Kupang (ANTARA) - Angin sejuk Lembah Bikomi berembus tenang di Kefamenanu, Ibu Kota Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di tengah hari yang tidak terlalu terik, Regina Siki (54 tahun) sibuk mengoperasikan alat tenun kayu.
Helai demi helai benang warna-warni ia tenun hingga membentuk kain indah khas Bumi Flobamora, nama lain dari NTT. "Ini butuh waktu sekitar satu minggu lagi agar selesai," kata Regina, ketika dijumpai ANTARA, sambil mengoperasikan alat tenun bantuan dari Kementerian Sosial itu.
Kain tersebut kemudian dijual ke salah seorang tetangganya yang telah memesan jauh-jauh hari untuk atribut saat hajatan.
Sesekali wanita paruh baya itu harus menghentikan pekerjaan menenun saat ada pelanggan hendak berbelanja di warung sayur miliknya. Begitulah aktivitas keseharian Regina, setahun terakhir ini. Tidak hanya berjualan di warung sayur yang ia bangun sejak 2012, kini Regina juga menggeluti dunia ekonomi kreatif, dengan membuat kain tenun khas NTT.
Sebelum 2012, tidak pernah terpikirkan oleh Regina untuk mencari penghidupan di kampung halaman, seperti saat ini. Karena minimnya pilihan lapangan pekerjaan bagi yang berpendidikan rendah, angan-angan menjadi tenaga kerja di luar negeri, khususnya di Malaysia, jamak terpikirkan oleh masyarakat di Kefamenanu, termasuk Regina. Kala itu, iming-iming mendapatkan uang banyak dengan bekerja sebagai buruh migran menjadi magnet bagi Regina dan sebagian warga lainnya.
Rupanya janji gaji besar sebagai asisten rumah tangga (ART) di Malaysia hanya sebatas bualan para makelar tenaga kerja. Alih-alih meraup uang banyak, Regina justru mendapatkan perlakukan tidak manusiawi dan gajinya ditahan oleh majikan.
Bahkan selama setelah dua tahun bekerja, dia hanya menerima total Rp4 juta. Padahal, seharusnya total gajinya selama dua tahun menjadi ART tidak kurang dari Rp27 juta.
Majikannya banyak memotong gaji untuk biaya perawatan Regina yang sering keluar masuk rumah sakit. Seringnya Regina sakit bukan tanpa alasan. Bagaimana tidak, selama dua tahun bekerja di Penang, Malaysia, ibu lima anak itu mendapatkan ruang tidur tanpa kasur dan porsi makan yang sedikit. Celakanya, jam kerja Regina pun tidak menentu.
Rasa kapok atas perlakukan buruk majikannya, ditambah rindu kampung halaman, terus menghinggapi benak Regina. Akhirnya ia bulat memutuskan berhenti bekerja di Malaysia. Ia berfikir lebih baik hidup susah di kampung halaman, daripada susah di negara lain dan dicurangi majikan.
Bangkit