Artikel - 500 hari perang Ukraina-Rusia

id Konflik Rusia Ukraina, Perang Ukraina, Vladimir Putin,Volodymyr Zelenskyy,Artikel perang Oleh Jafar M Sidik

Artikel - 500 hari perang Ukraina-Rusia

Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Georgiena Vorobieva saat arahan pers di Jakarta, Rabu (15/2/2023). (ANTARA/Cindy Frishanti)

Tak terbayangkan jika Ukraina juga masuk NATO. Hanya Belarus dan Georgia yang menjadi negara penyangga tersisa untuk Rusia...
Di Rusia sendiri, ketidaksabaran mendorong tentara bayaran Wagner Group pimpinan Yevgeny Prigozhin, melancarkan pemberontakan demi melengserkan petinggi-petinggi militer yang disebutnya membuat perang Ukraina berlarut-larut.

Walaupun Prigozhin tak membidik Presiden Rusia Vladimir Putin, pemberontakan itu menguatkan pandangan bahwa perang yang berlarut-larut menimbulkan perpecahan internal.

Dalam skenario seperti itu, bukan saja Putin yang terancam, karena Barat juga khawatir menghadapi Rusia pasca-Putin yang bisa lebih brutal dari saat ini.

Sejumlah pakar politik internasional malah beranggapan Barat sebenarnya tak ingin membuat Rusia kacau karena jika negara pemilik senjata nuklir terbanyak di dunia itu mengalami anarki, maka keamanan global bakal terancam.

Dalam konteks ini, ada paradoks dalam perang Ukraina bahwa sponsor-sponsor terbesar perang Ukraina, yakni AS dan Rusia, sama-sama memelihara hubungan dalam semua matra.

AS tidak menutup kedutaan besarnya di Moskow. Rusia juga tak menutup kedutaan besarnya di Washington. Dinas intelijen kedua negara itu juga tetap berbagi informasi, demi mencegah konflik tidak melewati batas yang bisa memicu konflik terbuka di antara mereka.

Di sisi lain, situasi buntu di medan perang bisa memaksa pihak-pihak bersengketa kembali ke meja perundingan. Suara seruan untuk perdamaian sendiri semakin nyaring belakangan ini. Presiden Belarus Alexander Lukashenko saja tiba-tiba menawarkan diri menjadi mediator perundingan.

Sementara itu, menurut laporan NBC, sejumlah mantan penasihat keamanan AS diam-diam bertemu dengan delegasi Rusia pimpinan Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov untuk membahas kemungkinan menggelar perundingan damai.

Lavrov tak mengesampingkan perundingan, apalagi realitas-realitas perang semakin sulit dikelola oleh Rusia.

Namun, kalaupun Presiden Vladimir Putin memilih meja perundingan, maka itu bukan karena dia khawatir pasukannya kalah dari Ukraina.

Dia mungkin jauh lebih khawatir jika perang tak segera berakhir, maka semakin banyak tentara Rusia yang menjadi korban. Jika ini terjadi, maka ibu-ibu para tentara Rusia bakal lantang mendesak perang dihentikan.

Keadaan seperti itu pernah terjadi pada akhir 1980-an ketika Uni Soviet terpaksa menghentikan petualangan di Afghanistan, setelah ibu para serdadu Soviet yang tewas di medan perang, mendesak pemerintah menghentikan perang.

Dalam konteks perang Ukraina, Putin lebih suka menempatkan tentara partikelir Wagner Group dan milisi Chechnya di medan-medan perang paling berdarah, termasuk Bakhmut dan Mariupol. Dia berusaha menghindarkan jatuh korban yang banyak dari tentara reguler Rusia.


Demi nyawa manusia