia dari Rote, Kupang, Bugis, Jawa dan Bajo hanya untuk menguasai kawasan yang kaya itu.

Selain itu, Australia menutupi kasus pencematan Laut Timor tahun 2009 yang maha dahsyat itu setelah meracuni laut Timor dengan bubuk kimia sangat beracun serta melindungi dan menyembunyikan tiga korporasi pencemar laut Timor agar lari dari tanggungjawabnya.

Lebih dari seratus ribu petani rumput laut yang menyebar di wilayah pesisir kepulauan Nusa Tenggara Timur kehilangan mata pencahaarian, serta diserang penyakit aneh sampai membawa kematian yang diduga kuat akibat racun bubuk kimia yang disemprotkan AMSA untuk menemgelamkan tumpahan minyak ke dasar laut Timor.

Puluhan ribu hektar terumbu karang dan padang lamun hancur akibat dari tragedi petaka tumpahan minyak Montara yang mencemarai Laut Timor. "Dimana letak kepedulian dan rasa kemanusian bangsa Australia terhadap orang Timor atas tragedi ini," kata Tanoni dalam nada tanya.