Kupang (ANTARA News NTT) - Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur Josef Nae Soi mengemukakan luas lahan kritis di daerah ini telah mencapai lebih dari dua juta hektare yang menyebar di 22 kabupaten/kota se-Nusa Tenggara Timur.
"Dalam satu dekade terkahir, luas lahan kritis di daerah ini terus meningkat di mana sampai 2016 lalu sudah mencapai lebih dari dua juta hektare," katanya di Kupang, Jumat (30/11).
Ia mengatakan, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di daerah itu memiliki pekerjaan rumah yang tidak ringan untuk mengurangi luas lahan kritis tersebut.
Menurutnya, persoalan ini hanya bisa diselesaikan manakala pemerintah dan masyarakat serta semua pihak memiliki komitmen yang sama dengan aksi nyata dan terukur.
Namun Josef optimistis jutaan hektare lahan kritis di daerah itu ke depan bisa dikurangi melalui gerakan revolusi hijau dengan menanam tanaman kelor.
"Gerakan menanam pohon kelor secara besar-besaran ini menjadi lokomotif dan tentu disusul dengan tanaman produktif lainnya," katanya.
Baca juga: Setiap OPD wajib tanam 1.000 kelor
Ia menjelaskan, di lingkup pemerintah provinsi, setiap organisasi perangkat daerah (OPD) telah diwajibkan untuk memanfaatkan lahan kritis dengan menanam paling kurang 1.000 pohon.
Pemerintahannya bersama Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat juga telah mengimbau masing-masing pemerintah daerah di 22 kabupaten/kota untuk menanam kelor.
Pemerintah NTT sendiri, lanjutnya, akan mengembangakan tanaman kelor dalam dua klaster yakni klaster daun, dimulai dengan demplot secara intensif dan terintegrasi.
Ditargetkan pada setiap hektare lahan demplot akan ditanami sebanyak 10.000 pohon kelor per hektare.
Selain itu, untuk klaster daun dan biji dikembangkan dengan cara tanaman lorong (alley cropping) yang ditanam di pematang maupun teras milik masyarakat.
"Kami tentu terus mengajak masyarakat kita agar mari terus menanam karena masih banyak lahan kritis yang semestinya bisa menjadi sumber kehidupan dan kesejahteraan," katanya.
Baca juga: Artikel - Menanti wujud gerakan Revolusi Hijau di NTT

