Tanjung Selor (ANTARA) - Publik di Indonesia, Selasa pagi, 25 Oktober 2022, dihebohkan dengan berita seorang wanita bercadar menerobos Istana Negara dan sempat menodongkan senjata --disebut polisi jenis FN-- kepada Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres).
Meskipun tidak ada serangan mematikan dan wanita itu berhasil diamankan, namun ulah wanita --motif serta identitasnya masih didalami-- membuat heboh media mainstream dan dunia maya.
Penyidik Subdirektorat Keamanan Negara (Subdit Kamneg) pada Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya masih menyelidiki motif dan identitas perempuan bercadar itu.
Terlepas apakah ulah wanita bercadar itu terkait tindakan teroris atau tidak, yang jelas dalam beberapa tahun terakhir belakangan ini ada fenomena baru strategi teroris, yakni pelibatan perempuan muda --milenial dan generasi Z-- dalam paham dan tindakan kekerasan itu.
Sebagian pengamat mengaitkan kecenderungan itu sebagai dampak dari kemajuan teknologi informasi digital atau pesatnya perkembangan dunia maya.
Sering jadi pembanding, antara perkembangan penyebaran Al Qaeda (didirikan oleh jutawan Saudi Osama Bin Laden, awal 1980-an) dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), dideklarasikan oleh Abu Bakar al-Baghdadi di Mosul, Irak, pada 2014).
ISIS lahir pada era kemajuan teknologi informasi digital mengalami kemajuan pesat, sehingga intoleransi, radikalisme dan terorisme yang merupakan virus transnasional begitu cepat menyebar di sejumlah negara ketimbang Al Qaeda.
ISIS memaparkan virus paham kekerasan ke berbagai usia dan jenis kelamin dengan memanfaatkan perubahan dunia maya tanpa sekat
dengan kemajuan digital sangat pesat bersamaan Revolusi Industri 4.0 dimulai pada 2016.
Fenomena pelibatan wanita menjadi teroris di Indonesia kini telah terjadi dimulai sejak beberapa tahun terakhir. Sebut saja, Indonesia tergoncang oleh "teror bom Sibolga", 12 Maret 2019, dari sore hingga Rabu, 13 Maret 2019 dini hari, melibatkan satu keluarga di Jalan Cendrawasih, Pancuran Bambu, Sibolga Sambas, Kota Sibolga, Sumatra Utara.
Dari laporan kepolisian kepada media, berselang beberapa waktu usai kejadian, mengungkapkan terduga teroris Sibolga Husain alias Abu Hamzah sengaja melibatkan wanita untuk menjadi istri sebagai pelaku teror atau ekskutor.
Abu Hamzah melibatkan calon istrinya R, terduga teroris kelompok Tanjung Balai berinisial A. A akhirnya tewas oleh Densus 88 karena melakukan perlawanan saat akan ditangkap. Hamzah juga melibatkan Y alias Khodijah, terduga teroris sebagai calon istri, yang ditangkap di Klaten pada Kamis (14/3/2019).
Sebelumnya, Solimah, Istri Abu Hamzah, telah melakukan bom bunuh diri di rumahnya di Sibolga pada Rabu (13/3/2019) dini hari.
Keterlibatan perempuan dalam kasus terorisme merupakan hal yang baru di Indonesia. Hal itu diakui Peneliti dari Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Solahudin dalam acara bertajuk Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media, di Jakarta, belum lama ini.
Contoh yang diungkapkan tentang jaringan teroris Bekasi, Jawa Barat, dengan pimpinan selnya M. Nur Solihin, dengan melibatkan dua wanita, Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari, yang sudah ditangkap.
Dian Yulia Novi alias Ayatul Nissa binti Asnawi merupakan mantan TKW di Taiwan yang kemudian pulang ke Indonesia dan menikah dengan Nur Solihin untuk dijadikan sebagai calon "pengantin" bom bunuh diri di lingkungan Istana Negara, Jakarta.
Begitu pula Ika Puspitasari --juga mantan TKW di Hong Kong-- direncanakan sebagai "pengantin", namun berhasil ditangkap Densus 88 sebelum melakukan aksinya.
Disebutkan bahwa pemimpin militan ISIS dari Indonesia Bahrun Naim melibatkan wanita karena mulai kurangnya minat aksi jihad kalangan pria.
Hal itu ternyata terungkap dalam percakapan Telegram pada Juni 2016. Bahrun menyebutkan aksi amaliyah di Suriah tidak wajib dilakukan oleh perempuan, namun di Indonesia, perempuan boleh melakukan aksi teror karena laki-lakinya dinilai pengecut.
Pendekatan perekrutan yang dilakukan kelompok teroris terhadap perempuan berbeda dengan laki-laki. Narasi terkait perkawinan, poligami, kawin muda, kesolehan, dan cadar bisa digunakan untuk perempuan.
Kasus lain tentang keterlibatan wanita adalah bom bunuh diri pada gereja di Surabaya, 13 Mei 2018, oleh Puji Kuswanti.
Juga ada kasus Dita Siska dan Siska Nur Azizah yang ditangkap pada 12 Mei 2018 atau dua hari usai kerusuhan di rumah tahanan yang menampung 155 narapidana kasus terorisme tersebut tuntas dipadamkan.
Pada kerusuhan 8 sampai 10 Mei 2018 itu, lima polisi tewas secara tragis di tangan para narapidana terorisme yang sempat menguasai markas Brimob.
Di dunia, ada berbagai istilah yang melibatkan peran perempuan, antara lain "Black Widows" di Chechnya, dan "Black Tiger" di Srilanka.
Wanita rentan terpapar
Mengapa wanita rentan terpapar virus radikalisme dan terorisme? Ada beberapa faktor, antara lain wanita lebih mengutamakan perasaan ketimbang logika. Wanita mudah digiring oleh sang suami menuju paham kekerasan --sebagai embrio terorisme-- dengan membungkus kata setia dan taat dari sudut pandang agama.
Perempuan juga menjadi incaran kelompok teroris karena pria lebih mudah terdeteksi serta jika sudah terpapar, umumnya perempuan cenderung lebih radikal ketimbang pria.
Selain itu, kelompok terorisme, seperti ISIS, kini menggunakan terminologi tentang kesetaraan wanita dengan pria dalam melaksanakan peran sebagai garda terdepan untuk melakukan aksi bom bunuh diri, bahkan melibatkan anaknya.
Faktor-faktor tersebut diakui Presedium Balai Syura Aceh yang juga dikenal sebagai pembela hak-hak wanita di Serambi Mekah itu, yakni Suraiya Kamaruzzaman, saat jadi pembicara dalam kegiatan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Utara di Tarakan, belum lama ini.
Tokoh perempuan penerima Penghargaan N-Peace 2012 itu mengatakan sifat dasar wanita lebih radikal atau memiliki totalitas dalam menjalankan perannya, menyebabkan kini wanita menjadi incaran kelompok teroris untuk menjadi anggota yang militan.
Bahayanya jika seorang wanita (apalagi berstatus istri dan seorang ibu) jika sudah menjadi radikal, maka akan mempengaruhi semua keluarganya untuk ikut menjadi teroris, seperti kasus di Surabaya 2018.
Pendekatan perekrutan yang dilakukan kelompok teroris terhadap perempuan dikaitkan dengan narasi perkawinan, poligami, kawin muda, kesolehan, dan cadar.
Sebelum keberadaan ISIS, wanita di negara-negara Timur Tengah ditempatkan selalu di belakang, namun ISIS berhasil memikat perempuan, yakni dengan menggunakan narasi atau dalil-dalil tentang kesetaraan wanita.
Misalnya, jika jihadis pria diiming-iming 72 bidadari, maka jihadis wanita ditawarkan 40 tiket ke surga.
Karakter masyarakat Indonesia yang komunal sehingga tawaran 40 tiket ke surga sangat menarik. Artinya, seorang ibu bisa memboyong anak, suami, ayah, ibu, mertua dan keluarga dekat ke surga.
Sejak deklarasi pendirian kekhalifahan ISIS pada Juli 2014, terdapat setidaknya 18 kelompok ekstremis yang mendukung ISIS di Indonesia, sebagian anggotanya wanita.
Cegah radikalisme
Karakter wanita yang lebih mendahulukan perasaan ketimbang logika serta secara alami punya ikatan emosional kedekatan dengan keluarga juga menjadi "kelemahan", namun bisa juga menjadi "kekuatan" sebagai agen perdamaian.
Kekuatan wanita itu harus mendapat perhatian dalam melawan radikalisme, sehingga BNPT melalui perpanjangan tangannya di daerah, yakni FKPT terus melibatkan wanita dalam upaya melawan penyebaran virus paham kekerasan itu.
Bidang Perempuan dan Anak FKPT Kaltara terus melibatkan wanita untuk agen perdamaian provinsi yang berbatasan langsung dengan Malaysia itu.
Kehadiran wanita sangat penting dalam melawan radikalisme dan terorisme dengan mengoptimalkan karakter mereka yang bisa lebih radikal dan militan dalam arti positif.
Peran yang diharapkan bagi kaum wanita --khususnya kaum milenial serta generasi Z atau Gen Z-- bisa terlibat aktif dalam memerangi virus radikalisme di dunia maya.
Setiap hari, konten-konten tentang penyebaran virus radikalisme terus memenuhi ruang dunia maya yang faktanya belum berimbang dengan kontra narasi untuk melawan atau memberikan edukasi kepada masyarakat tentang ajaran agama secara benar.
Namun, kondisi itu menjadi sebuah tantangan agar peran perempuan sebagai agen perdamaian kian dioptimalkan.
FKPT Kaltara telah menggelar beberapa giat tentang pelibatan perempuan sebagai agen perdamaian melalui 37 organisasi wanita, antara lain Badan Kontak Majelis Taklim, Gabungan Organisasi Wanita (GOW) sebagai mitra pemerintah, Asyiah (organisasi perempuan Persyarikatan dari Muhammadiyah) dan Forum Alumni Kohati (Korps HMI-Wati, merupakan sebuah lembaga semi otonom yang didirikan oleh Himpunan Mahasiswa Islam/HMI).
Upaya lain memperkuat peran wanita itu adalah melalui trilogi pendidikan, yakni lingkungan sekolah, keluarga dan lingkungan.
Kaum perempuan, sebagai benteng keluarga bisa mendeteksi dini terhadap ancaman terorisme di lingkungan dan komunitas masing-masing.
Perempuan bisa mencegah peluang kelompok teroris merekrut lebih banyak pengikut yang menyasar wanita dan generasi muda, yakni membentengi anak-anaknya dengan ajaran agama yang benar dan nilai-nilai kebangsaan.
Para perempuan dari puluhan organisasi itu diharapkan bisa menjadi agen perdamaian untuk melawan virus radikalisme, baik dalam kehidupan nyata di dalam keluarga dan lingkungan, terlebih di dunia maya.
Baca juga: Artikel - Menanti peran Komando Opsusgab dalam menumpas terorisme
Kaum perempuan yang menjadi agen perdamaian itu diharapkan mampu memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya radikalisme dan terorisme.
Tidak kalah pentingnya adalah pengembangan dakwah berbasis keluarga serta terus membekali dan memperdalam para dai-dai wanita tentang pengetahuan dan ancaman intoleransi, radikalisme dan terorisme.
Faktanya, kondisi sekarang --secara kuantitas dan kualitas-- dai wanita masih sangat terbatas. Pada kegiatan "Penguatan Kompetensi Penceramah Agama" pada Lingkungan Kementerian Agama Kaltara di Tarakan belum lama ini, tercatat hanya ada beberapa penceramah wanita dari sekitar 50 peserta.
Baca juga: Artikel - Mengikis polarisasi jelang Pemilu 2024
Padahal peran wanita begitu strategis dalam mencegah dan melawan penyebaran paham kekerasan ini, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Masalah ini ---keterbatasan dai wanita-- harus menjadi perhatian seluruh kelompok kepentingan untuk segera mencari jalan keluar karena berperan strategis dalam mencegah intoleransi, radikalisme dan terorisme.
Upaya lain yang tak kalah strategis adalah pelibatan seluruh lapisan masyarakat dalam melakukan "perlawanan", khususnya kontra narasi di dunia maya serta memberikan pemahaman agama yang benar serta nilai-nilai kebangsaan dengan memperkuat trilogi pendidikan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Radikalisme pada perempuan, potensi dan pencegahannya
Meskipun tidak ada serangan mematikan dan wanita itu berhasil diamankan, namun ulah wanita --motif serta identitasnya masih didalami-- membuat heboh media mainstream dan dunia maya.
Penyidik Subdirektorat Keamanan Negara (Subdit Kamneg) pada Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya masih menyelidiki motif dan identitas perempuan bercadar itu.
Terlepas apakah ulah wanita bercadar itu terkait tindakan teroris atau tidak, yang jelas dalam beberapa tahun terakhir belakangan ini ada fenomena baru strategi teroris, yakni pelibatan perempuan muda --milenial dan generasi Z-- dalam paham dan tindakan kekerasan itu.
Sebagian pengamat mengaitkan kecenderungan itu sebagai dampak dari kemajuan teknologi informasi digital atau pesatnya perkembangan dunia maya.
Sering jadi pembanding, antara perkembangan penyebaran Al Qaeda (didirikan oleh jutawan Saudi Osama Bin Laden, awal 1980-an) dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), dideklarasikan oleh Abu Bakar al-Baghdadi di Mosul, Irak, pada 2014).
ISIS lahir pada era kemajuan teknologi informasi digital mengalami kemajuan pesat, sehingga intoleransi, radikalisme dan terorisme yang merupakan virus transnasional begitu cepat menyebar di sejumlah negara ketimbang Al Qaeda.
ISIS memaparkan virus paham kekerasan ke berbagai usia dan jenis kelamin dengan memanfaatkan perubahan dunia maya tanpa sekat
dengan kemajuan digital sangat pesat bersamaan Revolusi Industri 4.0 dimulai pada 2016.
Fenomena pelibatan wanita menjadi teroris di Indonesia kini telah terjadi dimulai sejak beberapa tahun terakhir. Sebut saja, Indonesia tergoncang oleh "teror bom Sibolga", 12 Maret 2019, dari sore hingga Rabu, 13 Maret 2019 dini hari, melibatkan satu keluarga di Jalan Cendrawasih, Pancuran Bambu, Sibolga Sambas, Kota Sibolga, Sumatra Utara.
Dari laporan kepolisian kepada media, berselang beberapa waktu usai kejadian, mengungkapkan terduga teroris Sibolga Husain alias Abu Hamzah sengaja melibatkan wanita untuk menjadi istri sebagai pelaku teror atau ekskutor.
Abu Hamzah melibatkan calon istrinya R, terduga teroris kelompok Tanjung Balai berinisial A. A akhirnya tewas oleh Densus 88 karena melakukan perlawanan saat akan ditangkap. Hamzah juga melibatkan Y alias Khodijah, terduga teroris sebagai calon istri, yang ditangkap di Klaten pada Kamis (14/3/2019).
Sebelumnya, Solimah, Istri Abu Hamzah, telah melakukan bom bunuh diri di rumahnya di Sibolga pada Rabu (13/3/2019) dini hari.
Keterlibatan perempuan dalam kasus terorisme merupakan hal yang baru di Indonesia. Hal itu diakui Peneliti dari Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Solahudin dalam acara bertajuk Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media, di Jakarta, belum lama ini.
Contoh yang diungkapkan tentang jaringan teroris Bekasi, Jawa Barat, dengan pimpinan selnya M. Nur Solihin, dengan melibatkan dua wanita, Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari, yang sudah ditangkap.
Dian Yulia Novi alias Ayatul Nissa binti Asnawi merupakan mantan TKW di Taiwan yang kemudian pulang ke Indonesia dan menikah dengan Nur Solihin untuk dijadikan sebagai calon "pengantin" bom bunuh diri di lingkungan Istana Negara, Jakarta.
Begitu pula Ika Puspitasari --juga mantan TKW di Hong Kong-- direncanakan sebagai "pengantin", namun berhasil ditangkap Densus 88 sebelum melakukan aksinya.
Disebutkan bahwa pemimpin militan ISIS dari Indonesia Bahrun Naim melibatkan wanita karena mulai kurangnya minat aksi jihad kalangan pria.
Hal itu ternyata terungkap dalam percakapan Telegram pada Juni 2016. Bahrun menyebutkan aksi amaliyah di Suriah tidak wajib dilakukan oleh perempuan, namun di Indonesia, perempuan boleh melakukan aksi teror karena laki-lakinya dinilai pengecut.
Pendekatan perekrutan yang dilakukan kelompok teroris terhadap perempuan berbeda dengan laki-laki. Narasi terkait perkawinan, poligami, kawin muda, kesolehan, dan cadar bisa digunakan untuk perempuan.
Kasus lain tentang keterlibatan wanita adalah bom bunuh diri pada gereja di Surabaya, 13 Mei 2018, oleh Puji Kuswanti.
Juga ada kasus Dita Siska dan Siska Nur Azizah yang ditangkap pada 12 Mei 2018 atau dua hari usai kerusuhan di rumah tahanan yang menampung 155 narapidana kasus terorisme tersebut tuntas dipadamkan.
Pada kerusuhan 8 sampai 10 Mei 2018 itu, lima polisi tewas secara tragis di tangan para narapidana terorisme yang sempat menguasai markas Brimob.
Di dunia, ada berbagai istilah yang melibatkan peran perempuan, antara lain "Black Widows" di Chechnya, dan "Black Tiger" di Srilanka.
Wanita rentan terpapar
Mengapa wanita rentan terpapar virus radikalisme dan terorisme? Ada beberapa faktor, antara lain wanita lebih mengutamakan perasaan ketimbang logika. Wanita mudah digiring oleh sang suami menuju paham kekerasan --sebagai embrio terorisme-- dengan membungkus kata setia dan taat dari sudut pandang agama.
Perempuan juga menjadi incaran kelompok teroris karena pria lebih mudah terdeteksi serta jika sudah terpapar, umumnya perempuan cenderung lebih radikal ketimbang pria.
Selain itu, kelompok terorisme, seperti ISIS, kini menggunakan terminologi tentang kesetaraan wanita dengan pria dalam melaksanakan peran sebagai garda terdepan untuk melakukan aksi bom bunuh diri, bahkan melibatkan anaknya.
Faktor-faktor tersebut diakui Presedium Balai Syura Aceh yang juga dikenal sebagai pembela hak-hak wanita di Serambi Mekah itu, yakni Suraiya Kamaruzzaman, saat jadi pembicara dalam kegiatan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Utara di Tarakan, belum lama ini.
Tokoh perempuan penerima Penghargaan N-Peace 2012 itu mengatakan sifat dasar wanita lebih radikal atau memiliki totalitas dalam menjalankan perannya, menyebabkan kini wanita menjadi incaran kelompok teroris untuk menjadi anggota yang militan.
Bahayanya jika seorang wanita (apalagi berstatus istri dan seorang ibu) jika sudah menjadi radikal, maka akan mempengaruhi semua keluarganya untuk ikut menjadi teroris, seperti kasus di Surabaya 2018.
Pendekatan perekrutan yang dilakukan kelompok teroris terhadap perempuan dikaitkan dengan narasi perkawinan, poligami, kawin muda, kesolehan, dan cadar.
Sebelum keberadaan ISIS, wanita di negara-negara Timur Tengah ditempatkan selalu di belakang, namun ISIS berhasil memikat perempuan, yakni dengan menggunakan narasi atau dalil-dalil tentang kesetaraan wanita.
Misalnya, jika jihadis pria diiming-iming 72 bidadari, maka jihadis wanita ditawarkan 40 tiket ke surga.
Karakter masyarakat Indonesia yang komunal sehingga tawaran 40 tiket ke surga sangat menarik. Artinya, seorang ibu bisa memboyong anak, suami, ayah, ibu, mertua dan keluarga dekat ke surga.
Sejak deklarasi pendirian kekhalifahan ISIS pada Juli 2014, terdapat setidaknya 18 kelompok ekstremis yang mendukung ISIS di Indonesia, sebagian anggotanya wanita.
Cegah radikalisme
Karakter wanita yang lebih mendahulukan perasaan ketimbang logika serta secara alami punya ikatan emosional kedekatan dengan keluarga juga menjadi "kelemahan", namun bisa juga menjadi "kekuatan" sebagai agen perdamaian.
Kekuatan wanita itu harus mendapat perhatian dalam melawan radikalisme, sehingga BNPT melalui perpanjangan tangannya di daerah, yakni FKPT terus melibatkan wanita dalam upaya melawan penyebaran virus paham kekerasan itu.
Bidang Perempuan dan Anak FKPT Kaltara terus melibatkan wanita untuk agen perdamaian provinsi yang berbatasan langsung dengan Malaysia itu.
Kehadiran wanita sangat penting dalam melawan radikalisme dan terorisme dengan mengoptimalkan karakter mereka yang bisa lebih radikal dan militan dalam arti positif.
Peran yang diharapkan bagi kaum wanita --khususnya kaum milenial serta generasi Z atau Gen Z-- bisa terlibat aktif dalam memerangi virus radikalisme di dunia maya.
Setiap hari, konten-konten tentang penyebaran virus radikalisme terus memenuhi ruang dunia maya yang faktanya belum berimbang dengan kontra narasi untuk melawan atau memberikan edukasi kepada masyarakat tentang ajaran agama secara benar.
Namun, kondisi itu menjadi sebuah tantangan agar peran perempuan sebagai agen perdamaian kian dioptimalkan.
FKPT Kaltara telah menggelar beberapa giat tentang pelibatan perempuan sebagai agen perdamaian melalui 37 organisasi wanita, antara lain Badan Kontak Majelis Taklim, Gabungan Organisasi Wanita (GOW) sebagai mitra pemerintah, Asyiah (organisasi perempuan Persyarikatan dari Muhammadiyah) dan Forum Alumni Kohati (Korps HMI-Wati, merupakan sebuah lembaga semi otonom yang didirikan oleh Himpunan Mahasiswa Islam/HMI).
Upaya lain memperkuat peran wanita itu adalah melalui trilogi pendidikan, yakni lingkungan sekolah, keluarga dan lingkungan.
Kaum perempuan, sebagai benteng keluarga bisa mendeteksi dini terhadap ancaman terorisme di lingkungan dan komunitas masing-masing.
Perempuan bisa mencegah peluang kelompok teroris merekrut lebih banyak pengikut yang menyasar wanita dan generasi muda, yakni membentengi anak-anaknya dengan ajaran agama yang benar dan nilai-nilai kebangsaan.
Para perempuan dari puluhan organisasi itu diharapkan bisa menjadi agen perdamaian untuk melawan virus radikalisme, baik dalam kehidupan nyata di dalam keluarga dan lingkungan, terlebih di dunia maya.
Baca juga: Artikel - Menanti peran Komando Opsusgab dalam menumpas terorisme
Kaum perempuan yang menjadi agen perdamaian itu diharapkan mampu memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya radikalisme dan terorisme.
Tidak kalah pentingnya adalah pengembangan dakwah berbasis keluarga serta terus membekali dan memperdalam para dai-dai wanita tentang pengetahuan dan ancaman intoleransi, radikalisme dan terorisme.
Faktanya, kondisi sekarang --secara kuantitas dan kualitas-- dai wanita masih sangat terbatas. Pada kegiatan "Penguatan Kompetensi Penceramah Agama" pada Lingkungan Kementerian Agama Kaltara di Tarakan belum lama ini, tercatat hanya ada beberapa penceramah wanita dari sekitar 50 peserta.
Baca juga: Artikel - Mengikis polarisasi jelang Pemilu 2024
Padahal peran wanita begitu strategis dalam mencegah dan melawan penyebaran paham kekerasan ini, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Masalah ini ---keterbatasan dai wanita-- harus menjadi perhatian seluruh kelompok kepentingan untuk segera mencari jalan keluar karena berperan strategis dalam mencegah intoleransi, radikalisme dan terorisme.
Upaya lain yang tak kalah strategis adalah pelibatan seluruh lapisan masyarakat dalam melakukan "perlawanan", khususnya kontra narasi di dunia maya serta memberikan pemahaman agama yang benar serta nilai-nilai kebangsaan dengan memperkuat trilogi pendidikan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Radikalisme pada perempuan, potensi dan pencegahannya