Kupang (AntaraNews NTT) - Kepala Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Nusa Tenggara Timur Darius Beda Daton mengemukakan masyarakat penerima bantuan beras sejahtera (Rastra) di Pulau Pemana, Kabupaten Sikka, Pulau Flores masih dipungut biaya tambahan pula.
"Biaya tambahan yang dipungut berupa ongkos angkut dari titik distribusi pelabuhan ke desa dengan dikenakan biaya tertentu," katanya di Kupang, Kamis (13/9).
Ia mengatakan pungutan tambahan tersebut ditemukan dalam kajian pelayanan publik terkait tata kelola penyaluran bantuan sosial beras sejahtera di Nusa Tenggara Timur yang dilakukan tim Ombudsman NTT beberapa waktu lalu.
Pihaknya melakukan kajian pada lima daerah sebagai sampel di antaranya Kabupaten Sikka, Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Belu, Kabupaten Sumba Timur, dan Kota Kupang.
Darius menjelaskan, sesuai ketentuan penyaluran Rastra, pihak Badan Urusan Logistik (Bulog) di daerah harus mendistribusikannya hingga ke kantor desa tujuan.
"Dalam pedoman umum, distribusi harus sampai ke kantor desa supaya warga tak ada biaya tambahan lagi," katanya.
Baca juga: Ombudsman NTT: Tak ada saluran pengaduan rastra
Baca juga: Ombudsman Temukan Nepotisme Dalam Tata Niaga Sapi
Namun di Sikka, lanjutnya, disepakati bahwa pendistribusian dari Bulog hanya sampai di pelabuhan sehingga warga penerima manfaat harus membayar sendiri ongkos angkut selanjutnya.
"Itu kesepakatan bersama mereka karena kemampuan Bulog hanya sampai di situ. Jumlah pungutan dari kelurahan ke masyarakat tidak disampaikan ke kami, tetapi mereka sepakati bersama untuk biaya tersebut," katanya.
Menurut dia, pungutan tambahan itu semestinya tidak ada karena dalam pedoman umum sudah diatur bahwa warga penerima manfaat tidak boleh mengeluarkan biaya apa pun untuk memperoleh rastra.
"Memang ada kondisi di lapangan seperti itu, terapi pedoman umum menyatakan bahwa bansos rastra harus diantar sampai ke kantor desa sebagai titik distribusinya," katanya.
Darius menambahkan, sejak tahun 2017, pihaknya telah menerima sejumlah pengaduan masyarakat terkait penyaluran subsidi beras berupa ketidaklayakan mutu, keterlambatan penyaluran, ketidaktepatan sasaran penerima bantuan, dan pungutan melebih ketentuan.
Ia berharap melalui kajian tersebut dapat menjadi pedoman bagi para pemangku kepentingan di daerah untuk segera memperbaiki pelayanan publik dalam penyaluran bansos rastra.
Baca juga: Ombudsman Tangani 320 Pengaduan Pelayanan Publik
Baca juga: Ditelusuri Dugaan Pungli di Pelabuhan Tenau
"Biaya tambahan yang dipungut berupa ongkos angkut dari titik distribusi pelabuhan ke desa dengan dikenakan biaya tertentu," katanya di Kupang, Kamis (13/9).
Ia mengatakan pungutan tambahan tersebut ditemukan dalam kajian pelayanan publik terkait tata kelola penyaluran bantuan sosial beras sejahtera di Nusa Tenggara Timur yang dilakukan tim Ombudsman NTT beberapa waktu lalu.
Pihaknya melakukan kajian pada lima daerah sebagai sampel di antaranya Kabupaten Sikka, Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Belu, Kabupaten Sumba Timur, dan Kota Kupang.
Darius menjelaskan, sesuai ketentuan penyaluran Rastra, pihak Badan Urusan Logistik (Bulog) di daerah harus mendistribusikannya hingga ke kantor desa tujuan.
"Dalam pedoman umum, distribusi harus sampai ke kantor desa supaya warga tak ada biaya tambahan lagi," katanya.
Baca juga: Ombudsman NTT: Tak ada saluran pengaduan rastra
Baca juga: Ombudsman Temukan Nepotisme Dalam Tata Niaga Sapi
Namun di Sikka, lanjutnya, disepakati bahwa pendistribusian dari Bulog hanya sampai di pelabuhan sehingga warga penerima manfaat harus membayar sendiri ongkos angkut selanjutnya.
"Itu kesepakatan bersama mereka karena kemampuan Bulog hanya sampai di situ. Jumlah pungutan dari kelurahan ke masyarakat tidak disampaikan ke kami, tetapi mereka sepakati bersama untuk biaya tersebut," katanya.
Menurut dia, pungutan tambahan itu semestinya tidak ada karena dalam pedoman umum sudah diatur bahwa warga penerima manfaat tidak boleh mengeluarkan biaya apa pun untuk memperoleh rastra.
"Memang ada kondisi di lapangan seperti itu, terapi pedoman umum menyatakan bahwa bansos rastra harus diantar sampai ke kantor desa sebagai titik distribusinya," katanya.
Darius menambahkan, sejak tahun 2017, pihaknya telah menerima sejumlah pengaduan masyarakat terkait penyaluran subsidi beras berupa ketidaklayakan mutu, keterlambatan penyaluran, ketidaktepatan sasaran penerima bantuan, dan pungutan melebih ketentuan.
Ia berharap melalui kajian tersebut dapat menjadi pedoman bagi para pemangku kepentingan di daerah untuk segera memperbaiki pelayanan publik dalam penyaluran bansos rastra.
Baca juga: Ombudsman Tangani 320 Pengaduan Pelayanan Publik
Baca juga: Ditelusuri Dugaan Pungli di Pelabuhan Tenau