Rasanya tidak manis dan tidak pula asin atau hambar, tetapi gurih dan renyah. Itulah ciri khas jagung titi, camilan favorit Nusa Tenggara Timur, khususnya masyarakat Flores Timur daratan, Pulau Adonara, Solor, Lembata dan Alor Pantar.
Bagi masyarakat Lamaholot, sebutan khas untuk masyarakat Flores Timur, Lembata dan Alor Pantar, jagung titi adalah makanan pokok yang telah dijadikan sebagai simbol pangan lokal dan menjadi ciri kehidupan masyarakat yang tersebar di pulau-pulau kecil tersebut.
Topografis wilayah Flores Timur dan pulau-pulaunya serta Lembata dan Alor, tampaknya sangat cocok untuk pengembangan tanaman jagung. Sejak zaman dulu, masyarakat Lamaholot sudah mengenal jagung, karena telah menjadikan jagung titi sebagai sumber kehidupan.
Ketika masyarakat di daerah lain sudah mulai beralih pola makannya dengan meninggalkan pangan lokal, jagung titi tampaknya tetap melekat di hati masyarakat Flores Timur, karena hidup dan besar mereka, semuanya berasal dari jagung titi.
Jagung titi lebih pas dikonsumsi saat sedang menikmati kopi pagi atau sore atau saat sedang duduk santai sambil menonton televisi, tetapi ada pula yang disiram dengan air putih dalam wadah sepiring lalu mengonsumsinya.
Agar rasa jagung titinya lebih afdol, orang kemudian mencampurinya dengan kacang tanah goreng. Tapi, bagi masyarakat Alor Pantar, mereka lebih memilih buah kenari sebagai adonannya saat hendak menikmati jagung titi tersebut.
Baca juga: Luas Tanam Jagung Capai 318.000 Hektare
. Proses pengolahan jagung titi menjadi cemilan terkenal di Nusa Tenggara Timur dan seantro nusantara. (ANTARA Foto/dok)
Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya sebagai putra daerah Pulau Adonara di Kabupaten Flores Timur, selalu mengampanyekan pentingnya mengonsumsi jagung titi tersebut saat bertemu dan berdialog dengan masyarakat atau pun di forum-forum resmi.
Di dalam mobil dinas atau mobil pribadi gubernur, Lebu Raya selalu menyiapkan makanan khas tersebut untuk tamu-tamu negara, seperti menteri dan Presiden serta tokoh politik pujaannya Megawati Soekarnoputri.
Frans Lebu Raya yang akan mengakhiri masa jabatan yang kedua sebagai Gubernur NTT pada Juni 2018, hanya mau menunjukkan kepada para tetamunya bahwa setinggi apapun kedudukan seseorang, jangan lupa dengan asal usul, seperti yang dimetamorfosakan dalam sosok jagung titi tersebut.
Untuk mengolah jagung menjadi jagung titi, memang gampang-gampang sulit. Jagung pipilan terlebih dahulu digoreng dalam kuali atau wadah lainnya dalam posisi setengah matang, kemudian diambil dua sampai empat biji kemudian menitinya atau ditumbuk.
Jagung yang dititi dengan batu segenggam tangan di atas lapisan batu berwajah datar, langsung berubah seperti emping dan bisa langsung dikonsumsi pada saat itu. Jagung bisa dititi dalam jumlah banyak, tergantung dari kemampuan sang wanita untuk menitinya.
Baca juga: Areal Tanaman Jagung Terus Meningkat
. Hasil olahan jagung yang dititi kemudian menghasilkan Jagung Titi sebagaimana yang dipasarkan dan menjadi cemilan yang cukup terkenal di Nusa Tenggara Timur. (ANTARA Foto/dok)
Perempuan Lamaholot sangat menentukan nasib sejarah jagung titi ini, karena hanya merekalah yang bisa duduk disamping bara api sambil meniti jagung tersebut dalam keadaan panas. Tak seorang pun tahu awal mula sejarah jagung titi ini dimulai di Bumi Lamaholot.
Tidak diketahui pula dari mana leluhur masyarakat Lamaholot mengadopsi teknologi tersebut untuk membuat jagung titi, namun hanya satu kata yang bisa dipahami bahwa jagung titi ada karena para leluhur telah meletakkan tradisi tersebut kepada anak warisannya.
Dalam perjalanan sejarah, jagung titi bukan hanya memberi citra dan cita rasa sendiri bagi masyarakat Lamaholot, namun ikut menggoda selera kalangan wisatawan yang berkunjung ke Flores Timur, Lembata dan Alor Pantar sebagai kuliner yang mudah dijangkau.
Para wisatawan merasa belum lengkap jika belum mengantongi jagung titi untuk membawa pulang ke daerah asalnya atau negerinya sebagai tanda mata makanan camilan masyarakat Lamaholot. Dari sini, jagung titi mulai mendunia, karena peran para wisatawan asing tersebut.
Secara ekonomi, kata mantan Bupati Flores Timur Simon Hayon, jagung titi diproduksi secara manual atau tradisional, namun tingkat permintaannya cukup tinggi di pasaran dengan takaran harga berkisar antara Rp15.000 - Rp20.000 per wadah.
Seiring perjalanan zaman, Pemerintah Kabupaten Flores Timur juga membantu mesin pembuat emping jagung kepada sejumlah kelompok masyarakat setempat untuk menghidupkan industri rumah tangga. Namun, antara jagung emping dan jagung titi tradisional, rasanya gurihnya tetap saja beda.
Baca juga: Jagung Belum Sejahterakan Petani NTT
. Proses pengolahan jagung titi menjadi cemilan terkenal di Nusa Tenggara Timur dan seantro nusantara. (ANTARA Foto/dok)
Jagung titi dalam bentuk emping maupun masih bersifat tradisional, kemudian dipasarkan ke sejumlah swalayan yang ada di Nusa Tenggara Timur, seperti yang tampak marak di Kupang, Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, saat ini dengan harga bervariasi sesuai bentuk dan ukurannya.
Jagung titi ini sekilas nampak seperti emping melinjo khas Banten. Rasa jagung titi gurih walaupun tidak dibumbuhi namun bertesktur renyah, sehingga jagung titi menjadi camilan favorit di Nusa Tenggara Timur, khususnya bagi masyarakat yang berbudaya Lamaholot.
Tidak mengherankan jika masyarakat Flores Timur perantauan kembali ke kampung halaman, hal pertama dan paling penting dibawa pulang adalah jagung titi atau orang Lamaholot sering menyebutnya "Wata Kenaen". Dan jagung titi, merupakan sebuah ikatan budaya yang tak bisa dipisahkan dengan kehidupan orang Lamaholot.
Karena itu, bagi orang Lamaholot, belum makan jagung titi rasanya belum pas, jika sudah berada di kampung halaman atau mendapat kiriman dari keluarga di kampung halaman, karena bagi orang Lamaholot di perantauan, "Wata Kenaen" bukan sekadar camilan biasa, tetapi memiliki makna kultural, nostalgia dan membawa simbol Lamaholot yang khas.
Dengan mengonsumsi jagung titi, orang Lamaholot seakan-akan diingatkan untuk tidak lupa kampung halaman. Ibarat kata pepatah "Lebih baik hujan batu di negeri sendiri dari pada hujan emas di negeri orang".
Maka, tidak mengherankan jika ada orang Lamaholot yang merantau di Tanah Jawa atau Malaysia tak pulang-pulang bisa jadi karena sudah tidak pernah mencicipi gurihnya jagung titi. Inilah simbol keagungan jagung titi yang tersirat dalam kehidupan orang Lamaholot.
Setiap suku di wilayah Nusantara tentu memiliki dan menyimpan beragam pengalaman panjang mengenai tata kelola pangannya, seperti jagung yang diolah dan ditanam oleh masyarakat Lamaholot.
Baca juga: Gubernur Dorong Masyarakat Tanam Jagung
. Hasil olahan jagung yang dititi kemudian menghasilkan Jagung Titi sebagaimana yang dipasarkan dan menjadi cemilan yang cukup terkenal di Nusa Tenggara Timur. (ANTARA Foto/dok)
Para petani Lamaholot sering mendapat tawaran benih jagung hibrida beserta kisah keunggulannya untuk ditanam, namun mereka tetap menyukai jagung jenis lokal.
Alasannya, biji jagung hibrida kurang bagus untuk diolah menjadi jagung titi, karena mudah hancur saat dipipihkan, berbeda dengan jagung lokal yang bijinya lebih keras sehingga waktu ditumbuk hasilnya masih berbentuk pipih dan melahirkan model jagung titi.
Benih jagung lokal ditanam masyarakat Lamaholot, bukan benih jagung asli daerah setempat, namun karena ketiadaan informasi mengenai asal-usulnya maka dianggap sebagai benih jagung lokal sesuai dengan perkembangan sosial-budayanya.
Donatus Lamablawa, mantan Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Dinas Pertanian Flores Timur mengakui bahwa jagung kretek (berwarna kuning) itu berasal dari daerah Trenggalek, Jawa Timur, dan pertama kali diperkenalkan kepada para petani Flores sekitar tahun 1976.
Dalam pandangan Donatus Lamablawa, masyarakat Lamaholot mempunyai pola makan yang sulit tergantikan, yaitu jagung titi. Jadi teknologi benih apa pun yang diperkenalkan kepada mereka tetap akan kembali ke pola makanan jagung titi tersebut.
Dan, benih jagung tersebut, kata Donatus, rasanya tak bisa dipisahkan dengan keberadaan kaum perempuan, karena orang Lamaholot meninggikan status perempuan karena kehidupan itu bersumber dari perempuan, memberikan kesuburan dan memberikan kehidupan bagi semua orang.
Baca juga: Malaysia Impor Jagung Indonesia
. Proses pengolahan jagung titi menjadi cemilan terkenal di Nusa Tenggara Timur dan seantro nusantara. (ANTARA Foto/dok)
Bagi masyarakat Lamaholot, sebutan khas untuk masyarakat Flores Timur, Lembata dan Alor Pantar, jagung titi adalah makanan pokok yang telah dijadikan sebagai simbol pangan lokal dan menjadi ciri kehidupan masyarakat yang tersebar di pulau-pulau kecil tersebut.
Topografis wilayah Flores Timur dan pulau-pulaunya serta Lembata dan Alor, tampaknya sangat cocok untuk pengembangan tanaman jagung. Sejak zaman dulu, masyarakat Lamaholot sudah mengenal jagung, karena telah menjadikan jagung titi sebagai sumber kehidupan.
Ketika masyarakat di daerah lain sudah mulai beralih pola makannya dengan meninggalkan pangan lokal, jagung titi tampaknya tetap melekat di hati masyarakat Flores Timur, karena hidup dan besar mereka, semuanya berasal dari jagung titi.
Jagung titi lebih pas dikonsumsi saat sedang menikmati kopi pagi atau sore atau saat sedang duduk santai sambil menonton televisi, tetapi ada pula yang disiram dengan air putih dalam wadah sepiring lalu mengonsumsinya.
Agar rasa jagung titinya lebih afdol, orang kemudian mencampurinya dengan kacang tanah goreng. Tapi, bagi masyarakat Alor Pantar, mereka lebih memilih buah kenari sebagai adonannya saat hendak menikmati jagung titi tersebut.
Baca juga: Luas Tanam Jagung Capai 318.000 Hektare
Di dalam mobil dinas atau mobil pribadi gubernur, Lebu Raya selalu menyiapkan makanan khas tersebut untuk tamu-tamu negara, seperti menteri dan Presiden serta tokoh politik pujaannya Megawati Soekarnoputri.
Frans Lebu Raya yang akan mengakhiri masa jabatan yang kedua sebagai Gubernur NTT pada Juni 2018, hanya mau menunjukkan kepada para tetamunya bahwa setinggi apapun kedudukan seseorang, jangan lupa dengan asal usul, seperti yang dimetamorfosakan dalam sosok jagung titi tersebut.
Untuk mengolah jagung menjadi jagung titi, memang gampang-gampang sulit. Jagung pipilan terlebih dahulu digoreng dalam kuali atau wadah lainnya dalam posisi setengah matang, kemudian diambil dua sampai empat biji kemudian menitinya atau ditumbuk.
Jagung yang dititi dengan batu segenggam tangan di atas lapisan batu berwajah datar, langsung berubah seperti emping dan bisa langsung dikonsumsi pada saat itu. Jagung bisa dititi dalam jumlah banyak, tergantung dari kemampuan sang wanita untuk menitinya.
Baca juga: Areal Tanaman Jagung Terus Meningkat
Tidak diketahui pula dari mana leluhur masyarakat Lamaholot mengadopsi teknologi tersebut untuk membuat jagung titi, namun hanya satu kata yang bisa dipahami bahwa jagung titi ada karena para leluhur telah meletakkan tradisi tersebut kepada anak warisannya.
Dalam perjalanan sejarah, jagung titi bukan hanya memberi citra dan cita rasa sendiri bagi masyarakat Lamaholot, namun ikut menggoda selera kalangan wisatawan yang berkunjung ke Flores Timur, Lembata dan Alor Pantar sebagai kuliner yang mudah dijangkau.
Para wisatawan merasa belum lengkap jika belum mengantongi jagung titi untuk membawa pulang ke daerah asalnya atau negerinya sebagai tanda mata makanan camilan masyarakat Lamaholot. Dari sini, jagung titi mulai mendunia, karena peran para wisatawan asing tersebut.
Secara ekonomi, kata mantan Bupati Flores Timur Simon Hayon, jagung titi diproduksi secara manual atau tradisional, namun tingkat permintaannya cukup tinggi di pasaran dengan takaran harga berkisar antara Rp15.000 - Rp20.000 per wadah.
Seiring perjalanan zaman, Pemerintah Kabupaten Flores Timur juga membantu mesin pembuat emping jagung kepada sejumlah kelompok masyarakat setempat untuk menghidupkan industri rumah tangga. Namun, antara jagung emping dan jagung titi tradisional, rasanya gurihnya tetap saja beda.
Baca juga: Jagung Belum Sejahterakan Petani NTT
Jagung titi ini sekilas nampak seperti emping melinjo khas Banten. Rasa jagung titi gurih walaupun tidak dibumbuhi namun bertesktur renyah, sehingga jagung titi menjadi camilan favorit di Nusa Tenggara Timur, khususnya bagi masyarakat yang berbudaya Lamaholot.
Tidak mengherankan jika masyarakat Flores Timur perantauan kembali ke kampung halaman, hal pertama dan paling penting dibawa pulang adalah jagung titi atau orang Lamaholot sering menyebutnya "Wata Kenaen". Dan jagung titi, merupakan sebuah ikatan budaya yang tak bisa dipisahkan dengan kehidupan orang Lamaholot.
Karena itu, bagi orang Lamaholot, belum makan jagung titi rasanya belum pas, jika sudah berada di kampung halaman atau mendapat kiriman dari keluarga di kampung halaman, karena bagi orang Lamaholot di perantauan, "Wata Kenaen" bukan sekadar camilan biasa, tetapi memiliki makna kultural, nostalgia dan membawa simbol Lamaholot yang khas.
Dengan mengonsumsi jagung titi, orang Lamaholot seakan-akan diingatkan untuk tidak lupa kampung halaman. Ibarat kata pepatah "Lebih baik hujan batu di negeri sendiri dari pada hujan emas di negeri orang".
Maka, tidak mengherankan jika ada orang Lamaholot yang merantau di Tanah Jawa atau Malaysia tak pulang-pulang bisa jadi karena sudah tidak pernah mencicipi gurihnya jagung titi. Inilah simbol keagungan jagung titi yang tersirat dalam kehidupan orang Lamaholot.
Setiap suku di wilayah Nusantara tentu memiliki dan menyimpan beragam pengalaman panjang mengenai tata kelola pangannya, seperti jagung yang diolah dan ditanam oleh masyarakat Lamaholot.
Baca juga: Gubernur Dorong Masyarakat Tanam Jagung
Alasannya, biji jagung hibrida kurang bagus untuk diolah menjadi jagung titi, karena mudah hancur saat dipipihkan, berbeda dengan jagung lokal yang bijinya lebih keras sehingga waktu ditumbuk hasilnya masih berbentuk pipih dan melahirkan model jagung titi.
Benih jagung lokal ditanam masyarakat Lamaholot, bukan benih jagung asli daerah setempat, namun karena ketiadaan informasi mengenai asal-usulnya maka dianggap sebagai benih jagung lokal sesuai dengan perkembangan sosial-budayanya.
Donatus Lamablawa, mantan Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Dinas Pertanian Flores Timur mengakui bahwa jagung kretek (berwarna kuning) itu berasal dari daerah Trenggalek, Jawa Timur, dan pertama kali diperkenalkan kepada para petani Flores sekitar tahun 1976.
Dalam pandangan Donatus Lamablawa, masyarakat Lamaholot mempunyai pola makan yang sulit tergantikan, yaitu jagung titi. Jadi teknologi benih apa pun yang diperkenalkan kepada mereka tetap akan kembali ke pola makanan jagung titi tersebut.
Dan, benih jagung tersebut, kata Donatus, rasanya tak bisa dipisahkan dengan keberadaan kaum perempuan, karena orang Lamaholot meninggikan status perempuan karena kehidupan itu bersumber dari perempuan, memberikan kesuburan dan memberikan kehidupan bagi semua orang.
Baca juga: Malaysia Impor Jagung Indonesia